Kejadian tadi malam menjadikan orang di kamar sebelahnya layaknya batu. Hari Minggu yang semestinya menjadi jatah Lovani untuk bekerja di dalam rumah, dia pun tidak keluar. Mendekam tanpa suara, tidak beranjak keluar untuk makan pula.
Lalu, Anja harus apa? Tentu itu mengusiknya. Kalau terjadi sesuatu pada Lovani, ia harus apa? Apalagi kemarin ia ikut menambahkan. Di satu meja itu tidak ada yang membelanya, tentu Lovani merasa pusing.
Garpu dan sendok itu terpias di atas piring putihnya. Makanannya masih tersisa setengah, tapi ia sama sekali tidak bisa fokus. Pikirannya terus dan terus mengarah pada Lovani.
Jari-jarinya menyugar rambutnya lelah. Mengusap wajahnya, kakinya mengkhianati logikanya yang berteriak bahwa semua ini salah Lovani dan ini di luar tanggung jawabnya.
Tok! Tok!
"Lovani? Apa kamu sedang di dalam?"
Diabaikan dengan elegan. Cara Lovani seperti biasanya, mudah mengundang kemarahan seorang Anja. "Lovani? Kamu dengar saya tidak?"
"Hm," sahutnya serak. "Ada apa?"
"Kamu baik-baik saja?" tanya Anja datar. Menahan semua kekhawatirannya yang mencuat kala mendengar sendiri bahwa Lovani bukan dalam keadaan yang fit. "Kamu belum makan sejak kemarin. Keluarlah. Saya sudah memasak makanan."
"Tidak pernah lebih baik dari ini," jawab Lovani dari dalam sana. "Saya akan keluar jika saya mau. Itu bukan urusan kamu."
Sebenarnya, wanita itu kenapa, sih? Yang memiliki dendam juga siapa di antara mereka? Percakapan mereka tidak ada yang berlangsung baik. Saling menyindir, saling berbicara kasar, saling menghujat satu sama lain.
Anja yang berpikiran untuk menyiksa Lovani, diri sendirinya juga tersiksa karena hal ini! Ucapan Lovani kadang tepat sasaran sehingga Anja tidak dapat mengelaknya. Kebohongan apa yang bisa menimpali kebenaran?
"Boleh saya meminjam laptop kamu, Lovani?" Anja bertanya ragu-ragu. Merasa bahwa ini adalah cara terbodohnya untuk memeriksa keadaan Lovani sendiri. "K-kebetulan laptop saya ketinggalan di rumah Angel. Saya kerepotan untuk bekerja menggunakan ponsel dan tablet."
Kain tebal yang menutupinya dari ujung kaki sampai ujung kepala tersibak gemas. Selalu saja ada kekacauan yang dibuat oleh Anja baik kemarin maupun hari ini. Tiada hari tanpa gangguan. Lovani layaknya mengurus bocah berusia lima tahun yang menyebalkan.
Jari-jarinya meraba asal topi dan masker di samping nakasnya. Memasang sandal kamar berbulunya, Lovani mulai melangkah terhuyung. Kepalanya berat, pandangannya memburam. Akan tetapi, Lovani adalah Lovani. Setumbang apa pun dirinya, tak akan dibiarkannya untuk menunjukkan sisi lemahnya.
Klak!
"Ambil apa pun yang kamu mau dan cepat pergi dari sini," kata Lovani bersembunyi di balik pintu. Menutup rapat topinya agar lepas dari jarak pandang Anja. "Jangan membuka file saya. Saya mempercayakan hal itu ke kamu."
Siapa pun yang masuk ke ruangan ini, akan salah fokus pada orang yang di belakang Anja. Siapa yang memakai topi dan masker di dalam ruangan kecil ini? Fungsinya untuk apa? "... kulit kamu sedang buruk?"
Netra abu-abu itu masih sanggup menjurus lurus ke si pemandang yang melongo. "Bukan urusan kamu! Cepat ambil yang kamu inginkan dan pergi!"
Bukan namanya Anja kalau dia tidak keras kepala seperti Lovani. Perintah itu dibalikkannya oleh Anja. "Buka masker dan topimu. Apa yang kamu sembunyikan di balik itu?"
Memang sebuah kesialan baginya untuk mengasihani dan memberi Anja akses masuk ke dalam kamarnya. Terakhir saja, sudah merupakan suatu beban untuk melupakan kejadian yang lalu. Sekarang ... apalagi?
