Wait For Me

Mendapatkan pelepasan kesekiannya, Anja ambruk ke sisi kasurnya, berangsur menetralkan diri, sementara Angel masih merangkul pinggang ramping itu ke dalam dekapannya. Mendekatkan dirinya pada Anja yang tak menjauhkannya, ataupun tak balas memeluknya kembali.

"Anja ... kamu tidak mengecup keningku seperti biasanya?" Angel melirik ke atas, merasa akan sedikit keanehan dari Anja yang sangat jarang dilakukannya. "Apa ... kamu lupa?"

"Hm," gumam Anja, mengabulkan keinginan Angel seperti biasanya. Mengajak wanita itu untuk mendengarkan detak jantungnya, menghampiri kening berkeringatnya, ke pipi, beralih lama lagi di bibir Angel.

Melumat dan mencecapnya hingga timbul percikan-percikan cinta, tapi bukan lagi gairah. Sesudahnya, mengusap kepala Angel penuh kasih sayang. "Maaf, tadi aku lupa. Aku sedikit lelah. Aku sayang kamu, Angel. Kamu jangan berpikiran macam-macam lagi, hm?"

"Aku sayang kamu juga, Na. Sayang banget sama kamu," ungkap Angel membenamkan kepalanya ke dada berotot itu. Ia sangat suka jika Anja terus memelihara ototnya itu. Sangat suka. "Na, aku mau tanya ke kamu, tapi kamu jangan tersinggung, hm?"

"Iya," jawab Anja lembut. Meneduhkan tatapannya pada mata yang berkedip-kedip indah itu. "Kenapa, Sayang? Mau tanya apa?"

"Masalah kamu belum selesai sampai sekarang, ya, Na?"

Rongga dadanya menjadi kempis untuk beberapa detik. Tampaknya Angel tak menyadarinya, meneruskan lagi ucapannya, "Aku udah tunggu kamu dari hari ke hari, sampai mau empat minggu, Na. Satu bulan. Kamu baru ke sini lagi. Masalah apa, sih, yang menyulitkan kamu? Ada yang perlu bantuan aku, gak?"

Mungkin, ini bisa jadi pertanyaan ke seratus yang keluar dari bibir mungil itu. Jika dulu Anja menuturkannya secara main-main, Anja tidak bisa lagi bertingkah seperti dulu.

Menurutnya, Angel terlalu memaksa. Meskipun itu adalah hal yang wajar, tapi jujur saja, Anja kesulitan untuk mengatur waktunya. Bahkan jika dia dan Lovani tidak bertengkar hari ini, Anja tidak bisa berkunjung ke sini.

Dan Angel, selalu mempertanyakan hal yang bodoh.

"Na ..., kenapa?" tanya Angel terdengar kecil. "Kamu kerutin dahi kamu. Kamu marah karena aku tanya itu ke kamu?"

"Enggak," jawabnya singkat. Mengecup punggung tangan Angel untuk waktu yang lama. Bukan mengekspresikan kasih sayangnya, tapi berusaha meredam kobaran yang akan memakan korban. "Aku lagi berusaha, Gel. Maaf buat kamu nunggu aku lagi."

"Tapi, Na." Angel menangkup rahang itu dengan sebelah tangannya. Mengusap janggut-janggut itu beraturan. "Kamu beneran lagi ada masalah?"

"Gel-"

"Kamu mainnya agak kasar tadi," aku Angel. Mengurai rambut-rambut gelap itu pelan. "Aku kaget, aku takut juga liat mata kamu segelap tadi. Tapi semua udah selesai ... aku gak masalah sekarang."

"I'm sorry," sesal Anja. "I'm really sorry. Maaf, tadi aku gak sadar. Aku-"

Cup!

"It's okay. Itu bukan masalah besar, Anja." Angel kembali memeluk Anja. Kini, meninggikan dirinya agar dapat memeluk semua tubuh Anja yang biasanya tak dapat diraihnya saat berhubungan. "Tapi lain kali kasih tahu aku, ya?"

Tanpa sadar, Anja melampiaskan semua kekesalannya dari Lovani kepada Angel. Orang yang malah tak tahu menahu kalau Anja sudah menjalani hubungan yang sah dengan Lovani. Malah, tidak ada yang berjalan lancar. Lovani masih bebas berkeliaran di luar sana. Anja belum memiliki kemampuan untuk menjatuhkan Lovani.

