Broken Marriage

Rutukannya terus berjalan sampai Lovani bisa menggapai tisu menggantikan tangannya sebagai tempat penampungan. Inilah kesialannya bila membawa tas kecil. Yang dibawanya hanya sekadar lipstik merah dan dompet. Mana sempat terpikir kalau akan keluar pada saat bodoh ini.

"Lovani?"

Bukankah ... katanya ..., Anja pergi tadi?

"Ha ... haha .... Selamat malam, Tuan Anja. Saya permisi dulu kalau begitu," pamit Lovani tergopoh-gopoh membersihkan tumpukan tisu di atas meja tamu. Sialnya, sisanya memencar ke lantai saat berusaha ditangkapnya.

Berguling pula ke depan kaki yang pas tertambat di samping sofa. Pria itu tidak melihatnya dengan pancaran sinar bulan saja, 'kan? Mana mungkin mata pria itu sebegitu tajamnya?

Namun, sekelebat bayangan yang diyakini suara Anja itu menunduk. Celaka saja dirinya. Ia terlambat satu langkah dari mengambil tisu itu.

"Apa yang kamu lakukan malam-malam?" tanya Anja datar. Mengembalikan tisu itu tanpa masalah besar, karena kemungkinan besar ia berpikir apa pun yang ada di dalamnya menjijikan. Indra perabanya mengendusi dinding sana. Mencari sebuah saklar lampu. "Membawa pria ke sini? Atau sehabis bersama pria?"

"Pikiran Anda terlalu rusak." Ia mengumpulkan lagi tiga lembar kertas untuk disembunyikan di balik telapak tangan kecilnya. Berputar cepat menghindari sensor laser Anja yang bisa saja menyengat nantinya. "Permisi."

Klak!

"Tunggu. Tisu apa tadi?"

"Bukan apa-apa," sergah Lovani cepat. Melajukan kakinya dua kali dari tadi, berusaha meraih ujung tangga di sisi tembok kiri.

Namun, kaki Anja bukanlah sebuah tandingan. Justru, tinggi pria itu menang karena kaki panjangnya. Itu adalah sebuah kerugian untuk Lovani yang pendek darinya. Sialan.

Grep!

"Saya tanya itu apa, Lovani." Anja menarik jas terluar yang masih terpakai olehnya. "Kamu baru pulang. Saya tahu itu. Mesin motor kamu masih panas. Apa yang kamu lakukan sampai baru pulang, hm?"

Dengan tenang Lovani membalikkan badannya berhadapan lagi. Sebenarnya ia sudah lelah. Tapi sekali lagi ... dijamin hanya sekali lagi sebelum kemudian ia akan menghilang lagi. Sekali lagi untuk mengakhiri semuanya.

Sedikit penekanan ke bawah, tangannya membebaskan diri dari kurungan serigala itu. Pun, Lovani sengaja tidak menunjukkan gelagat ingin kaburnya. Mereka sama-sama tahu kapan waktu yang tepat untuk menangkap mangsanya.

Bagi Anja, ini adalah waktu yang tepat. Penuh kecurigaan bersarang di atas kepala cermatnya itu. Sayang sekali tidak digunakan untuk hal yang lebih penting. "Saya dari kantor, Tuan Anja."

"Anja," ralat Anja dongkol. "Untuk urusan apa? Kantor apa yang buka sampai malam?"

"Kantor yang memiliki atasan bernama Lovani Agastani, Tuan Anja," ledek Lovani. "Memangnya untuk apa saya berada di kantor? Untuk urusan pekerjaan, tentu saja. Mungkin Anda yang berada di kantor untuk urusan 'selain pekerjaan' maka dari itu bisa berpikir buruk."

Anja berdeham berat walaupun tidak ingin membenarkan. Sedikit tersedak akan kebenaran yang keluar rupanya. "Bersama siapa, Lovani?"

"Nona Lovani." Kini berganti Lovani yang mengoreksi namanya sendiri. Sangat tidak suka ada seseorang yang seenak jidatnya mengganti panggilan indah yang diterapkannya pada semua orang. Rane yang sedekat itu dengannya saja, ia tidak pernah menyuruhnya mengganti. "Sendiri."

"Saya tidak percaya," cemooh Anja melirik bungkusan di tangan kiri Lovani. "Tisu apa itu? Tunjukkan kalau kamu berani."

"Anda yang mungkin tidak berani melihatnya," jawab Lovani angkuh. Memerangkap lebih dalam lagi isi di tangannya ini. Bisa kacau saja kalau Anja melihatnya. "Jadi, tolong biarkan saya pergi kalau Anda tidak ingin menjerit."

