Ranum wewangian yang dipanggang, dimasak, dan diolah dengan tekniknya sendiri menyeruak ke seisi rumah. Anja yang tadinya mengatup layaknya kehilangan nyawa malah segar seperti orang yang sehabis berolahraga. Segar bugar akibat harum itu saja. Sungguh wangi yang ajaib.
Bak tersihir, Anja menuruni kasur begitu saja. Tanpa alasan yang jelas, ia meluruh mengikuti instingnya yang membawanya ke lantai bawah. Ke lantai di mana kesedapan itu berasal. Nalurinya berkehendak di bawah kesadaran mengambangnya.
Satu ..., dua ..., hingga tangga terakhir itu berhasil ditapakinya, sosok wanita dengan sumringah lebar itu yang terpajang pertama kali.
Demi apa pun. Kecantikan Lovani berkali lipat terpancar ketimbang kemurungannya selama ini. Bahkan, Anja sendiri berani mengakui, tidak ada wanita semanis Lovani yang dapat tersenyum seperti itu.
Seperti ... semua bebannya terangkat bebas untuk sementara waktu. Karena Anja dapat meyakini, Lovani pun tidak dapat memamerkannya selebar itu dihadapan para pekerja Nile. Dia itu serius, dan dia tahu tempat.
Tapi ..., mengapa di depan Anja pun, dia tak pernah menampilkannya? Rumah pasti akan lebih terang dan hubungan mereka membaik. Kenapa Lovani begitu susah untuk dibujuk?
Dan ... aliran listrik itu mengantar pada kedipan lambat Anja. Sementara, senyum Lovani memudar adanya. Pias, terkejut melihat keberadaan Anja yang menurunkan lagi semangatnya.
Klontang!
Roti di dalam oven itu diketuk sekali ke meja, dianggapnya sebagai peringatan, walau memang seharusnya nampan besi diperlakukan demikian. "Apa yang Anda lakukan di sana? Memata-matai saya?"
"Tidak," jawab Anja polos. "Saya kebetulan turun ke sini dan melihat kamu."
"Oh, ya?" tanya Lovani menyelipkan kecurigaan seperti kemarin. "Untuk apa turun?"
Anja menunjuk asal ke dispenser air sana. Padahal, ia sendiri terkejut mendengarnya. Untung otaknya masih dapat lancar mencari jawaban baik. Kantuknya lenyap terbawa oleh berbagai macam makanan yang tersaji menunggu untuk disantap.
Perlahan langkahnya terambil kecil. Sedikit mengendap-ngendap agar wanita itu tak lagi merasa terkejut akan pergerakannya. Matanya tak dapat berhenti melirik ke arah meja lebar itu. "Masak apa?"
"Makanan saya," jawab Lovani kesal. Melirik tajam, sesekali berdesis tajam mendapati uluran tangan itu hendak mencapit makanannya. "Bukan makananmu. Pergi."
"Kamu makan jam tiga pagi?"
Hah! Syukur saja ia sudah selesai masak. Jika tidak, resepnya akan berubah sesuai keinginan hatinya nanti. Rasanya akan keasinan, kemanisan, atau bisa jadi makanannya akan terlalu lama dipanggang. Dengan kata lain, gosong.
Telapak tangannya menyimbolkan bahwa ia tak ingin mendengar penuturan bawel Anja lebih lanjut lagi. Keberisikan yang dibawanya sangat-sangat tidak menyenangkan. Sementara yang lainnya, menopang keningnya lelah. "Biarkan saya beristirahat dahulu."
Kalau Anja sama dengan dirinya, berarti melawan Anja adalah melawan cerminan dirinya. Ya, ia cukup sadar diri akan sifat keras kepalanya ini. Ia terkadang juga membenci dirinya sendiri. Bagaimana lagi?
Tak!
"Minum," perintah Anja meletakkan secangkir air putih di depan wajah Lovani. "Tubuh kamu belum fit, tapi kamu sudah memaksakan diri untuk masak. Kalau sedang lelah, beritahu saya saja, atau pesan makanan juga boleh. Saya tidak mempermasalahkan keduanya."
Lovani membuang napas lelahnya ke kiri. Mengambil untuk meminumnya gemetaran. "Kamu mana tahu apa yang membuat saya senang, Tuan Anja."
"Anja saja," balasnya tenang. "Jadi, apa memasak membuat kamu merasa bahagia?"
Lovani kembali mengunci bibirnya lagi. Tak berkeinginan untuk menjawab pertanyaan yang membuatnya terganggu itu. Tapi, tak lagi berusaha untuk menghindari jejak Anja. Ia sudah cukup terbiasa, dan memang dipaksa untuk terbiasa.
