"Apa kamu mengenal Angel?"
Ditiliknya mendalam semua yang keluar dari wajah Lovani. Sama sekali tidak ada kejanggalan di sana. Wajah wanita itu nampak mendatar, balas memandang Anja tanpa niat. "Bisa kamu pikir apa yang saya lakukan kalau saya mengenal kekasih kamu?"
"Jangan bercanda-"
"Sayangnya, saya sangat serius," ucap Lovani datar. Ia tahu ia diteliti, ia tahu ada sesuatu yang ingin dicari Anja dari dirinya. Ia tahu semua itu. "Saya bukan robot dan saya bisa merasa kesal. Jangan memancing saya dengan pertanyaan itu atau kamu yang akan merasakan akibatnya sendiri."
Sekejap baik, sekejap lagi buruk. Susah untuk menerka yang mana serius, yang mana berbohong. Lovani terlalu rapat dan terlalu baik menjaga rahasianya. Di sekelilingnya, ia juga tidak punya waktu untuk berteman. Lantas, siapa yang paling tahu diri Lovani? Dirinya sendiri.
Mobil mereka bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya. Suasananya memuram lagi, tak ada yang mengangkat suaranya. Tadi begitu menyenangkan, sekarang begitu murung. Lovani memang ahli memutar balikkan semuanya.
"Lovani, kamu tahu? Kamu pernah merusak kehidupan seorang perempuan di masa belianya. Apa kamu tidak ingat hal itu?" tanya Anja serius. Dalam, menyimpan berjuta kemurkaannya.
"Saya tidak punya waktu untuk mengingat hal sebanyak itu, Anja," jawab Lovani tanpa pikir panjang. "Hanya saja, saya ingin menekankan satu hal. Saya tidak pernah bertindak lebih dulu kalau orang tersebut tidak mengganggu saya. Setiap perbuatan saya mengandung kemasuk-akalan yang tidak akan bisa kamu elak. Sisanya, terserah kamu."
***
Dua insan itu sudah sampai di showroom kemarin, tempat mata Lovani berbinar terang. Tapi kini, tidak ada binar yang timbul dari sana. Binar yang belum apa-apa sudah dirindukan oleh seseorang yang tidak menaruh hatinya pada Lovani.
Ia pun bergulat dengan batinnya sendiri. Dua orang, dua perspektif. Anja harus mempercayai yang mana? Lagipula, rencana balas dendamnya telah berantakan semua. Ia tidak tahu harus membenari yang mana lagi.
Wajah Lovani tampak begitu damai dari sisi kanan Anja. Pria itu menyandarkan pipinya di stir mobil. Mendapatkan pemandangan terbaik yang tak didapatkannya di tempat lain. Angel adalah Angel, ia sayang pada Angel, tapi cenderung matanya selalu tertuju pada Lovani. Apa ini efek sudah lama tidak berjumpa dengan kekasihnya?
"Hngh!" Lovani mengerang kecil. Membuka matanya lemas menyadari bahwa mobil ini tak lagi berjalan. Melemaskan otot kakunya dan menghalangi sinar terang yang menyemprot ke arahnya. "Apa sudah sampai?"
Seharusnya Anja berkata sudah dan memalingkan wajahnya. Tapi, kini ia diam, terpaku dan terpesona pada suatu waktu bodoh. Tidak dapat banyak berkutik meski ia tahu ini salah total. Salah. Tidak seharusnya dendam begini.
"Anja?" tanya Lovani bingung. Dia juga kikuk harus bersikap seperti apa dalam keadaan selemas ini. Mengerjap saja sudah malas, inginnya mengatupkan matanya lagi. "Terserah kamu saja kalau begitu. Ini kuncinya, kamu yang kembalikan saja."
"K-kamu tidak mau memilih kendaraan?" Terbata, Anja mengumpulkan nyawanya yang baru saja melayang. Kunci besi itu berada di pangkuannya, ditaruh oleh seseorang yang sudah memundurkan kursinya untuk tidur. "Hey, Lovani? Kenapa tidur lagi?"
"Karena ini seharusnya menjadi jam tidur saya." Ia memunggungi Anja, malas banyak berceloteh. "Kamu yang mengganggu saya untuk acara pergi-pergi ini. Jadi biarkan saya mendapatkan kenyamanan saya."
Dan ia baru tahu tentang itu. Lovani mengatur jadwal paginya untuk Anja, karena jadwal pagi dan malamnya tertukar. Begitukah? "Kendaraan seperti apa yang kamu inginkan?"
