"Seperti kamu yang tidak ingin terkalahkan, saya merasa tersaingi akan keberadaan Rane," aku Anja jujur. "Lagipula ... bukannya lebih baik kalau kamu menaruh hati pada saya saja? Kita sudah terikat pernikahan yang sah, saya juga terikat di sini dengan kamu."
"Anja," panggil Lovani. Mengedip lembut, penuh perhatian untuk pertama kalinya sesudah mereka tinggal satu atap. "Saya tahu, kamu mencintai Angel. Kamu bukan milik saya untuk selamanya. Kamu tahu itu, saya juga tahu itu. Cepat atau lambat kamu harus menikahi Angel kalau memang kamu mencintainya, bukan?"
Juga, menceraikan Lovani. Tapi Lovani sengaja enggan melanjutkannya. Itu berat di hatinya, jujur saja. "Seorang wanita membutuhkan kepastian dari pria yang dicintainya. Bukan hanya keberadaan kamu yang dibutuhkan. Status juga sama pentingnya dengan keberadaan kamu."
Anja terbius semata oleh lontaran kalimat yang menghipnotisnya itu. Ia jadi tidak yakin akan dirinya sendiri bahwa Lovani adalah tokoh antagonis, sementara dirinya adalah protagonis yang akan mengalahkan antagonis.
Kenapa Lovani begitu tulus mendukungnya? "Kamu memiliki maksud tersendiri di balik kalimat ini, Lovani?"
"Saya jarang mengungkapkan sesuatu secara tersirat. Kamu tahu itu, Anja," ungkap Lovani kian mengecil. "Saya memperlakukan orang sebagaimana saya ingin diperlakukan. Saya dan Angel sama-sama wanita. Saya mengerti perasaannya, dan saya menjaga hati saya agar tidak tertuju pada milik orang lain, Anja. Sampai di sana mengerti?"
Kalimat itu menandaskan bahwa Lovani tidak akan pernah menaruh Anja ke dalam list orang yang dicintainya. Perlakuan baik selama ini hanya berdasar pada kewajiban semata. Tidak ditaruh cinta di dalamnya. Mentok, hanya sejauh kasih sayang antar teman saja.
Dan lagi, menggores harga diri Anja. Seakan dia ditampar oleh kenyataan bahwa sejak awal, ia tidak sebanding dengan Lovani. Maksudnya, secara posisi, mereka setara. Tapi kemudian, kepribadian, kedewasaan, dan keikhlasan, Lovani telah memenangkan semuanya.
Wanita itu memang pantas berada di atas sana. Pantas berdiri sama rata dalam setiap acara besar yang menghadirkan mereka semua. Di antara semua laki-laki, Lovani perempuan sendiri. Ia di sana karena dia sanggup.
"Saya berani mengaku, sepertinya saya memiliki perasaan lebih pada Rane," tutur Lovani menyerupai gumaman. Kantuknya mulai mendera tanpa mengenal waktu. "Jadi, bisakah kamu mengikhlaskan saya, dan saya mengikhlaskan kamu? Kita berdua berada di jalur yang berbeda sejak awal. Kamu yang memaksakan kita satu."
Sebuah jawaban untuk menampik fakta itu saja, Anja tak dapat mengeluarkannya. Hatinya terbeban. Bagaimana Lovani bisa ringan sekali mengucapkan kalimat sakral itu? Bagaimana ia bisa melepaskan beban ini?
Hanya dalam waktu satu bulan, pernikahan mereka mengalami perpecahan. Dari segala penjuru, memicu keretakan parah di antara mereka. Tujuan utama dari pernikahan ini mengabur. Anja pun tidak mengerti mengapa, tapi di dalam hatinya, sesuatu teremat kencang.
"Kamu ... ingin menikahi Rane?" Anja bertanya gentar. Menarik tangannya lagi menunggu jawaban yang tak kunjung keluar dari bibir lembut itu.
Ingin rasanya Anja melumat habis hingga Lovani kehabisan napas. Memohon dan merintih di bawahnya, Anja ingin melakukan semua itu. Tapi sekali lagi, persyaratan dan bayangan Angel menghantuinya.
Anja tidak sanggup menjauhi Angel, takut jika wanita itu nekat untuk berlaku di luar nalar. Oleh karena itu Anja tidak pernah bisa meninggalkan Angel barang sedetik pun. Semua yang wanita itu inginkan, akan Anja lakukan.