Tidak peduli Anja yang ngotot, memasang wajah curiganya di sana, Lovani berkata sembari berlalu ringan, "Bukan urusan saya Anda peduli atau tidak. Saya telah mengucapkan hal yang benar dan jujur. Memang dari awal pondasi kita tidak ada. Entah itu cinta, percaya, dan komunikasi. Jadi jangan membuatnya seolah itu ada sekarang."

"Tunjukkan," pinta Anja naik satu tingkat, mengikuti Lovani yang terbaca ingin menghilang darinya. "Apa itu pengaman? Mana pria yang kamu sembunyikan itu?"

Lovani ikut melotot emosi. Ingin meluapkan sisa-sisa kekesalannya yang belum selesai untuk hari ini, tapi ia tahu targetnya ini salah. Meskipun Anja-lah yang harusnya dicurigai, ia sama sekali tidak peduli.

Entah dia ada wanita lain di belakangnya walau di atas kertas mengatakan 'ya', Lovani sama sekali tidak mau tahu. Pernikahan ini telah rusak di awal. Di mulai dengan buruk, dan tentunya akan berjalan dengan buruk.

Bagian mana yang menyatakan pernikahan adalah hal yang indah? Munafik!

"Lovani!"

"Bajingan."

Anja berhenti mengikuti Lovani. Terkesiap akan kata-kata kasar lainnya yang selalu meluncur mulus darinya. "Jangan berbicara kasar kepada saya, Lovani! Kalau kamu yang berbuat salah, maka akuilah!"

"Setelah saya mengaku, apa selanjutnya?" tantang Lovani sewot. "Memberi tahu ibu saya kalau saya adalah wanita murahan? Kalau saya menggoda pria lain? Kalau saya berselingkuh, hm? Apalagi? Terus saja mengada-ada hal yang tidak ada, Sialan!"

"Pertama, Lovani. Saya tidak pernah mengatakan kamu murahan," ujar Anja mengikuti aliran darah yang naik ke ubun-ubunnya. "Saya tidak pernah mengatakan semua wanita murahan. Lalu yang kedua, saya tidak akan mencampurkan ibu kamu lagi. Sudah puas? Mari kita selesaikan berdua."

"Tapi kamu duluan yang membawa ibu saya ke dalam pernikahan menyebalkan ini!" jawab Lovani naik turun. Layaknya orang kesetanan, ia membentak hingga suara nyaringnya memantul pada rumah kosong ini. "Lalu kamu bilang sekarang tidak lagi mengikutsertakannya? Biar saya ingatkan Anja. Sekali kamu memasukkannya, dia akan terus ikut! Bullshit!"

"Lovani!"

Namun pekikan itu bernada lain lagi. Bukan sebuah bentakan, tapi berisikan kekhawatiran di dalamnya. Ah ... apa ia sedang berkhayal karena kurangnya kasih sayang yang ingin ia rasakan? Sampai mendambakan hal yang mustahil dari musuhnya sendiri?

"Lovani! Hidung kamu!"

Tes ....

Jarinya menyentuh kembali bagian bawah hidungnya lagi. Setelah yang kanan, hidungnya yang kiri ikut serta menambahkan masalah? Tidak dari keluarganya, tidak dari Anja, tidak dari perusahaan, kini dirinya sendiri membebani.

Hidup macam apa, sih, yang sedang ia jalani?

Mengingat keberadaan tisu-tisu yang belum sempat ia buang, Lovani menaikkan salah satu yang sebagiannya masih bersih dan belum bernoda.

Sehingga kini ..., Anja melihat sendiri apa yang ada di dalam tangan dan berusaha disembunyikan Lovani tadi. Itu berisi kumpulan cairan merah yang sudah mengering. Ia kebingungan dan kikuk, tidak pernah menangani sendiri masalah ini. "Kamu ... tidak apa-apa?"

Wanita itu mengeraskan kepalan tinjunya. Sengaja meninju kencang bahu pria itu agar menjauh satu tingkat anak tangga di bawahnya. "Puas ini dijadikan pertunjukkan untuk si brengsek?"

"Saya tidak bermaksud untuk-"

"Alasan basi," kata Lovani tajam. Menggilas habis semua tatanan kata buruk yang ingin Anja lontarkan. "Jangan sampai mengenai hal ini bocor sampai ke luar, atau saya akan menghancurkan hidup Anda habis-habisan."