"Apa kedatangan Kakak ke sini memberikan kekesalan untuk kamu, Wisely?"
Yang ditanya tidak bisa menjawab sebagaimana mestinya. Menyorot tajam di mana kata-kata itu berasal, si pembicara. Tak ada yang keluar dari bibir merapat mereka. Jawabannya sudah dipastikan bahwa Wisely mengungkap kekesalannya saja. Itu tidak benar-benar dari hatinya.
"Kakak minta maaf kepada kamu, ke kakak-kakak kamu juga, Wisely. Maaf kalau Kakak menghilang tanpa kabar, tidak memberikan kabar untuk kamu, meminta Ayah untuk merahasiakan keberadaan Kakak juga, Kakak minta maaf untuk semua itu."
Lovani menjeda sekejap, tak mengelak atas semua kekesalan dan keresahan yang dituturkan oleh Wisely tadi. Ia pantas mendapatkannya. "Untuk pernikahan Kakak sendiri ..., itu juga diadakan mendadak. Mama yang mengatur semuanya, aku tidak sempat untuk memeriksanya lagi karena sibuk akan urusan perusahaan. Lalu-"
"Apa Kakak mencintainya?" tanya Wisely memotong semua alasan yang kurang lebih sudah dipahaminya. "Aku hanya perlu tahu itu. Apa Kakak bahagia ketika bersamanya?"
Hal yang lebih mirisnya lagi, keluarga yang tidak sedarah dengannya malah yang mempertanyakan hal tersebut. Hal yang sama, berulang kali seolah ingin memastikannya. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, Wisely? Kakak-"
"Kakak mencintainya atau tidak? Seharusnya itu bukan pertanyaan yang sulit untuk Kakak jawab, bukan?" desak Wisely tak memberikan Lovani keputusan mengelak. Terlalu bertele-tele, tidak seperti Lovani Agastani yang dikenalinya. "Jadi apa jawabannya?"
"Tentu saja Kakak mencintainya." Mau tak mau, Lovani tersenyum pahit. Sedikit kerelaannya keluar demi Wisely. Agar adik angkatnya yang paling kecil ini tidak khawatir saat pernikahan mereka berjalan nanti. "Kakak tidak mungkin menikahinya kalau Kakak tidak mencintainya, bukan? Kamu juga sama. Memilih untuk menikah di usia muda karena kesiapan kamu untuk menjalani hidup bersamanya sebagai sepasang suami istri."
"Akan ada lebih banyak hal yang Kakak pikirkan daripada kesiapan Kakak sendiri," sahut Wisely datar. Beranjak bangun, menggeser bangkunya sendiri agar dapat merangkul kakaknya yang sudah lama tak dijumpainya. "Kakak berbohong."
"Aku tidak-"
Tubuh besar yang melingkupinya menahan pembicaraan menyakitkan yang akan keluar kemudian. Seolah dapat memprediksi kalau ini tak akan berjalan sebaik itu. Jadilah, akan lebih baik kalau dihentikan untuk sekarang.
Lovani pun sangat paham akan pelukan erat ini. Antara kerinduan, juga rasa sakit yang ditahan Wisely dan kakak-kakaknya selama bertahun-tahun. Pernikahan mereka pun tak disambangi oleh Lovani karena terlalu sibuk urusan pekerjaan.
Baru sekarang, giliran adik bungsu mereka yang bisa didatangi Lovani karena kedatangan Marcus langsung ke perusahaannya. Pertemuan pertama yang pastinya sangat menyesakkan untuk ketiga bersaudara itu.
"Tiada hari yang kami lewati tanpa merindukan Kakak. Kakak tahu itu tidak?" tanya Wisely pedih. "Sudah lama aku ingin Kakak bertengkar denganku lagi, memelukku lagi, saling mengoceh sampai larut malam, nyatanya Kakak hilang kabar."
"Kakak sudah menjadi pengganti Ibu bagi kami. Usia kami tidak berbeda jauh, tapi Kakak begitu dewasa menghadapi kami semua. Kami seperti kehilangan ibu kedua bagi kami. Mungkin bagi Kakak itu tidak penting, tapi bagiku itu adalah hal paling menyakitkan," terang Wisely.
Walau sedikit tersendat, Lovani dapat memastikan kalau tangannya sedang beranjak naik ke atas. Memberikan kenyamanan pada tubuh adiknya yang sudah menjadi 'pria sejati' dengan tidak dendam.
"Kamu sudah besar, Wisely," ujar Lovani mengusap pelan punggung kekar di balik balutan kemejanya itu. Mengurai pelukan mereka, membelai hangat wajahnya yang telah dewasa. "Tapi ..., bagaimana ini?"
"Apa?"
