Tidak ada yang spesial bagi Alena setiap harinya. Ia hanya menjalani hari harinya sendirian dirumah tanpa di temani sang suami. Meskipun begitu, Rohan tidak pernah lupa untuk menghubungi isteri tercinta dirumah melalui wartel (warung telekomunikasi) yang tidak jauh dari tempat tinggalnya saat ini.
Pagi pagi sekali, Alena sudah bangun dan membersihkan rumahnya. Ia juga berbelanja ke pasar untuk membeli bumbu bumbu dapur yang sudah mulai habis.
Alena juga membeli beberapa tangkai bunga mawar merah yang akan ia pajang di ruang tamu dan ruang makan miliknya. Ia pun pulang menggunakan andong yang berkeliaran di kampungnya.
Alena berkali-kali harus menyibakkan rambut indahnya yang menerpa wajahnya karena tertiup angin. Jalanan desa yang rusak hanya mampu dilalui oleh andong. Mobil mobil bak terbuka hanya seminggu sekali datang untuk mengantar jemput para petani yang akan menjual hasil kebun mereka di Pasar Induk di Kota.
"Terima kasih, Pak."
Alena mengulurkan uang dua ribu rupiah saat kusir andong berhenti di depan pagar rumahnya. Kusir andong itu pergi setelah menerima upahnya dan mulai mencari penumpang lain.
Betapa terkejutnya Alena saat akan membuka pintu rumah. Pintu rumahnya dalam keadaan terbuka dan tidak terkunci. Padahal ia sangat yakin jika sudah mengunci rumahnya sebelum pergi ke pasar.
"Siapa yang datang ya?" Gumamnya keheranan. "Apa Mas Rohan sudah pulang?" Ucapnya lagi.
Alena melangkah masuk ke dalam rumah dan melihat sepatu seorang pria sudah berbaris rapi diatas rak sepatu.
"Mas. Mas Rohan."
Alena memanggil nama Rohan tapi tidak ada sahutan dari dalam. Dengan hati-hati, Alena melangkah semakin dalam. Ia nyaris berteriak saat melihat Umar terbaring di sofa rumahnya.
"Bapak. Kenapa Bapak ada disini?"
Alena melihat sebuah tas cukup besar bersandar ditembok. Sepertinya tas tersebut milik Umar. Ia memperhatikan wajah lelah Umar yang terlelap sangat dalam.
"Berarti Bapak yang membuka pintu rumah. Tapi ... Dari mana Bapak mendapatkan kunci rumah? Tidak mungkin Mas Rohan yang memberi Bapak kunci. Bapak kan berada di Pulau seberang."
Alena meninggalkan Umar yang masih terlelap. Ia melangkahkan kakinya menuju dapur lalu membereskan semua belanjaan ke tempatnya.
Alena tersentak saat ada tangan yang mengelus pinggangnya. Saat membalikkan badan, Umar tengah tersenyum kearahnya. Alena seketika menjauh karena posisi mereka terlalu intim. Alena bergidik ngeri saat merasakan tonjolan keras di belahan bokongnya. Dan saat diperhatikan ternyata ada yang menyembul dari balik celana panjang yang dikenakan oleh Umar.
"Ba... Bapak sudah bangun?" ucapnya tergugup.
Umar menguap lebar. "Iya. Bapak menunggu kamu pulang dan tertidur disofa."
"O ooh ... Bagaimana bisa Bapak masuk ke rumah? Bapak mendapat kunci dari siapa?"
"Rohan yang memberikan kunci untuk Bapak jikalau kamu sedang tidak ada dirumah. Dan benar saja kamu tidak ada dirumah saat Bapak datang."
Umar melangkah perlahan mendekati Alena. Umar melangkah maju satu langkah, Alena melangkah mundur satu langkah. Begitu terus hingga Alena tidak bisa kabur karena punggungnya menempel tembok dapur.
Nafasnya tercekat.
Umar menyunggingkan senyum. "Kenapa berjalan mundur, Lena?" Tanya Umar membuat Alena salah tingkah.
"Eh... Tidak ada apa-apa, Pak." Alena menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Habis pergi dari mana kamu?"
"Pasar Pak. Membeli beberapa bumbu dapur."
Umar hanya beroh ria. Ia melangkah mundur seolah memberi ruang nyaman bagi Alena. Umar menahan senyumnya saat melihat menantunya itu membuang nafas setelah beberapa saat menahannya.
"Kamu membeli bunga mawar ini?" Umar mengambil satu tangkai bunga mawar merah yang masih kuncup lalu menghirup wanginya.