Ini juga termasuk tindakan Lovani untuk mengantisipasi tindakan berbahaya Anja! Walaupun ... sebagian lainnya adalah untuk menutupi flunya ini. "Saya sedang flu. Saya tidak mau menularkan kamu. Ambil laptop itu atau saya usir kamu dari kamar saya?"
"Kamar kamu termasuk bagian dari rumah saya." Anja bersedekap dada, memperlihatkan sebagaimana ototnya itu timbul karena dilatih rutin. "Kalau kamu tidak mau membukanya, saya juga punya kunci cadangan."
Sungguh! Apa harus berdebat di situasi macam ini? Kakinya bahkan sudah lemah bak jelly di pojok ruangan. Dan si pria ini sama sekali tidak bisa mengalah.
Menunggu Anja mengambil barang yang dibutuhkan itu lama. Lovani yang mempersiapkannya jauh lebih cepat dan ringkas. Yang perlu dilakukan pria itu hanya berdiri di ambang pintu, melihatnya saja!
"Sekarang, silakan keluar." Laptop pipih itu didorong, bersama dengan si pengambilnya yang masih mendelik penasaran ke arahnya. "Tuan Anja, harap bersikaplah sopan kepada saya!"
"Kenapa suara kamu serak-"
Blam!
Pintu itu dibantingnya segera. Meluruhnya tubuh itu disertai dengan pelepasan penutup kepala dan penutup sebagian wajahnya. Menyesakkan. Keringat itu mengucur mewarnai sisi-sisi wajahnya.
Tempat di mana jantungnya berdetak itu ditepuknya berulang kali. Terbatuk-batuk kecil karena kerongkongannya yang kering, bersandar dan menengadah ke atas guna memperbaiki matanya yang terlalu berbayang sekarang.
Kepalanya seakan ditusuk beribu-ribu jarum. Pening sekali. Sampai dirinya mau tak mau memijat kepalanya sendiri.
"Lovani, kamu lupa mengambilkan saya kabel laptop-"
Ya, dan dua pemilik mata abu-abu itu saling bertemu. Beragam dan jutaan makna yang mereka pancarkan melalui kedipan lamban mereka itu. Mengirimkan signal SOS bahwa salah satu dari mereka di ambang kesadarannya.
"Ayah?" gumam Lovani kecil. "Ayah pada akhirnya menjemputku?"
Ayah? Satu kata itu memberikan kejutan lagi kepada Anja. Anehnya, ia terpaku di posisi yang sama, tidak mampu menghampiri Lovani seperti ia khawatir pada Angel.
Ada garis palang yang ditarik antara Lovani dan Anja. Ia tidak mengizinkan Anja untuk mendekat dalam kondisi apa pun. Halang rintang yang sudah pasti akan gagal bila dilewati Anja.
"Ha ... ha ...." Lovani tertawa, menunduk lagi. Menggoyangkan kepalanya lemah. "Ternyata saya salah orang. Kamu adalah Anja, bukan ayah saya."
"Pergi kalau kamu sudah puas melihat saya yang lemah ini," usir Lovani melirih. "Pergi kalau kamu masih ingin menyakiti saya. Pergi kalau kamu mau menambah rasa sakit yang saya rasakan. Saya tidak butuh kamu untuk menghancurkan saya, saya sudah hancur kalau itu yang kamu mau tahu."
Sialannya, flu-nya ini membuatnya terlihat seperti orang bodoh dan lemah. Akan lebih baik kalau ia sakit di apartemen seperti waktu-waktu yang laalu. Mengobati diri sendiri, berdiri sendiri, berjuang sendiri. Tidak bergantung pada manusia berdarah dingin di ambang pintu itu.
Tergopoh-gopoh tangan lunglainya meraba daun pintu. Ingin mendorongnya, tapi ternyata malah lengannya itu dikalungkan di leher besar pria itu. Secara tiba-tiba tubuhnya terangkat bridal style untuk beberapa detik.
Beberapa detik yang membuatnya tercenung cukup lama. Kini pandangannya terasa semakin jelas akan kehadiran pria itu. Rahang tegas dan padat itu menyita perhatiannya. Kalau Anja tidak sebrengsek yang diingatnya, mungkin ia lebih bisa menerima perlakuan pria itu lebih baik lagi.
"Tunggu di sini," peringat Anja tak main-main. "Saya bawakan makanan ke sini."