"Sedikit mengejutkan ... kamu bisa datang ke sini ..., Anja? Saya pikir kamu orang yang sibuk," sindir Lovani menyimpan kejengkelannya. Kalau ada Anja, berarti mereka akan terus bertengkar tiada henti. Lalu di depan sana ... Ginara dan Levana .... "Ma, Levana, apa urusan kemarin sudah selesai sampai kalian bebas menghadiri acara ini? Sepertinya masalah kemarin cukup rumit, hm?"
"Levana tidak sepayah yang kamu pikirkan, Lovani," jawab Ginara sengit. "Dia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, ya, 'kan?"
Orang yang ditunjuk itu membetulkan jasnya. Menaikkan kedua alisnya, menunjukkan seolah 'itu bukan masalah besar' pada Lovani. "Ya ... begitulah."
Nyaris. Nyaris saja Lovani menyemburkan tawanya. Untung saja berhasil kembali ia telan bulat-bulat. Ha ... baiklah. Rupanya jasanya sama sekali tidak dianggap. Padahal ia memberikan banyak kontribusi ke dalamnya.
Tidak apa-apa. Sudah biasa. Lovani sudah biasa diperlakukan seperti ini. Dianggap saingan juga. Dirinya duduk bersandar, menumpukkan tangannya di atas pangkuan. Menoleh ke arah panggung di mana lagu terus diputar.
"Jas saya, Nona?" tawar Rane kedua kalinya.
Baru Lovani ingin mengambil lagi, Anja berdeham berat. Akibatnya, Lovani tersenyum kecut. Mendorong jas yang hampir digapainya. "Pakai saja untukmu. Aku tidak apa-apa."
Namun sialnya, Anja sama sekali tidak peduli. Sama sekali tidak berinisiatif untuk melepaskan jasnya, seperti yang dilakukan Rane.
Tahu begitu, Lovani terima saja tadi! Siapa peduli atas Anja? Hanya karena tak enak ditontoni oleh banyak orang yang tahu pernikahan mereka saja, makanya Lovani terpaksa mendorong kembali benda hangat itu. Sayang sekali.
"Hadirin-hadirin sekalian yang kami kasihi, dipersilakan bangkit untuk menyambut kedatangan dua pengantin baru kita hari ini ..., Wisely Maximillian dan Rose Anastasia!"
Setelahnya, pintu di paling ujung terbuka lebar. Wisely benar-benar berbeda dari tadi. Perawakannya tenang, menggandeng Rose yang tersipu malu-malu dipandangi banyak orang. Kala kesulitan akan dress-nya pun, Wisely menunggunya, membantunya untuk mengangkat dress panjang itu.
"Rangkul saya," bisik Lovani pada Anja. "Cepat!"
"Untuk apa saya merangkul kamu? Kamu sendiri yang bilang saya punya wanita lain," balas Anja menyindir.
"Lakukan saja apa yang saya perintahkan," desis Lovani memaksa. Lengan Anja pun terambilnya untuk bertumpu pada sisi lain dari pinggangnya.
Tepat di detik persekian dari tindakan yang dilakukan keduanya, pengantin pria itu mendapati Lovani berdiri di sisi kanan dari karpet bludru yang membentang sampai ke atas panggung.
Wisely melambai kecil, tersenyum lega bahwa Lovani tampak baik-baik saja dengan si wajah datar itu. Apa mungkin ia hanya berlebihan?
Lovani pun membalas senyuman itu sebaik mungkin. Balas melambaikan tangannya yang berada di bawah, memepetkan diri lebih dalam agar kemesraan mereka terlihat lebih jelas lagi.
Pria yang merangkul Lovani turut memberikan kemesraannya tersendiri. Ia sudah tahu untuk apa Lovani berbuat seperti ini. Maka, ia menambahi dengan sedikit bumbu natural. Menunduk sedikit, mengecup pipi kanan Lovani.
Namun, kemudian berbisik kecil, "Kakak yang baik, hm?"
Lovani diam mematung bersama wajah terkejutnya yang sedikit tak percaya Anja rela melakukan itu dengannya. Tak berlangsung lama, jari Lovani menemukan tempat terbaiknya di pinggang Anja.
Meremasnya kuat-kuat hingga Anja mengaduh untuk mempertahankan ketegapannya di sana. "Saya kesal mengungkapkannya, tapi terima kasih sudah membantu saya. Lain kali, beri saya kode dahulu! Dasar pria kurang ajar!"
"Terserahlah!" sungut Anja sebal. Niatnya membantu, malah pinggangnya menjadi biru. "Kalau begitu, lain kali saya malas membantu kamu."