"Kamu tahu, kenapa Angel menolak untuk menikah dengan saya?" gumam Anja terhadap dirinya sendiri. Mungkin Lovani sudah tertidur, entahlah. Ia tidak tahu lagi harus menumpahkan keluh kesahnya kepada siapa. "Kakinya lumpuh. Karena kamu, Lovani."
"Ya, saya tahu."
Mendadak Lovani berucap. Nyaris memberikan serangan jantung lanjutan bagi Anja. "K-kamu masih bangun?"
"Saya mana bisa tidur kalau kamu berekspresi seperti hewan yang ingin disembelih?" sindir Lovani dengan mata terpejam. Membalik tubuhnya tanpa ekspresi bersalah seperti yang dibayangkan Anja.
Malah, Anja sempat mengira Lovani melupakan Angel. Ternyata selama ini ia bersembunyi di balik cangkangnya. Wanita macam apa ini?
"Saya tidak mengelak, itu memang kesalahan saya, tapi, seorang Lovani tidak akan bertindak jika tidak ada sebabnya. Prinsip dan aturan yang saya tekankan kepada orang lain dan diri saya."
***
"Baiklah, sudah kita putuskan pada akhirnya, bukan?" Senyum kebanggaan Lovani melebar hingga tertarik ke pipinya. "Kita meneruskan rencana awal kita. Meskipun pertemuan ini sedikit terlambat dari yang sebelumnya, saya berharap launching produk ini tidak akan terlambat dan sesuai pada jadwalnya. Beberapa bulan dari sekarang, saya ingin rancangannya sampai di meja saya dan Tuan Anja. Mengerti?"
Beberapa di antara mereka mengangguk spontan. Sebagian lagi masih berdecih tidak suka untuk mematuhi perintah dari Lovani. Siapa lagi kalau bukan perusahaan sebelah yang bersaing sengit dengan Nile? Karyawan Jay.
"Tuan Anja? Apa ada yang ingin Anda tambahkan?" Suasana hati Lovani mulai membaik setiap berhadapan dengan Anja. Tidak timbul kemarahan seperti dulu. Meski debat dan sindir tidak terhindarkan, setidaknya intensitasnya tidak sesering dulu.
Yang berbeda, malah dari pihak sebelah. Anja. Sedari tadi duduk, termenung dan melamun, bertopang dagu, tak tahu pikirannya sedang terbang ke mana.
"Tuan Anja?" ulang Lovani memastikan. "Apa ada yang ingin ditambahkan?"
Benar saja, jiwanya tidak ada. Ruang rapat yang dipenuhi semangat berapi-api padam seketika. Tidak ada yang tahu alasan mengapa Anja terbengong pada satu titik yang sama. Lovani, sedari tadi yang menjadi pusat perhatian Anja.
"Tuan Anja?" Satu dari delapan orang yang pernah memenuhi ruang kantor Anja menepuk bahu atasannya itu.
Di saat yang bersamaan, Anja baru tersadar. Berdeham menghilangkan kecanggungan akibat tidak fokusnya dia pada rapat yang ia gelar ini. "Apa? Tadi kalian bicara apa."
Kini giliran karyawan Nile yang mendengus tak percaya pada Anja. Berbicara mendahului Lovani untuk mengutarakan kekesalannya. "Nona Lovani tadi bertanya pada Tuan, apakah ada yang ingin ditambahkan?"
"Oh, tidak ada," jawab Anja kilat. "Apakah semua sudah sesuai atas keinginanmu, Nona Lovani?"
"Untungnya, sudah," jawab Lovani pendek, seperti biasanya. Tak ingin mengubah kebiasaannya di kantor. "Baiklah, kalau begitu, rapat hari ini dibubarkan. Terima kasih atas ide dan pendapat yang kalian keluarkan. Pertemuan selanjutnya akan diatur dalam jangka waktu dekat."
"Terima kasih kembali, Nona Lovani dan Tuan Anja." Serempak mereka menunduk setengah hati. Tentunya tidak ikhlas dua saingan digabungkan jadi satu.
Anja dan Lovani sama-sama mengangguk, menerima ucapan itu. Laki-laki di kursi kanannya bergerak ke depan. Mematikan laptopnya, beserta proyektor, dan melakukan semuanya itu sendirian.
Sementara di depannya, malah ada Lovani dan Rane yang asyik bermesraan seolah dunia adalah milik keduanya. Anja mencebik bibir kesal. Menekan berulang kali tombol off agar cepat pergi ke belahan dunia lain.
"Tuan Anja? Bisa kita berbicara sebentar?" tanya Rane.