Awful Smile

Pedal gas itu telah ditekan kuat oleh si pengemudi. Menginjaknya dalam-dalam selagi roda kemudi itu bergerak kilat ke kanan dan kiri. Menembus jalan lapang yang kendaraannya tidak seberapa, tapi terkesan lamban bagi pemilik mata keemasan tersebut.

Belum cukup, kecepatan itu ditambahinya lagi. Melirik gugup pada jam mobilnya yang baru bergulir dua menit semenjak pesan Lovani tadi. Itu pun, baginya sudah terlalu lama untuk Lovani menunggu di luaran sana.

Jarak dari rumahnya ke tempat di mana Lovani berada cukup memakan waktu. Tenang saja, akan dipangkasnya hingga tersisa lima menit menuju ke sana.

Memberhentikan mobilnya, Rane langsung mengangkat ponselnya di telinga. "Maaf saya mengganggu Nona. Nona sedang berada di mana? Kalau Nona tidak keberatan, tolong kirim foto posisi Nona kepada saya."

Beberapa detik, tidak ada suara yang masuk di antara ponselnya. Kondisinya sendiri mulai kalut. Ia takut kalau Lovani akan kecewa dan meninggalkannya seorang diri. Bukan permasalahan kalau ditinggalkan. Lovani akan naik apa nanti? "Nona? Apa Nona mendengarkan?"

"Saya dengar. Sudah saya kirimkan."

Semoga saja telinganya salah menangkap getaran itu. Sebuah foto sudah terkirimkan, dan posisi itu persis berada di depannya.

Lovani berada di belakang gedung besar itu seorang diri. Duduk di tepinya, berselonjoran kaki sembari menopang keningnya ke sisi kanan. Berlawanan dari arah datangnya Rane yang dari kiri.

Klap!

"Nona baik-baik saja?" Rane berinisiatif bersimpuh di depan Lovani. Memeriksa keutuhan tubuh nonanya walaupun Lovani tidak memintanya langsung. "Nona? Apa ada yang sakit? Ataukah Nona tidak sanggup berjalan?"

"Saya baik. Saya hanya butuh kamu untuk diam sekarang," jawab Lovani terengah. Menarik napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya irit. "Saya minta maaf kalau kamu terganggu di waktu senggang kamu. Seharusnya ini day off kamu dari bertemu saya, tapi-"

"Saya mengaku saya senang dibutuhkan oleh Nona," kata Rane hangat. Jaket yang dibawanya disampirkan pada bahu polos bertali dua tipis di bahu Lovani. "Cuaca sedang sangat terik, Nona. Akan lebih baik kalau Nona memakai jaket saya. Saya tidak mau Nona terbakar."

"Hmm ...." Lovani mengusap satu wajahnya penuh. Memaksakan senyumnya walau terlihat sangat buruk. "Terima kasih, Rane. Kamu selalu tahu apa yang saya butuhkan. Bahkan ketika saya tidak bisa membalaskan hal yang sama, kamu tetap memperlakukan saya begitu baik."

Rane balas tersenyum. Mengalih-fungsikan tangannya untuk menopang bobot tubuhnya di belakang. Meluruskan kakinya, memandang seluruh pohon rimbun yang menutupi mereka dari cahaya yang timbul tenggelam.

Terkadang keduanya memejamkan matanya, menikmati gulungan sepoi angin yang membelai lembut. Menghanyutkan mereka tanpa suara.

Suasana inilah yang dari dulu menemaninya. Diam ..., tenang ..., hening ..., senyap. Semua itu yang menjadi temannya. Entah sejak kapan situasi berubah drastis akan kehadiran orang cerewet layaknya Anja. Tidak ada hal yang tidak dikomentarinya. Ada-ada saja alasannya.

"Ini pertama kalinya saya melihat Nona berpakaian seperti ini," ujar Rane memulainya saat membaca kecerahan yang lebih baik dari kanannya. "Nona terlihat cantik. Berlipat lebih cantik dari saat menggunakan pakaian kantor."

Pujian sebodoh itu pun dapat meronakan pipinya akibat jarangnya ia mendapatkan pujian. Jadilah Lovani mengipasi pipi memerahnya itu diam-diam. "Diamlah."

Pria itu tak banyak bicara. Memandang nonanya lekat, lantas mulai berdiri, mengulurkan tangannya kepada Lovani. "Mari, Nona. Saya antar pulang. Tuan Anja pasti mencari Nona. Dia juga bisa salah paham kalau melihat keberadaan saya di dekat Nona di luar jam kerja."