Anja menanggapinya dewasa. Antara kasihan melihat wajah lelah itu, juga ingin mengikis jarak yang lebih dekat lagi dengan Lovani. "Baiklah kalau begitu. Apa yang kamu masak, Lovani?"
"Lasagna," jawab Lovani lemas. Memandang lirih kesemua santapan lezat itu. "Tortilla wrap, salad, pudding, dan saya baru akan membuat sandwich dengan roti yang baru jadi itu. Tapi kamu sudah datang duluan. Jadi ... itu saja."
"Buat saja kalau begitu." Anja tersenyum tipis menanggapinya. "Yang saya kenal adalah Lovani yang tidak pernah terganggu oleh siapa pun. Sejak kapan kedatangan saya menjadi penghambat untuk kamu."
"Itu dua hal yang berbeda, Anja." Meskipun terdengar mengganjal, lidah yang belum menyesuaikan diri ini patut mengikuti alur yang telah dibuatnya. Sesekali menggigit lidahnya gemas saat rasa geli menelungsup ke dalamnya. "Saya sudah sering menjadi pusat perhatian. Namun, dalam hal memasak, adalah hal yang baru untuk saya."
"Kalau begitu jadikan saya yang pertama." Pria itu menampilkan senyum tipisnya. Menepuk sekali pundak Lovani untuk memintanya berganti tempat. Lovani yang berdiri, Anja yang duduk di tempatnya tadi. "Cepatlah. Saya masih ingin melanjutkan tidur saya."
Bibir cemberutnya itu menekuk beberapa senti keluar. Si pemandang mau tak mau memperlebar cengirannya itu. Bagaimana si wanita pemarah itu sekarang terlihat sebegini lucunya? "Saya sudah menjadi suami kamu. Saya berhak, bukan?"
Pupilnya bergerak menjelajah ke kanan, ke langit-langit dapur, lalu mendaratkan kejengkelannya pada pria yang tersenyum lebar itu. Pertama kalinya ia dapat melihat pria itu tertawa selepas ini. Apa ini hanya sandiwara?
Ujung pisau itu mengacung lurus ketika diarahkan tepat sasaran. "Jangan tertawa kalau begitu!"
Anja masih menyimpan sisa-sisa kekehan halusnya. Kedua tangannya terangkat naik ke atas, memilih menyerah alih-alih dilempari pisau setajam itu. "Baiklah, baiklah. Silakan lanjutkan."
Meskipun berdecak dan mendumal di dalam hatinya, Anja tahu itu hanya dijadikan alasan bagi Lovani agar dirinya tidak terlalu merasa canggung mempertontonkan kebolehannya di depan orang lain.
Namun justru, kebolehannya itu adalah salah satu kelebihan yang baru ditemukan oleh Anja dari dalam diri perempuan semandiri Lovani. Mungkin Anja yang kurang mengenal luas dunianya karena sibuk dengan Angel, tapi sekarang matanya baru saja terbuka lebar akan pemandangan baru itu.
Jari-jari lihai dan terampilnya pun tampak gemetar dan takut. Salah tingkah dan takut salah pergerakan. Sekalinya kesulitan, ia kembali melontarkan ocehannya dalam bentuk gumaman.
Penglihatannya tidak pernah gagal merekam sempurna semua gerak-gerik penuh kelincahan itu. Pergi ke wastafel lagi, mencuci tangannya, membersihkannya dengan handuk tangan, memulai lagi aksinya.
Pernah dengar mengenai ucapan ini? Waktu akan berjalan cepat ketika kita menikmati waktu tersebut.
Itu benar-benar terjadi pada Anja yang larut dalam lamunannya, juga Lovani yang tenggelam dalam kesenangannya.
"Nah!" sorak Lovani tanpa sadar.
Terbentuk lagi atmosfer hening di antara kedua orang terkaku itu. Sama-sama mengerjap cepat, mengumpati diri mengenai mereka yang tak seharusnya berlaku seperti itu di sini.
"K-kalau begitu saya naik ke lantai atas dulu," tutur Anja menegang. Gelas kaca itu diposisikannya menutup leher-leher mengejangnya itu. "Beristirahatlah kalau kamu sudah selesai. Kamu masih harus bekerja untuk besok."
Sementara Lovani tak membutuhkan waktu selama itu untuk mengambil alih dirinya lagi. Meninju kecil bangku kayu itu. "Kalau begitu minggir! Untuk apa berpamitan kalau kamu tidak pergi?"