Kendaraan beroda empat yang ditumpanginya telah berhenti di parkiran belakang, atas permintaan Lovani sebelumnya. Wanita yang telah berpikir panjang ke depan itu selalu dapat memprediksi semuanya.
Kalau begini, bagaimana Anja dapat bergerak bebas? Pergerakannya terbatas, setiap langkahnya berisikan ranjau. Ekstra berhati-hati, jika tidak ingin menginjak jebakan itu.
Sekali Lovani mengetahui, mungkin saja wanita itu menggugat perceraian nantinya. Lalu, mau dibilang apa hubungan ini? Khilaf?
"Tuan Anja ...." Lovani menaikkan sudut bibirnya mantap. Di antara celah mobil itu, tubuhnya melesak maju ke depan. Memiringkan kepalanya dengan rambut yang terkibar di sisi kirinya.
Aroma bunga-bunga menguar keluar. Memicu indra penciuman Anja untuk bereaksi, menghirup segalanya tanpa sisa. Benar-benar tanpa sisa. Seolah itu adalah candu.
Memang benar adanya. Sedikit banyak Lovani mengubah dirinya. Sentuhan itu ingin dirasakan lagi. Kecupan dan lumatan bergantian, membaginya secara adil adalah hal yang ingin dicecap Anja lagi.
Tapi mana mungkin Anja memintanya? Ia memiliki Angel untuk dijaga hatinya. Hubungan ini seharusnya hanya sebatas pembalasan dendam. Tidak boleh lebih. "Apa?"
"Tuan yakin ingin tidur dengan saya?"
Kedipan sebelah mata itu kembali menegangkan syaraf-syarafnya. Melakukan perang dengan batin dan isi kepalanya sendiri. Herannya, setiap dihadapkan pada situasi ini, Anja selalu tidak dapat berkutik.
Ke mana dirinya yang selalu mendominasi Angel itu? "Jangan macam-macam, Lovani. Kamu tidak ingin di sini, bukan? Jadi silakan buka pintu di sebelah kiri sana, lalu keluar."
Berusaha tenang, mengendalikan dirinya agar tak terganggu pada sosok yang membusung padanya. "Jangan seperti wanita murahan yang menawarkan diri pada saya. Saya akan melakukannya jika saya menginginkannya. Tidak perlu bertanya seperti itu."
"Sungguh?" Sungging miring itu terasa semakin intens. Segera merangkap dalam sekali gerak, membuat si pemilik tak dapat bergerak banyak kala miliknya yang masih disentuh. "Lalu ini apa? Bukankan ini bukti kalau Tuan menginginkan saya?"
Plak!
"Lovani! Jaga batasanmu sampai di sana!" hardik Anja garang. Tangan yang bergeser itu diperangkapnya. Memelototi Lovani yang tak gentar sama sekali. "Saya masih harus pergi ke kantor. Jangan konyol dan mempermalukan saya."
Ujaran tersebut tak diindahkan Lovani. Benar, tapi ia memang telah menarik diri mundur. Biarkan saja Anja memenangkannya. Setidaknya, ia sudah tahu kelemahan pria itu.
Karena, pria seperti Anja persis layaknya lelaki yang meneteskan liur kala melihatnya melintas. Melihat tubuh sintal yang berlenggok, bagai sebuah pertunjukan untuknya.
Tidur pun, termasuk salah satu aktivitas hiburan oleh mereka. Dasar pria bejat. Tak akan Lovani mudah menyerahkan diri, kecuali ia sudah kehilangan kepalanya entah di mana.
Cermin kecil yang memancarkan bayangannya digunakan untuk bersolek. Merapatkan bibir yang kali ini berwarna merah api, Lovani membalas enteng, "Kalau Anda ingin tidur dengan saya, baiklah."
Lirikan itu tertangkap licik. Penuh sarat akan jebakan di dalamnya. "Dengan syarat, setelah Anda melakukannya dengan saya, Anda tidak boleh melakukannya dengan orang lain lagi."
"Jika sampai saya tahu jika Anda masih berhubungan intim dengan wanita lain, perjanjian kita putus sampai di sana. Saya tidak akan membiarkan Anda menyentuh saya, atau mencium saya. Saya tidak sudi dicampurkan dengan wanita lain."
Klak!
Kaki jenjangnya menapaki tanah di bawah. Menundukkan lagi tubuhnya untuk melihat raut wajah Anja untuk yang terakhir. "Pikirkanlah itu, hm? Jika Anda bersedia, saya bersedia. Saya punya banyak mata. Berhati-hatilah."
