Umar mengerang nikmat. Matanya merem melek menikmati jepitan kuat dinding kewanitaan Alena yang basah, hangat dan lembut. Siang itu, entah sudah berapa kali Umar menyemburkan benihnya dirahim Alena dan ia sama sekali belum puas.
Tidak ada kata puas baginya bercinta dengan Alena. Karena dua dari tiga impiannya telah terwujud. Ia tengah menunggu impian terakhirnya untuk menggendong anak dari hasil hubungannya dengan Alena.
Ditatapnya wajah Alena yang basah karena peluh. Sangat cantik. Apalagi kedua pipinya merah merona menikmati penyatuan mereka. Sama seperti Umar, Alena pun mengerang dan menjeritkan nama Umar tiap kali mencapai puncaknya.
"Maaaasss... Aaahh aaah..." jerit Alena menikmati pelepasannya. Tubuhnya ambruk diatas tubuh Umar. Deru nafasnya tidak beraturan. Umar tersenyum. Tangannya mengelus rambut hitam panjangnya yang lembut.
Umar meremas bokong indahnya dan mengerang karena dinding Alena menjepit batangnya kuat. Umar menyukainya. Alena mengangkat kepalanya dan langsung mendapat kecupan mesra dari Umar.
"Mas belum keluar lagi sayang. Bantu Mas keluar."
Alena menggelengkan kepalanya. "Capek Pak."
"Sedikit lagi ya. Setelah ini Mas janji kita selesai."
Umar membujuk rayu Alena dan berhasil. Alena kembali menggerakkan pinggulnya naik turun. Umar tidak ingin membiarkan wanitanya kesusahan sendirian. Ia ikut menggerakkan pinggulnya. Alena menjerit keenakan. Umar mengambil alih permainan.
Ia membalikkan posisi dan menumbuk wanitanya dengan cepat. Alena sudah pasrah dalam pelukannya. Umar harus menahan nyeri dirambut karena jambakan Alena. Umar menambah kecepatannya. Mengerang panjang sebelum akhirnya melepaskan jutaan benih miliknya di rahim Alena.
Keduanya terkulai lemas. Umar mengecup kepala Alena berkali-kali. "Terima kasih sayang. Ini sangat enak."
***
Alena terbangun di tengah malam. Ia baru sadar kalau tidur sangat lama pasca bercinta dengan Umar. Ia menggigit bibir bawahnya karena bertindak gila melayani Umar.
Alena mengedarkan pandangannya. Ia berada di dalam kamar. Yang jelas Alena berada di dalam kamar Umar. Pria itu tertidur pulas di sampingnya. Posisinya membuat Alena tidak nyaman. Pasalnya Umar tertidur dalam posisi menghisap putingnya. Selayaknya tengah menyusui seorang bayi.
Dengan hati-hati Alena mencoba menarik diru tapi Umar justru menghisapnya kuat kuat. Alena membekap mulutnya karena linu. Alena tidak bisa bergerak sama sekali. Mau tak mau Alena membiarkannya sampai pagi tiba.
***
Umar menatap Alena yang tengah memasak di dapur. Wanita yang semalam menghabiskan waktu bersamanya itu tampak cantik mengenakan kaos hitam miliknya yang kebesaran di tubuh mungilnya.
Rambut hitamnya yang panjang tampak basah. Umar sengaja membiarkan Alena mandi sendiri. Ia pasti khilaf jika mandi bersama wanitanya itu.
Perlahan Umar berjalan mendekati Alena yang belum menyadari kehadirannya. Alena terkesiap saat Umar memeluk tubuhnya. Wanita cantik itu masih menolak sentuhan Umar padahal semalaman ia meneriakkan namanya berkali-kali.
"Lepas!"
"Jangan marah, sayang. Mas hanya ingin memeluk mu." Umar meletakkan dagunya di pundak Alena. Pelukannya semakin kencang membuat Alena berhenti berontak.
"Bapak jahat!"
"Iya sayang. Mas juga cinta kamu."
"Mengapa Bapak melakukan itu padaku? Bagaimana kalau aku mengandung anak Bapak?! Aku tidak mau, Pak."
"Itu keinginan terbesar Mas selama ini sayang. Mas rela menolak wanita wanita yang dijodohkan kepada Mas demi bisa bersama mu."
"Kamu gila!"
"Sudah lama aku tergila-gila kepada mu, Alena." Alena memalingkan wajahnya saat Umar ingin menciumnya. Umar tersenyum. Bukan Umar namanya jika tidak bisa menaklukkan kucing betina liarnya ini.
"Hummph..."
Alena memukuli Umar karena memaksanya berciuman. Dadanya diremas gemas membuat Alena akhirnya membuka mulutnya. Umar tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk mengeksplor mulut wanitanya.
Umar melepaskan ciumannya, lalu mengurung Alena di tembok. Tatapan tajam Alena membuat Umar semakin gemas.
"Jangan marah. Bukankah kedatangan mu kemari untuk membujuk Mas pulang kerumah, hm."
Alena menepis kasar tangan Umar yang mengelus pipinya.
