Anja.
[Kamu berani mengabaikan saya?]
[Lovani! Saya tahu pesan saya sudah kamu baca. Centangnya berwarna biru, Lovani.]
[Jangan pikir kamu bisa kabur dari saya, Lovani.]
Dan sisanya adalah pengancaman serupa. Malas melanjutkan lagi, Lovani menyalakan mode pesawat. Tidak lupa membisukan kontak dengan profile rupawan itu. Hanya parasnya saja, hatinya busuk!
Tok! Tok!
"Nona Lovani? Apakah Nona sedang sibuk sekarang?"
Jari-jari lihai menari di atas keyboard turut berhenti dan mengepal di atas sana. Buncahan kesenangan yang tidak dapat ditahan Lovani. "Hm! Masuk saja, Rane."
Sekeliling Lovani selalu dianugrahi oleh paras agung yang memancarkan cahaya keemasan. Tidak dapat dielak, Levana pun, adik laki-lakinya itu memiliki ketampanan berkali lipat luar biasanya. Ibunya memiliki wajah yang sama dengannya. Berarti jika Lovani cantik, ibunya juga.
Berlanjut hingga ke Rane dan Anja. Semuanya memiliki keindahan dan cirinya sendiri. "Ada apa, Rane?"
Pria itu menguarkan senyum kecilnya. Menengadahkan catatan-catatan kecil yang sudah dibuatnya serapih mungkin. "Ponsel Nona dimatikan. Jadi saya membawakan Nona jadwal untuk seminggu ke depan."
Lantas wanita itu menepuk keningnya sendiri. Karena Anja, semua persoalan sempat ia lupakan! Wanita itu terkekeh lucu. Kikuk karena ia tidak pernah seceroboh ini. "A-ah! Baiklah. Terima kasih, Rane."
Sejenak Lovani memeriksa jadwal-jadwal tersebut, memasang reminder di dua device-nya sekaligus. Fokusnya Lovani tidak berpindah walaupun ia tahu Rane terus menjuruskan perhatiannya kentara. "Ada apa, Rane? Apa ada lagi yang ingin kamu katakan?"
"Ada satu-dua hal di luar pekerjaan yang ingin saya katakan kepada Nona," ungkap Rane jujur. "Kalau Nona keberatan, Nona tentu bisa menolak saya. Kalau Nona mengizinkan, saya tidak akan ragu atau mundur. Semua keputusan ada di tangan Nona."
Tidak pernah Saverane sampai seserius ini dengan kesigapannya di seberang meja sana. Entah sejak kapan ... ia merasa Rane berbeda. Berminat dan serius terhadap dirinya.
Di saat semuanya telah terlambat. Di saat Lovani juga baru menyadari, bahwa kemarin adalah sakit hati terbesarnya setelah ditinggalkan ayahnya. Kehilangan seseorang yang selalu sedia di sekitarnya ..., memberikan luka baru untuknya.
Itu termasuk cinta, bukan? Dengan kekehan yang dapat dia lepaskan saat bersama Rane ..., Lovani baru sadar kalau ada yang berbeda dengan lelaki ini dibanding lelaki lainnya.
Biasanya, Lovani akan mengomel panjang lebar jika terdistraksi akan urusan tidak penting. Tapi sekarang, ia rela menyingkirkan semua tugasnya ke samping. Merapikannya untuk beberapa waktu yang singkat, baru kemudian memalingkan tubuhnya kilat. "Silakan, Rane."
"Dinner," jawab Rane cepat. "Bagaimana menurut Nona?"
Ekspresi tenang yang dijaganya sekeras maut pada akhirnya luluh lantak. Parah. Ia payah menjaganya. Tak dapat menjaga keterkejutannya juga dengan bibir kelunya itu.
Sama sekali tidak pernah ada jawaban yang tidak keluar dari mulutnya. Lalu, apa ini? Ia mendadak disetrum jutaan volt. Pipinya memanas, begitu juga degupan jantungnya yang ingin meledak.
Euforia apa ini? Kesenangan macam apa ini? Memangnya ia boleh merasakan ini ketika ia sudah bersuami? Ini tidak etis! Ini tidak sopan! Wanita terhormat mana pun tentunya tahu tentang hal ini!
"T-Tunggu!" Panik, Lovani memutar kursinya berlawanan arah dari pandangnya tadi. Mengipasi wajahnya yang sudah merah padam tak terkira. Sungguh, aliran darahnya memenuhi pipinya, tapi bukan kegeraman.
Sial. Orang bodoh mana pun tahu kalau ini adalah reaksi salah tingkah! Bodohnya, ia membuat situasi yang tidak canggung menjadi canggung. Dasar kurang ajar! "S-sebentar ... berikan saya waktu sebentar."