"Benar, Pak. Tadi Lena tergoda membeli bunga mawar saat akan pulang."
Lagi lagi Umar hanya beroh ria sembari manggut manggut. "Cantik."
"Hm.."
"Bunga mawarnya cantik dan masih segar. Sama cantiknya seperti kamu." Alena terdiam mendengar ucapan Umar.
Maksud Bapak apa memgatakan aku cantik seperti bunga mawar? Tanyanya dalam hati.
"Kamu cantik seperi bunga mawar ini. Membuat Bapak ingin sekali memetik dan menikmati indah rupa mu."
Kedua bola mata Alena nyaris keluar saat dengan tidak sopannya Umar mengelus pipimya. Alena menepis tangan Umar yang mengelus pipinya. Umar terkekeh.
"Cantik dan berduri. Sama seperti Bunga Mawar."
Umar melangkah pergi meninggalkan Alena yang masih syok dengan perlakuannya. Alena berpegangan ke pintu lemari es karena kedua kakinya lemas. Ia menarik nafas dalam dalam lalu menghembuskannya.
Sementara itu, Umar merebahkan tubuhnya di salah satu kamar kosong yang ada dirumah putranya. Kedua tangannya berada dibawah kepala. Matanya menatap langit langit kamar yang terasa dingin dan sepi.
Umar harus bisa menahan diri untuk tidak menyeret Alena masuk ke dalam kamarnya saat ini. Umar harus memutar otak agar Alena tidak curiga akan kehadirannya dirumah.
Umar memejamkan keduanya matanya. "Alena Bapak rindu sentuhan mu," ucapnya sebelum kembali terlelap ke alam mimpi.
***
"Kenapa Mas Rohan tidak memberitahu aku terlebih dahulu mengenai kedatangan Bapak ke rumah hari ini?!" Alena merajuk saat Rohan menghubunginya.
Alena sudah menunggu telepon dari suaminya sejak beberapa jam yang lalu.
"Maafkan Mas, sayang. Mas tidak sempat ke wartel menghubungi mu. Mas tidak tega membiarkan Bapak tinggal sendirian di kontrakan kecil. Makanya Mas memutuskan untuk mengirim Bapak pulang ke rumah kita agar Bapak ada temannya."
"Harusnya Mas beri tahu aku terlebih dahulu.!"
"Iya, tolong dimaafkan ya. Bapak sedang sakit juga sayang. Tolong jaga Bapak selama Mas ada disini ya."
"Apa?! Menjaga?"
"Sepertinya kamu kurang senang dengan kedatangan Bapak ku dirumah, sayang?" Alena menangkap kekecewaan dari suara suaminya.
"Bukan begitu Mas. Tapi ...."
"Syukurlah. Mas tenang kalau kamu tidak keberatan Bapak tinggal bersama kita. Mas lega karena kamu tidak perlu kesepian lagi jika Mas tinggal berdagang."
Bukan itu maksud ku, Mas!! Teriak Alena dalam hati.
"Ya sudah. Mas tutup dulu ya teleponnya. Mas sudah terlalu lama meninggalkan jongko. Mas sangat mencintai kamu, isteri ku. Tunggu Mas pulang ya."
Alena menghela nafas kasar. "Aku juga sangat mencintai kamu, suami ku. Cepatlah pulang. Aku rindu."
Terdengar Rohan tertawa. "Doakan jualan Mas laku keras ya. Agar Mas bisa cepat pulang dan membawa banyak uang."
"Aku selalu mendoakan Mas."
Tut... Tut... Tut....
Alena menyimpan kembali gagang telepon rumahnya. Ia semakin khawatir dengan adanya Umar dirumah.
Umar terlihat memantau Alena dari balik bilik kamarnya. Pria itu sudah merencanakan hal hal yang menyenangkan bersama Alena selama Rohan tidak ada dirumah.
***
Alena merasa seperti ada yang memeluknya dari belakang. Tidur nyenyaknya jadi terganggu karena ada banyak gangguan.
"Eugh!" Lenguhnya saat dadanya ada yang meremas dengan kuat. Ia juga merasakan kecupan basah di tengkuknya. Alena bergerak tidak nyaman.
Alena mencoba membuka kedua matanya tapi terlalu berat. Alena juga merasakan ada yang membuka bra miliknya.
"Aaakkhh!!" Pekik Alena.
Kedua matanya terbuka. Ia merasakan linu di putingnya. Saat menoleh ke arah belakang, Umar menyeringai kepadanya.
"Bapak!"
***
To Be Continue.