Blam!
Pintu kiri itu terbanting kencang. Melambai dengan ejekan di dalamnya. "Terima kasih atas tumpangannya, supir saya!"
***
Anja.
[Jangan pulang duluan sebelum saya tiba. Saya yang akan menjemput kamu nantinya.]
"Pagi Nona Lovani," sapa pekerjanya ramah. Murah senyum agar tak diterkam Lovani.
Lovani menanggapi secepat kilat. Biasanya ia selalu datang kemari lima belas menit lebih awal. Lihatlah, sekarang jam sudah menunjukkan tujuh lima belas. Rekor delapan tahunnya terpecahkan oleh kehadiran Anja.
Tapi, terbaca dari gurat-gurat wajah menahan senyum mereka. Tampak jelas aura bahagia dari terpancar dari mereka. Di sisi lain, yang menjadi pusat atensi dari khalayak ramai hanya mematikan ponselnya malas.
Tak membalas, membiarkannya terbengkalai saja. Bukan kewajiban Lovani untuk membalas setiap pesannya itu, bukan?
Ting! Ting! Ting!
Runtutan bunyi dering ponsel itu terdengar memekak di dalam lift. Semua pasang mata menoleh ke arahnya. Mengerling jahil meskipun diratapi tak senang dan gemas di saat bersamaan. "Kalian lihat apa? Berbalik!"
Tapi, seorang Lovani tidak akan bisa menghapus senyum di wajah semua orang. Maka, yang terjadi selanjutnya adalah, orang-orang itu malah berbalik badan di lantai lima belas. "Selamat atas pernikahannya, Nona!"
"Kalian ini!" Belum apa-apa pintu logam tersebut tertutup otomatis, sebelum Lovani sempat mengeluarkan segala umpatannya, beserta caci makinya yang tertahan.
Namun ..., kini ia dihantui sebuah perasaan aneh. Tak pernah ia rasakan hal semacam ini sebelumnya. Hinggap, meliputi seluruh tubuhnya yang berdesir konyol.
Ia merasa kehangatan spesial. Bukan dari pesan-pesan yang terus berdenting menghampiri ponselnya, tapi dari pekerja-pekerja tadi.
Pasalnya ..., Lovani tidak pernah diberlakukan begini. Rata-rata dia ditakuti oleh orang-orang kantor. Koleganya juga cenderung tunduk walau tetap menyuarakan pendapatnya.
Tapi kini ..., mereka bebas berpendapat tanpa keberatan akan ocehan Lovani. Sedari dulu ... ia ingin begini. Tetap saja usahanya gagal karena emosi Lovani yang terombang-ambing setiap harinya.
Ting!
Lift dan ponselnya berbunyi berbarengan. Sosok yang sempat membuatnya bimbang beberapa hari yang lalu menyambutnya seperti biasa. Profesional, tak menampakan hubungan canggung antar keduanya.
Pria itu membungkuk hormat, dengan senyum formal yang terpasang. "Selamat pagi, Nona. Camilan dan segelas air sudah saya sediakan di atas meja Nona. Harap Nona menghubungi saya jika membutuhkan sesuatu-"
Ting!
Ritual formal yang dilancarkan Rane spontan terhenti akannya. Wajah bahagia yang tampak baik-baik saja mendadak luntur karena bunyi dering spam itu.
Dasar pria brengsek yang tidak tahu waktu! "Baik, Rane. Jadwal apa saja yang menunggu saya hari ini?"
"Jam sembilan nanti, akan ada presentasi kepada perusahaan investor. Lalu setelah istirahat siang, Nona tidak memiliki jadwal tambahan. Tapi jika, selebihnya akan saya hubungi kepada Nona. Lalu untuk keesokan harinya, mungkin Nona ingin mengatur jadwal-"
Tring! Tring!
Ekspresi murung itu tak dapat terkurung lebih lama lagi. Tersirat gamblang goresan luka yang terukir di sana. Siapa pun, pasti sudah mengetahui orang yang beraninya menelepon Lovani. Mengganggu pekerjaannya semata untuk urusan yang belum terlalu penting.
Ke ponsel pribadi wanita itu pula. Siapa lagi? Anja Gastana orangnya.
Wanita itu merenggut cepat benda pipih yang sudah menjadikan hari ini kekacauan. Sebelum itu, menyisikan sedikit waktunya untuk menghadap Rane. Menayangkan senyuman kecut nan hambarnya. "Maaf, Rane. Sisanya, bisa kamu kirimkan kepada saya di chat. Si keparat ini tidak bisa mengalah."