"Seperti yang Nona inginkan." Rane mengangguk, menyetujui usul Lovani untuk memberikannya waktu sedikit.
Di balik kursi yang tingginya melebihi tubuh sempurna wanita itu, tak mudah untuk melihat apa yang sedang dilakukannya. Tapi, tangan kiri dan kanannya bergerak seirama. Yang Rane tahu, bahwa Lovani tengah mengupayakan agar kemerahan itu segera berpindah darinya.
Bagian mana yang tidak menjadi pelepas lelah dari Rane? Baik suaranya, sifatnya, semuanya begitu menarik. Kekehan tipis penuh kelembutannya terurai keluar. "Nona sangat lucu."
"Rane!" peringat Lovani gemas. Rona ini menyembul lagi setelah hampir saja menghilang. "Berhenti mengucapkan hal seperti itu!"
Yang ada, tawa itu semakin meluas. Bukan berarti mengejek, ia hanya ... menganggap Lovani sebagai seseorang yang unik. "Baiklah, baiklah."
Selang beberapa menit tanpa bicara, Lovani mengembalikan lagi kursinya di posisi semula. Ia bersandar, lebih santai dari biasanya. Mengembus kasar guna menetralisir perasaannya ini. "Kamu tahu, saya sudah bersuami, Rane. Saya harus meminta izin dulu padanya."
Tanpa duga, tak ada perubahan dari ketulusan itu. Sama persis seperti yang sudah-sudah. Mengangguki bahwa ia memang setuju, kalau itu adalah sebuah keharusan. "Saya tahu, Nona. Saya tidak berniat membawa kabur Nona."
"Tapi jika-"
Tring!
"Ah, saya permisi dulu, Nona."
"T-tapi-"
Rane bergegas beranjak pergi sehabis membungkuk singkat. Meninggalkan Lovani dan kegagalannya dalam berbicara.
Brak!
Kepalan tangannya meninju mejanya kesal. Entah berapa kali dering-dering sialan itu terus mengganggu aktivitas kurang ajarnya hari ini. "Dasar brengsek! Besok-besok benda itu kusingkirkan saja semuanya!"
***
Pip!
Inter komunikanya berwarna merah. Asalnya dari meja di depan kantornya, di mana tempat Rane bekerja. Rane yang menghubunginya. "Ya, Rane? Bicaralah."
"Jay Electronics berniat memajukan jadwal rapat mereka ke hari ini, Nona. Sekitar setelah jam makan siang, sampai malam. Mereka meminta waktu sepanjang itu untuk berdiskusi mengenai kolaborasi yang akan dilakukan nanti," papar Rane datar. "Mereka juga ... sedikit mengubah tentang kolaborasinya, dan nanti itu yang akan mereka sampaikan kepada Nona."
"Batalkan," seru Lovani tegas. "Saya ada jadwal mendadak yang tidak bisa diubah. Minta pengertian mereka."
"Sayangnya ... saya sudah mengatakan bahwa jadwal setelah makan siang, Nona tidak memiliki jadwal lain." Rane mengucapkannya getir. "Maafkan saya. Itu kesalahan saya."
Bukan. Ini pasti permainan kata dari Jay Electronics. Ia sudah tahu kalau Rane tidak akan semudah itu membeberkan jadwal dari Lovani. Jadwal yang seharusnya rahasia itu, pasti ada yang mendesak Rane untuk memaparkan semuanya.
Terlebih, orang di balik Jay Electronics adalah Anja Gastana. Suaminya. Menggunakan status, atau apa pun, pasti akan pria itu lakukan demi mencapai tujuannya.
Brak!
Kepalan antar jari-jarinya itu mengapit kuat. Rela saja meja ini retak karena dentuman tak berperasaan darinya. Tulang-tulangnya hancur akibat tak merasakan apa pun lagi. Asalkan, pria itu membatalkan seluruh niatnya.
"Nona tidak apa-apa?" Jakunnya bergerak naik turun kecil. "Apa saya perlu memeriksa keadaan Nona? Apa Nona ingin saya masuk ke dalam?"
"Tidak," sahut Lovani lugas. Berwibawa bak seorang pemimpin berhati baja. Mengusap sedikit pelipis beruratnya itu kini. "Rane, kamu sudah membuat kesepakatan dengan mereka?"
"Mereka mendesak untuk melaksanakannya hari ini, Nona. Tapi saya belum memberikan jawabannya karena menunggu persetujuan dari Nona. Namun ..., apakah Nona baik-baik saja?"
Embusan kasarnya mengakhiri pergolakan batin pendeknya. "Setujui. Siapkan ruang rapat dari sekarang. Buat sesempurna mungkin, saya yang akan menyambutnya saat mereka datang. Jangan sampai kita terlihat lebih kurang dari mereka. Lakukan semuanya serapi mungkin."