Pukul 05:00 wib.
Alena membuka jendela rumahnya yang terbuat dari bambu lebar lebar agar udara pagi masuk ke area rumah. Menggantikan udara pengap dari dalam rumah.
Sejenak Alena memejamkan mata menikmati pagi yang masih berkabut. Rumahnya terletak di perkampungan yang masih sangat asri dan jauh dari kebisingan kota.
Meski waktu menunjukkan pukul lima pagi, suara aktifitas masyarakat sudah terdengar dari jam tiga pagi. Masyarakatnya yang sebagian besar adalah petani dan pedagang, sibuk hilir mudik menjajakan jualan mereka ke kota.
"Apa yang sedang kamu lakukan disana, dek?"
Suara Rohan mengagetkan Alena yang sedari tadi asik melihat tetangga tetangganya hilir mudik di depan rumah.
Ia tersenyum.
"Ini Mas. Pagi pagi sudah ramai orang-orang yang mau ke pasar induk." Alena menghampiri suaminya yang sudah duduk di meja makan. Alena duduk disamping suaminya.
"Mas juga hari ini akan ke Pasar Induk kan?" tanyanya.
Hari senin Rohan dan warga kampung Jambu Monyet sibuk mengangkut barang-barang hasil pertanian ke Pasar Induk. Biasanya mereka akan tinggal lama di sekitar area Pasar Induk sampai hasil kebun yang mereka bawa dari kampung habis.
Tidak ada yang tahu berapa lama mereka akan tinggal di Kota menjajakan bawaannya. Yang pasti moto warga Kampung Jambu Monyet adalah PANTANG PULANG KE RUMAH SEBELUM TERJUAL HABIS.
"Iya dek. Adek sudah mempersiapkan semua kebutuhan Mas selama di Kota kan?"
Alena mengangguk kecil. "Sudah Mas. Sarung yang Mas minta sudah adek tambah. Jadi, Mas ngga akan kehabisan sarung nanti."
Rohan mengelus wajah isterinya. "Terima kasih sayang. Isteri Mas memang pengertian. Maaf ya, dari awal kita menikah hingga sekarang Mas belum bisa membahagiakan adek."
Alena meraih tangan Rohan lalu menciumnya. "Mas bicara apa sih? Adek bahagia menikah dengan Mas."
"Tapi Mas sibuk berjualan hasil kebun di Kota daripada menemani isteri dirumah." Alena terkekeh.
"Yang Mas lakukan saat ini kan untuk Adek juga. Lagipula Adek ngga mempermasalahkan hal itu kok Mas. Justru Adek sedih kalau Mas kelamaan berdiam diri dirumah. Adek tidak mau Mas seperti suaminya Wina yang pengangguran."
Rohan tertawa. "Mas kira Adek bakalan seneng suaminya lebih banyak berdiam diri dirumah."
"Tentu saja Adek senang Mas ada dirumah. Tapi lebih senang lagi kalau Mas pulang ke rumah membawa uang hasil berjualan." Alena tersenyum lebar. Rohan mencubit hidung isterinya.
"Dasar matre ya kamu!"
"Bukan matre dong, Mas. Justru aku itu tidak munafik. Jaman sekarang apa apa butuh duit Mas."
"Jadi, Mas disayang kalau bawa uang. Kalo tidak pulang membawa uang, Mas ditendang. Begitu?" ucapnya penuh selidik.
"Itu kan Mas yang bilang loh ya. Adek ngga bilang apa-apa."
"Awas ya kamu!"
Rohan menggelitiki tubuh isterinya. Alena bergerak menghindar karena kegelian tapi Rohan terus menggelitikinya. Keduanya terjatuh dilantai dengan posisi Alena berada di bawah Rohan.
Alena tiba-tiba merinding melihat senyuman Rohan. Wajah suaminya semakin lama semakin mendekat.
"Mas... Mau apa?" Tanya bodoh.
"Kamu maunya Mas apakan?" Rohan bertanya balik. Kedua matanya seolah mengunci tatapan Alena.
Rohan mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Alena. "Masih ada waktu sebelum Jefri menjemput. Mas mau kamu, Dek." Bisik Rohan menggoda. Membuat bulu kuduk isterinya meremang.
Tanpa banyak bicara, Rohan menarik Alena berdiri. Ia menggendong isterinya ala bridal lalu berjalan tergesa menuju kamar mereka.
Alena tertawa melihat Rohan menendang pintu kamar mereka, saking tidak sabarannya. Dengan perlahan, Rohan membaringkan isterinya ditengah ranjang.
Cuaca dingin, isteri yang cantik serta gairah yang sudah membumbung tinggi adalah faktor utama mengurangi rasa dingin yang menusuk ditubuh.
Tanpa menunggu lama, suara suara kenikmatan terdengar dari dalam kamar. Yap. Alena dan Rohan mengulang kembali sesi olahraga panas mereka yang entah ronde keberapa.
