"Apa?" Anja mendongakkan dagunya, tak ingin merasa kalah dari orang yang mengajaknya berbicara duluan.
"Bisakah kita berbicara di luar?" Segan, Rane sedikit menurunkan pandangannya. Menunjuk ke Lovani dengan ibu jarinya. "Akan lebih baik kalau kita berdua saja yang mendengar perbincangan ini, Tuan Anja. Saya berharap Anda mengerti."
Berani sekali orang itu berbicara terus terang tanpa terganggu akan Lovani yang berdiri terpancang tegap? "Tidak perlu. Biar saja dia mendengar sendiri apa yang hendak kamu bicarakan dengan saya. Ada apa?"
Menghela napas pelan, Rane menyingkirkan semua ego dan mengalah pada orang yang tak pernah ingin mengalah. Rane harus lebih baik dari Anja, kalau ingin memenangkan hati Lovani. "Saya ingin mengajak Nona Lovani untuk makan malam yang tertunda beberapa minggu yang lalu. Apa Tuan mengizinkan Nona Lovani untuk pergi dengan saya?"
"Kamu berani sekali mengajak istri saya untuk pergi dengan kamu?" Tak rela, Anja mengedepankan kepalan tangan seraya mencengkram kuat kerah kemeja Rane. "Mau saya pukul kamu?"
"Anja, Rane, sudahlah." Lebih dulu Lovani bergerak mencegah perkelahian yang terjadi, di luar perkiraannya. "Anja. Saya juga sudah berbicara kepada kamu beberapa hari yang lalu. Kita berada di jalan yang berbeda, Anja."
"Bagaimana dengan pemberitaan yang akan keluar nantinya? Tentang kamu, tentang saya! Saya juga pasti akan terseret di dalamnya!" bentak Anja memelototi Rane tak hentinya. Entah mengapa, ia jutaan kali lebih marah sekarang. Sulit untuk dipadamkan.
"Satu kantor kamu juga sudah tahu mengenai hubungan kamu dan Angel, Anja," kata Lovani melerai. Melepas paksa cengkraman itu, memasang badan di depan Rane. Memintanya untuk diam dan memberikan mereka waktu berbicara. "Kamu mengira berita itu tidak bocor? Saya yang dari Nile saja tahu. Orang-orang kamu itu tidak bisa dipercaya."
"Dan mengenai berita yang akan keluar nantinya, kamu tidak perlu khawatir. Saya akan berhati-hati, jauh lebih berhati-hati daripada kamu, Anja." Lovani melanjutkan tegas. Menaikkannya pongah. "Saya tidak akan menyusahkan kamu. Rane pun meminta izin sekadar formalitas agar kamu tahu. Keputusan iya tidaknya ada di tangan saya. Saya rasa, saya harus menekankan poin itu."
"Lovani!" Anja tak membiarkan Lovani lolos dari genggamannya. Menahan kuat kepergian wanita itu dari ruangan rapat. "Kamu masih menjadi tanggung jawab saya! Kamu jangan berbuat yang bisa menjatuhkan harga diri saya."
Segera, tanpa basa-basi, Lovani menyentak tangannya ke bawah. Marah bukan kepalang, padahal baru beberapa hari lalu mereka berbaikan. Anja sungguh sangat menyebalkan dan kelewatan. "Harga diri saya sudah jatuh, asal kamu tahu."
"Rane, kamu nyalakan mesin mobil," tutur Lovani tak mengalihkan sorot tajamnya dari Anja. "Kita akan tetap pergi hari ini. Apa pun yang terjadi."
Rane mengangguk mengiyakan. Berlalu pergi tanpa menuturkan kata-kata lain yang bisa memanasi suasana. Sepanjang jalan dari pria itu, Anja terus mendelik benci padanya. Tak melewatkan satu langkah pun yang tertinggal.
"Saya benar-benar tidak mengerti kamu, Anja." Rambut panjangnya itu disisir ke belakang, memijat pangkal hidungnya kepayahan. "Apa yang kamu mau?"
Anja mengambil satu langkah mendekat, menaikkan dagu yang tertunduk ke bawah itu. Memperhatikan lamat-lamat warna abu yang bergoyang. "Saya hanya ingin kamu menuruti saya. Sebegitu sulitnya kamu menaati perintah saya, Lovani?"
"Kalau saya tiba-tiba saja meminta kamu untuk menjauhi Angel, apa yang akan terjadi, Anja?"