Baru kedamaian didapatkannya, nama itu kembali menghancurkan kebahagiaannya. Uluran tangan itu terambilnya, tapi syarat lain keluar dari mulutnya. "Saya mengarahkan, kamu mengemudi. Kamu tidak boleh protes pada tempat yang saya arahkan. Mengerti?"

Sementara, ekor mata Lovani mendapatkan sebuah bayangan yang memecah sedikit perhatiannya. Tak ingin berlama lagi, Lovani menegapkan tubuhnya untuk mengambil langkah berikutnya.

Di belakangnya, Rane merangkul Lovani agar berjalan jaket yang belum terpasang sempurna itu tidak terjatuh.

Tapi jelas, bayangan itu mengartikannya secara salah. Tangannya mengepal kencang, meninju batang pohon yang tidak bersalah. "Damn it, Lovani!"

***

"Mbak? Permisi, kita sudah mau tutup, apa ada last order-nya, Mbak?"

Lovani mendongak sekilas, menurunkan lagi arah pandangnya. "Hm, butter croissant-nya satu, caramel latte satu. Keduanya di-take away. Terima kasih."

"Baik, Mbak. Mohon tunggu sebentar."

Di sela-selanya, Lovani merenggangkan tubuhnya malas. Melepaskan kacamatanya, pun, mengelilingi kafe kecil ini dengan matanya.

Sudah lama rasanya dia tidak bekerja dengan suasana kota senyaman ini. Lovani bukan anak malam, tapi terkadang ia menikmati suasana kemerlap kemeriahan kota. Meskipun dari jauh, dari pelosok, rasanya ia tetap memeriahkannya dengan tidak tidur.

Tadinya, ia berpikir untuk turun di showroom lain yang jauh dari tempat tadi. Namun, nyatanya, kemalasan itu lebih bermunculan saat melihat kafe pinggir jalan ini. Apa mungkin sebaiknya ia memanfaatkan Rane saja, ya? Apa itu terlalu kejam untuk Rane kalau Lovani belum pasti menerimanya?

Kepalanya dipenuhi berbagai pikiran, sampai tibanya pesanannya juga Lovani tidak menyadarinya. "Ini, Mbak. Berikut bill-nya sudah saya ambilkan. Mbak ingin pembayaran melalui apa?"

Sempat dirinya berpikir untuk mengambil kartu hitam pemberian Anja, tapi niat itu telah diurungkannya dalam-dalam. Tak ingin lokasinya ketahuan, kartu lain telah diberikan kepada waitress itu. "Terima kasih."

Berlalunya waitress itu, adalah awal mula dari kembang api yang meledak ke angkasa. Matanya membulat sempurna akan pemandangan seindah itu. Lama sekali ... sudah sangat lama tidak melihatnya sendiri.

"Ini, Mbak. Terima kasih-"

"Mbak," panggil Lovani. "Hari ini ada perayaan apa? Kenapa ada kembang api?"

"White day, Mbak," sahutnya menunjuk ke beberapa orang di dalam kafe yang tampaknya berpasangan, dengan coklat di atas meja mereka. "Cowok yang kasih coklatnya ke cewek sebagai pembalasan valentine yang lalu, Mbak. Beberapa memang ada yang merayakannya. Kalau begitu saya permisi dulu, ya."

DOR!

Petasan-petasan itu menyala yang kedua kalinya. Berwarna-warni begitu indahnya sehingga hampir membuatnya lupa diri. Bibirnya ternganga tak percaya, merekam semuanya untuk diserap dalam ingatannya.

Jika ia tak memiliki kesempatan melihatnya di lain hari, biarkan Lovani terlarut dalam kegembiraan semua orang. Entah yang berpasangan, entah yang sendiri, selama mereka bahagia, Lovani ikut bahagia untuk mereka.

Tanpa perasaan iri, tanpa perasaan dengki. Lovani tulus meski wajahnya datar. Lovani tulus meskipun semua ocehan kasar keluar dari mulutnya. Mungkin beberapa di antaranya berisikan kemunafikan, tapi semuanya memiliki latar belakangnya sendiri.

Akan tetapi, sejauh ini, tak ada yang berniat mendengarkannya. Tak ada yang pernah menanyakan alasannya, mengapa Lovani berbuat seperti itu. Semuanya memandang sebelah mata, lantas Lovani harus menyalahkan siapa?

Sebulir ..., diikuti bulir yang lain turun melihat seorang ibu membelai lembut kepala anaknya penuh cinta. Tak tertahankan lagi, Lovani menunduk, pasrah membiarkan air matanya berjatuhan. "Kenapa hidupku tidak bisa normal?"