Bagaimana ini? Semuanya hampir kacau balau. Tidak ada yang dikerjakan benar olehnya. Dirinya ini tak becus dan tidak berkemampuan. "Aku minta maaf, Gel. Aku sangat-sangat minta maaf ke kamu."

"Na?"

"Biar aku begini sebentar, Gel. Izinin aku peluk kamu lebih lama dari biasanya."

Angel terdiam juga lebih lama dari yang seharusnya. Tangannya terbentang kaku merasakan dentuman keanehan yang terus ia rasakan dari bertemu Anja. Namun, selama Anja masih di sisinya, ia tidak mau memperburuk suasana hati Anja.

Biarkan ia yang menjadi penguat untuk Anja. Bila Anja memegang satu dunia, biar Angel yang memegang Anja. Melindungi Anja dari kejamnya dunia, karena Anja telah berbuat hal yang sama untuknya.

"Gel, aku bakal selesaiin ini secepat mungkin dan lamar kamu," ujar Anja penuh tekad. "Setelah semuanya selesai, kita menikah."

Angel tersenyum kecut. Hal yang sudah lama terkubur terangkat lagi. "Na ... itu hal yang mustahil, kamu tahu itu. Semua kolega kamu, temen-temen kamu nentang aku karena aku gak bisa diandelin. Jalan aja gak bisa apalagi ngurus kamu seumur hidup. Aku cuman jadi beban."

Cup!

Rekahan yang membengkak itu menutup lama celotehan itu. Sedikit lagi terucap, Anja tidak akan pernah bisa memaafkan orang yang membuat kedua kaki Angel menjadi tidak berdaya lagi. "Hal yang aku katakan akan terjadi, Angel. Jadi tolong turutin aku, ya? Aku gak bakal ngalah lagi kalau kamu masih ngotot."

"One round lagi, Babe?" tanya Anja yang mendapat anggukan dengan mudahnya.

***

Anja Gastana.

[Saya seminggu ke depan tidak akan berada di rumah. Saya berada di rumah Angel, jadi seminggu penuh itu, kamu bisa bebas menggunakan waktu kamu tanpa perlu takut kalau saya akan mengganggu.]

"Saya bahkan tidak peduli jika rumah ini kosong selamanya. Saya sudah siap sejak dulu." Lovani melempar ponsel itu ke sebelah kanannya. Malas membalas pesan singkat itu.

Sekarang, ia tidak punya kendaraan untuk ke mana-mana. Motor tidak punya, dan karena kearoganannya, ia juga tidak punya mobil. Definisi orang kaya yang tidak punya apa-apa. Dasar pria penyiksa. Bagaimana Angel bisa tahan dengan orang sepertinya?

Ting!

Ponsel itu mulai berisik karena tidak ada balasan. Si pengganggu yang tidak tahan jika terabaikan. Dasar kekanakan. Apa dia pikir hanya dengan pesan ini, Lovani bisa cemburu? Heh! Jangan harap!

Ada dan tiadanya Anja tak akan berpengaruh banyak. Bahkan lebih baik jika tidak ada pria pengoceh itu di sini.

Kring!

"Halo, Rane?" Sebelum telepon itu padam, Lovani sudah menempelkannya di telinga itu. Menjawabnya pada dering ke satu. "Maaf saya tidak masuk hari ini. Apa ada sesuatu yang darurat?"

"Sesungguhnya saya ingin menanyakan keadaan Nona hari ini, tapi maaf saya tidak bisa melakukannya," ujar Rane dimulai dengan kelembutan, sebelum melanjutkannya ke bagian yang serius. "Maaf juga kalau saya mengganggu waktu Nona, tapi sayangnya hari ini ada hal yang mewajibkan Nona untuk datang ke kantor."

"Sungguh?" Sial! Padahal ia berniat menggunakan hari ini sebagai hari bersantainya! Kenapa saat ia di kantor, semua hari membosankan. Saat ia di rumah, malah semuanya remuk memberikannya beban. "Saya akan tiba dalam tiga puluh menit. Sebelum itu, tolong jabarkan hal apa yang penting."

"Kita kedatangan tamu penting, Nona. Orang itu datang sendiri ke perusahaan kita untuk mengundang secara resmi. Dia sudah setuju untuk menunggu sampai kedatangan Nona untuk menyatakan niatnya sendiri."

Shit! "Saya akan sampai dalam lima belas menit!"