***
Alena keluar rumahnya nyaris tengah hari. Kegiatan panasnya bersama Rohan tadi pagi membuatnya kelelahan. Alena memaklumi gairah suaminya yang meletup letup karena mereka akan berpisah sementara.
Rohan harus menahan gairahnya sementara ia berada di Kota. Ia akan menyalurkannya jika sudah pulang nanti. Dan inilah yang Alena rasakan saat ini. Kelelahan karena melayani suaminya yang kejar setoran.
Setelah membersihkan diri, Alena keluar dari rumah untuk memulai beres beres rumah. Jika bukan dikerjain Rohan, mungkin saat ini Alena tengah ongkang-ongkang kaki di teras depan karena pekerjaan rumahnya sudah selesai.
Tapi apa daya. Ia baru bangun disiang hari dan baru akan memulai membereskan rumahnya, meski sebenarnya ia enggan.
Tubuhnya masih terasa lema. Terutama kedua kakinya yang seperti jelly. Apa daya Alena tidak sanggup menunda pekerjaanya membersihkan rumah meski saat ini tubuhnya mengajaknya untuk rebahan.
"Tumben jam segini belum beres, Len?"
Dina tetangganya di ujung jalan menghampiri dirinya yang tengah menyapu teras rumah. Alena melambaikan tangan kearah Dina. Dina membuka pagar rumahnya lalu menghampiri Alena.
"Iya nih, Din. Aku baru saja bangun. Makanya baru sempet beres beres rumah."
Dina tertawa menggoda. "Duh, yang habis kejar setoran sampai dibuat bangun kesiangan loh!" Dina terkekeh geli.
Alena celingak celinguk takut tetangganya mendengar omongan Dina. Alena memukul lengan temannya.
"Hush! Kalau bicara jangan keras keras. Malu tahu!"
Dina menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Maaf. Aku tidak sengaja."
"Iya tahu. Semoga tidak ada yang mendengarnya ya." Dina mengacungkan kedua jempolnya.
"Aku sudah mengalami apa yang kamu alami hari ini, Len. Bang Tegar mengurungku dirumah berhari-hari."
Alena tertawa. Rasanya setiap isteri yang ditinggal oleh suami mereka yang pergi berniaga, merasakan hal yang sama dengan yang dirasa oleh Alena dan Dina.
Maklumlah akses pulang pergi dari Kota ke Kampung tempat mereka tinggal sangatlah jauh. Ditambah jalanan desa yang berlubang dan becek dikala hujan. Belum sebagus akses jalanan di Kota. Warga desa pun tidak banyak yang mempunyai mobil selain Kepala Desa.
Pria pria di desa mereka menyewa bak terbuka dari Kota dan itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Itulah mengapa para pria memilih tinggal sementara di Kota sembari menunggu dagangan mereka laku.
"Wah, lebih parah dari Mas Rohan dong."
Dina mengangguk. "Aku sempat kesal karena Bang Tegar mengurungku. Tapi saat ini ku amarah ku kepada Bang Tegar mereda. Karena di dalam sini telah terhuni Tegar junior."
Wajah Dina berbinar-binar membicarakan kehamilannya. Tangannya mengelus perutnya yang masih rata.
"Wah, selamat ya Din atas kehamilannya. Aku ikut senang mendengarnya." Alena bersorak kegirangan.
"Terima kasih, Lena. Aku harap yang dilakukan Mas Rohan tadi pagi membuahkan hasil ya."
Dina mengelus perut Alena. Alena mengangukkan kepalanya. "Amin. Terima kasih doanya." Alena tersenyum lebar.
"Oh iya, Bang Tegar sudah tahu tentang kehamilan mu?"
"Belum, Lena. Dia kan lagi di Kota. Aku akan memberitahunya saat Abang pulang nanti. Aku tidak sabar ingin segera mengabari tentang kehamilan ku."
"Aih... Aku terharu. Bang Tegar pasti menangis terharu mengetahui kehamilan mu, Din."
"Pastinya. Ya sudah aku pamit pulang dulu ya. Kepalaku mulai kleyengan lagi. Dah Lena."
"Dadah. Hati hati dijalan, Din."
"Iya."
Alena melihat Dina yang berjalan menjauh. Ia memutuskan untuk segera melanjutkan kegiatan beres beres rumahnya.
Alena iri dengan Dina. Pasalnya Dina baru tiga bulan lalu menikah dan kini sudah hamil anak pertama. Sedangkan dirinya sudah mau dua tahun menikah tapi belum jua diberi tanda tanda kehamilan.
"Sudah jangan bersedih, Lena. Mungkin saat ini Tuhan masih menginginkan kamu menikmati kebersamaan mu dengan Mas Rohan. Kelak, pasti akan hamil juga!"
Alena menyemangati dirinya sendiri.
***
To Be Continue