"Saya juga malas tapi saya tidak meninggalkan kewajiban memasak untuk kamu." Lovani mengerling malas.
Usai kedua pengantin itu tiba di sisi tertinggi mereka, semua audiens kembali duduk. Begitu pula Lovani dan Anja seperti pasangan sehabis bertengkar. Wajah keduanya bertekuk dongkol, tak ingin saling melihat.
Kata-kata sambutan itu terngiang lagi layaknya pernikahan mereka dahulu. Perbedaannya, Wisely senantiasa memegang lembut tangan istrinya, Rose. Menenangkannya yang terlihat gugup, sesekali mengecupinya.
"Pengantin laki-laki dan perempuan boleh berciuman!"
Kini Wisely yang nampak agresif. Mendekatkan dirinya, mengusap pipi Rose selembut kapas, memiringkan kepalanya guna mencium Rose.
Pernikahan yang diimpikan semua orang, termasuk yang diimpikan Lovani juga. Meskipun mencoba menahannya, mata Lovani tetap terlapisi cairan bening yang siap tumpah. Seraya bertepuk tangan meriah dengan senyuman lebarnya menyambut pasangan baru hari ini.
Anja melihat semuanya, dan ia bergeming dalam diamnya.
***
"Hubungan kalian tampak membaik, hm?" Ginara mulai berbicara mengisi kekosongan di meja lima yang memekak. Menghapus noda-noda, lantas meminum airnya. "Yang Mama pilihkan untuk kamu, tidak buruk, 'kan?"
"Tidak buruk," sahut Lovani. Melanjutkannya kemudian di dalam hati, 'Sangat buruk!' Tapi untuk kesekian kalinya, kalimat bengis itu tidak dapat terucapnya. "Levana sendiri kapan menikah?"
"Oh, dia tidak menikah," jawab Ginara santai. "Dia hanya akan bertunangan. Mereka berdua akan tinggal serumah, rumah yang sudah Mama persiapkan untuk mereka. Daripada itu, mungkin kamu harus fokus untuk hamil, Lovani. Anja dan kamu membutuhkan pengurus, bukan? Mungkin satu untuk Anja, satu untuk kamu. Dengan begitu, Jay dan Nile bisa sama-sama berdiri-"
Trang!
"Ma!" seru Lovani. "Bisa tidak, jangan mengurus hidup Lovani terus? Anja dan Lovani akan punya anak kalau kami menginginkannya!"
Ginara tampak tak suka akan pernyataan itu. "Jadi kamu sedang menunda untuk punya anak? Lalu tujuan kalian untuk menikah apa? Benar, Levana bisa memimpin setelahnya, tapi dia hanya bertunangan. Kamu yang akan memiliki anak duluan, Lovani. Setelah kepemimpinan Levana, anak kamu bisa meneruskannya, baru kemudian anak Levana."
Rane menoleh kepadanya. Berkata melalui pandangannya, 'Haruskah kita pergi dari sini sekarang, Nona? Nona tampak tidak nyaman.'
"Saya sudah bilang juga apa, Lovani. Kamu tidak ingin mendengarkan," sahut Anja santai. Memakan dessert yang tersedia, sementara di sebelahnya, ada api yang sebentar lagi meledak.
"Jaga bicara kamu kalau kamu tidak ingin saya bocorkan, ya," ancam Lovani. "Biar Lovani tekankan kepada kalian semua. Satu, Levana tidak akan memimpin. Dua, Lovani dan Anja akan punya anak kalau kami ingin. Jika tidak, itu bukan urusan kalian."
Kapan mamanya itu akan berada dalam masa warasnya? Lovani terus-menerus merasakan keobsesian mamanya itu terhadap dirinya, terhadap perusahaannya. Sampai kapan semua akan berakhir?
Mendadak, sekelilingnya terasa berputar abstrak. Mengedip berkali-kali, menyentak kepalanya ke kanan agar berangsur normal. Semua itu adalah hal yang sia-sia.
"Lovani pulang dulu kalau hanya urusan itu yang ingin kalian bahas." Bergegas, Lovani meninggalkan meja di sana. Memegang ujung bangku itu gemetaran, takut suatu saat akan jatuh sementara sampai ke pintu luar, ia masih harus terlihat sempurna. "Lovani tidak akan mengandung anak yang belum Lovani inginkan. Itu keputusan terakhir Lovani."
"Nona Lovani-"
"Singkirkan tanganmu dari istri saya," seru Anja tajam. Menepak uluran tangan itu, menggantikannya menjadi miliknya. "Tidak perlu sok peduli lagi. Saya yang ambil alih dari sini."