"Tidak perlu," jawab Lovani ringan. "Saya mulai sekarang meminta Rane untuk mengantar saya saja. Kamu tidak perlu mengeluarkan tenaga, dan Rane juga orang yang bisa dipercaya. Kalau kamu kesal, tahan saja. Dia tidak akan berbuat macam-macam mengenai saya."
"Kamu berbicara seolah itu hal yang mudah, Lovani." Anja mengguncang lengan Lovani sedang agar wanita itu mau bertatapan dengannya. Dengan kata lain, tak mengizinkan Lovani untuk mendapat tidur tenangnya di saat Anja sudah disulut amarahnya! "Kalau kamu kenapa-napa, saya juga yang kena! Kamu harus berpikir panjang!"
"Ssshh! Kamu ini!" desis Lovani emosi. "Saya dari pagi sudah berusaha untuk menghindari masalah, ya! Jangan membuat masalah di hidup saya lebih banyak lagi karena keberadaan kamu yang suka mengacaukan semuanya!"
"Saya ini berpikir realistis, Lovani. Dia tetap laki-laki, saya tidak mempercayainya-"
Lovani menyentak sekali tangan lancang yang terus mengguncang kenyamanannya ini. Telah duduk tegap dengan nada yang tabuhan kencang dadanya. Menderu, menunggu sekali lagi Anja beraksi, ia tidak tinggal diam.
Sedang berusaha meredam kemarahannya untuk tidak menampar pria ini. Setidaknya ..., ia sudah berusaha. Tapi kalau kelepasan, salahkan Anja. "Maksud kamu, hanya kamu yang boleh berdekatan dengan perempuan, saya tidak?"
Nyaris, nyaris saja tawa sinisnya keluar untuk menyindir Anja. Namun, tidak tahu mengapa, ia banyak menahan diri hari ini. Sesuatu yang teramat jarang dilakukannya. "Kalau kamu mau diizinkan, izinkan saya juga! Jangan egois dan hanya ingin menang satu pihak saja! Saya saja tidak protes, untuk apa kamu protes?"
"Kamu perempuan yang sudah saya nikahi," ujar Anja teguh pendirian. "Saya tidak suka wanita yang saya nikahi disentuh pria lain, mengerti?"
"Bagaimana dengan kamu sendiri?"
Shit. Ucapannya sendiri dibalik oleh Lovani. "Saya laki-laki-"
"Oh, jadi laki-laki boleh melakukan sepuasnya dan wanita hanya bisa diam dan menunggu prianya kembali, begitu?" sindir Lovani retorik. Kesal sekali sampai ingin mencabut jantung Anja. "Jangan sinting. Saya bukan wanita semacam itu. Kalau kamu pergi, saya pergi. Kalau kamu tidak pulang, jangan berharap saya melakukan hal yang berbeda."
"Itu namanya, perlakukan seseorang sebagaimana mereka memperlakukan kamu! Kamu ingin berbuat, kamu terima juga ganjarannya!"
"H-Hei! Kamu mau ke mana, Lovani!" Tergesa Anja mencabut seatbelt yang ternyata masih terpasang sedari tadi. "Lovani! Kita belum selesai!"
Terlambat. Wanita itu telah berjalan menghentakkan kakinya ke belakang gedung. Tak menoleh, malah meninggalkan semua bawaannya di dalam mobil. Kecuali ponselnya. Sisanya, ia tak mempedulikannya.
Rasanya seperti dirinya yang salah. Padahal Lovani-lah yang salah dalam hubungan ini. Ia hanya ... sedikit menyampaikan balas dendamnya, yang ternyata tak berpengaruh. Dengan cara apalagi ia harus membuatnya melara?
Hah!
Anja kehabisan ide.
***
Lovani Agastani.
[Sent a location.]
[Bisa tolong jemput saya, Rane?]
Hanya dua bubble chat itu yang mengawali perbincangannya. Pasalnya, Lovani tidak pernah merepotkan Rane di luar urusan pekerjaan. Ah, ia juga tidak pernah mengganggu Rane selain hari kerjanya.
Karena Anja, Lovani melanggar prinsipnya sendiri. Karena Anja, terpaksa Lovani duduk di bawah rimbunnya pohon agar terhalang dari sengatan matahari terik itu! Kurang ajar.
Tapi sekarang, perasaannya lebih condong ke arah sedih. Bukan marah atau apa.
Ting!
Saverane Lafael.
[Tunggu saya di sana, Nona. Saya akan segera menjemput Anda.]