Keterdiaman Anja memberikan Lovani tawa sarkastik yang dimilikinya. "Tapi, tentu saja saya tidak sepicik itu untuk memisahkan seseorang dari orang yang dicintainya. Kamu yang picik, Anja. Kamu boleh hidup bahagia, sementara saya tidak boleh. Mungkin begitu maksud kamu."
"Kamu salah paham-"
"Salah paham dari mana?" sela Lovani berkacak pinggang. "Semuanya sudah jelas, Anja. Kamu mau menjelaskan apa lagi?"
Dirasa tidak perlu ada yang dibicarakan lagi, tas selempang dan tas ransel Rane yang belum sempat diambilnya, dibawakan oleh Lovani. "Atau kamu ingin saya bergantung pada kamu, agar saya memohon dan meminta belas kasihan kamu?"
Shit! Kenapa semua niat awalnya sudah terbaca oleh Lovani? Semuanya terbuka secara gamblang, padahal dia sudah menatanya serapih mungkin.
Ini namanya kegagalan besar! Matanya yang terbelalak juga tak dapat mengelak lagi. Yang dikatakan Lovani benar adanya. Ia tidak bisa melakukan apa pun lagi. "Kamu ... tahu dari mana?"
Dengkusan tipis mengembus dari Lovani. "Saya dari awal sudah melihatnya. Kamu yang berusaha mengalah untuk saya, kamu yang berusaha bersikap baik, walau pada akhirnya gagal karena tersulut, saya membacanya. Karena kamu sudah membahas Angel yang mengalami kelumpuhan, kamu juga menikahi saya untuk balas dendam pada saya."
Ransel itu dibawa ke pelukannya. Aroma Rane tercium sangat maskulin. Sisi yang disukai oleh Lovani. "Wanita ideal kamu adalah Angel. Seseorang yang lemah lembut, yang bisa mengurus kamu dengan baik, bukan saya."
"Tapi saya membiarkan semuanya karena apa?" Nanar, Lovani balas memandang. Berisi kekuatannya yang tak dapat diperkirakan. "Karena dia mencintai kamu. Karena kamu mencintai dia. Sedangkan saya yang ingin mendapatkan balasan yang sama saja, kamu tidak bisa mengabulkannya."
"Saya tahu sesakit apa mencintai orang yang terpisahkan dari saya. Saya tidak mau itu terjadi kepada kamu. Jadi sekarang minggir," tandas Lovani.
Ujung bahu Lovani sengaja menubruk Anja. Membuatnya menyingkir walau pria itu malas bergerak. Persetan. Lovani sudah kehabisan tenaga untuk adu mulut dengannya.
Seseorang di depan ruang rapat itu mencegat langkah selanjutnya Lovani. Tertambat di kubikel-kubikel yang telah menyepi. Menunduk ke bawah, tak menyangka orang itu akan ditemuinya secepat ini.
Ya, secepat ini. Orang yang baru saja masuk dan menjadi bahan perdebatan mereka, sekarang nampak jelas. Kuku-kuku panjang Lovani tak sabar ingin menghabisi dan memporak-porandakan semuanya. "Hah .... Mencari Anja, ya?"
"Lovani-"
Anja turut diam terbius. Menoleh kiri kanan pias. "Angel-"
"Kenapa wanita itu ada di kantor kamu, Na?" tanya Angel mencecar. Bergelora penuh api yang berkobar. "NA! AKU TANYA KE KAMU! KENAPA DIA BISA ADA DI SINI?!"
"Tindakan kamu berlebihan," sahut Lovani tak berniat untuk berteriak dan membalas. Kupingnya pengang karena teriakan layaknya orang kerasukan itu. "Kalau kamu tidak suka melihat saya, perlu saya dorong kursi roda kamu agar pergi dari sini?"
"NA!!!" pekik Angel tak terima.
"Tck! Berisik!" decak Lovani kesal. "Kamu sungguh membawa orang gila ini ke kantor kamu? Ah, saya lupa, kamu juga gila, Anja."
"Jangan berbicara macam-macam mengenai pacar saya," tekan Anja dalam. "Saya tidak suka-"
Boro-boro mendengarkan sampai habis. Lovani melengos pergi menjauhi sepasang muda-mudi yang membuat perutnya jadi bergejolak. Mual akibat kemanjaan Angel. "Ya, ya. Sepertinya peraturan wanita selalu benar tidak berlaku untuk kamu."