"Kamu masih cengeng seperti dulu," ejek Lovani tergelak. "Lihat, lihat! Bahkan kamu hampir menangis sebelum pernikahan dilaksanakan."
"Kakak!" rengek Wisely kesal. "Kakak selalu menghancurkan suasana. Selalu!"
Lovani memeletkan lidahnya tidak peduli. Memeluk sekali lagi adiknya, mengepalkan kedua tangannya. Mengacungkannya bergantian kepada si pria rapi tersebut. "Kamu harus menjadi pelindung untuk keluarga kamu nantinya. Mengerti? Atau kepalan tangan ini akan mendarat di kening kamu seperti dulu."
Teringat akan masa yang lalu, sontak Lovani dan Wisely tertawa bersama. Menertawakan semua perjalanan bodoh yang mereka lalui dahulu. Memang bodoh, tapi akan terkenang sepanjang masa. Tak akan terlupakan selamanya.
"Aku masih ingin berbincang lama dengan kamu, Wisely. Sayangnya, hari ini bukan waktu yang tepat." Lovani berjinjit menggapai tatanan rambut Wisely, mengembalikannya seperti sedia kala. "Mungkin lain kali. Kalau begitu, aku pamit dulu, hm?"
"Berjanjilah Kakak tidak akan langsung pulang, ya?" pinta Wisely memelas.
Jika sebegitu mudahnya mengabulkan, Lovani pasti berjanji. Ya, jika saja janji itu mudah untuk terkabul tanpa masalah. "Mungkin saja. Kakak akan melihat situasinya nanti."
"Berikan aku nomor telepon Kakak!" seru Wisely bersemangat merogoh kantung celananya. "Aku akan menghubungi Kakak nanti."
"Beritahukan dulu kepada istrimu. Dia akan cemburu melihat profile perempuan di sini," jawab Lovani mengulum senyumnya. Mengetikkan beberapa nomor, lantas mengembalikannya kepada sang pemilik. "Baiklah. Sampai jumpa, Wisely."
***
"Merasa lebih baik?"
"Kebalikannya." Lovani mengusap lengannya merasakan dingin yang berlebihan. AC di rumahnya jarang dinyalakan, sementara AC di kantornya diurus oleh Rane. "Aku belum menjelaskan semuanya secara rinci, sementara aku tidak mau merusak pernikahannya hari ini."
"Maka dari itu mulai sekarang kamu harus menerima tawaran pertemuan keluarga sebulan sekali itu, Lovani," kata Marcus berupa perintah. "Ajak suamimu juga. Kenalkan pada Ayah juga. Ayah ingin tahu sosok dari pemimpin yang tidak mencintai putri Ayah yang cantik ini."
Apa memang sudah sejelas itu? "Kenapa kalian semua berkata begitu, sih?"
"Kalau kamu bahagia, Lovani ...." Dua jari Marcus menjawil jahil hidung mancung Lovani. Kemudian, tertawa melihat putri angkatnya bersungut-sungut gemas. "Kamu akan mengundang kami semua. Pernikahanmu tidak akan diatur Mama kamu, kamu juga akan mengenalkannya kepada kami. Ayah tidak bisa melihat adanya cinta di mata kalian. Kalian pasangan asing. Disebut teman saja bukan."
Di ujung kata-kata yang menggantung, Lovani mematung melihat keadaan di meja lima itu. Lengannya yang terlipat terkulai lemas di sana. Sungguh, apa yang lebih buruk atas kehadiran Anja, Ginara, dan Levana dalam satu meja? "Ayah mengundang mereka?"
"Maaf," sesal Marcus berwibawa. "Ayah tidak bisa hanya mengundang kamu saja. Mama kamu tidak akan pernah tinggal diam kalau Levana tidak diikutsertakan pada acara yang sama dengan kamu. Kemudian, jika ada Levana, berarti ada Ginara Chari."
"Tapi setidaknya, kamu mengajak Saverane, bukan?" Marcus merendahkan intonasi suaranya. Berbisik kecil, "Ya ... walaupun dia tidak sepintar Anja, setidaknya dia memiliki hati yang tulus."
"Ayah! Putrimu ini sudah menikah!" sentak Lovani gatal mendengar bisikan itu. "Sudahlah! Aku kembali ke meja dulu. Sampai jumpa nanti, Tuan Marcus."
Lovani menyudahi komunikasi itu dengan bungkukan singkatnya lagi. Tungkai bawahnya mengambil banyak langkah untuk tiba di meja menyesakkan itu.
Maka dari itu, jika belum ada masalah hari ini, maka ada sesuatu yang aneh akan terjadi. Rutinitas yang selalu sama. Lovani mengangkat bibirnya berperilaku sopan. "Selamat malam, Mama, Levana. Juga ..., Tuan Anja."