"Galak sekali wanita ku ini. Meski pun galak Mas suka. Mas suka wanita Mas galak kayak gini."
"Gila! Benar benar gila!" Umar tertawa.
Umar semakin merapatkan tubuhnya. Menempelkan adiknya yang sudah bangun dan menggeseknya pelan. Alena mengigit bibir bawahnya.
Sial! Alena ikut terbakar gairahnya.
Umar menarik tubuh Alena menempel ke tubuhnya. Tangannya meremas bokong kenyal itu. Wajah mereka perlahan mendekat. Saat akan mencium bibir Alena, tiba-tiba telepon rumah berdering.
Alena mendorong kuat tubuh Umar dan segera berlari meninggalkan dapur. Umar terkekeh. Ia mengumpat karena usahanya gagal.
"Iya Halo." Alena mengangkat telepon rumah.
"Sayang, ini Mas."
"Mas Rohan?! Adek kangen Mas."
"Mas juga kangen adek."
"Kapan pulang Mas?"
"Kemungkinan minggu depan sayang." Terdengar gerutuan Alena yang kecewa karena Rohan tidak bisa pulang dalam waktu dekat.
"Maaf sayang. Mas dapat kerjaan tambahan dari teman yang ada disini untuk membantunya mengangkut karung karung beras di pasar. Buruhnya lumayan besar sayang." Rohan menyeka keringatnya menggunakan handuk kecil yang melingkar di lehernya.
"Memangnya dagangan kita belum laku Mas?"
"Belum sayang. Tapi tinggal sedikit lagi. Mas tidak sengaja ditawari teman dan ternyata hasilnya lumayan."
"Jadi, Mas pulang minggu depan?"
"Iya, sayang. Maaf ya. Mas janji sepulang dari Kota, Mas akan ajak adik jalan jalan. Bagaimana?"
"Seriusan, Mas?" Seru Alena kegirangan.
"Iya sayang. Kita jalan jalan ke pemandian air hangat yang baru buka."
"Baiklah. Tepati janji Mas untuk pulang minggu depan."
"Siap Nyonya. Ya sudah Mas tutup dulu. Mas lanjut bekerja sayang. Aku cinta kamu, isteriku."
"Aku juga cinta kamu, suamiku."
Rohan keluar dari bilik telepon umum. Ia lega isterinya sudah berada di rumah Umar. Ia berharap sepulangnya ia ke kampung halaman, Umar ada disana.
***
"Selamat datang dirumah, Bapak."
Nita membukakan pintu rumah untuk Rohan. Rohan memeluk dan menciumi perut isterinya. Keduanya masuk ke dalam rumah.
Rohan duduk diatas tikar yang tergelar di depan tv. Mengistirahatkan tubuhnya yang kelelahan bekerja sebagai kuli angkut di pasar induk. Sementara itu, Nita pergi ke dapur mengambilkan segelas air mineral dan beberapa potong kue buatannya.
"Di minum airnya, Pak."
Nita menyodorkan gelas kearah Rohan yang langsung diteguk habis oleh suaminya. Rasa haus setelah seharian bekerja seketik lenyap.
"Terima kasih, Bu." Nita tersenyum. Ia duduk disamping suaminya. Rohan langsung ambil posisi tidur di paha isterinya. Penatnya seketika hilang.
"Lelah sekali, Pak?" Tanyanya sambil memijat bagian kepala. Rohan mengangguk. "Lelah sekali tapi sekarang lelahnya hilang setelah bertemu isteri dirumah."
Nita tertawa. "Bapak gombal. Belajar gombal dari mana Pak?"
"Dari temen temen di Pasar. Sekali kali godain isteri sendiri kan tidak apa, Bu."
"Memang. Tapi jangan sampai gombalin wanita wanita diluar sana ya. Awas loh!"
"Tidaklah. Cukup Ibu dan Alena saja yang Bapak gombalin." Nita tampak sedih. Suaminya selalu mengingat isteri pertamanya.
Rohan bangun dari tidurnya. "Minggu depan Bapak pulang ya."
"Kok pulang? Bapak bilang mau sebulan disini. Kenapa tiba-tiba memutuskan pulang?"
"Bapak sudah janji kepada Alena untuk pulang minggu depan."
"Tapi Bapak lebih dulu janji sama Ibu untuk tinggal sebulan disini!" Protes Nita.
"Iya Bapak tahu sayang. Sepertinya Bapak akan kembali ke jadwal lama. Dua minggu tinggal bersama ibu, dua minggu tinggal bersama Alena. Bapak rasa itu lebih baik untuk saat ini."
Nita tidak terima dengan keputusan Rohan. "Tapi Pak... Mengapa Bapak tidak berdiskusi dahulu? Mengapa selalu mengikuti keinginan Alena, Pak?! Aku juga isterinya Bapak. Aku tengah mengandung anak yang selama ini Bapak harapkan!" Nita meluapkan emosinya.
"Seharusnya Bapak lebih mengutamakan aku yang mengandung anak mu daripada isteri pertama mu itu."
"CUKUP, NITA!" Bentak Rohan membuat Nita sedih. Sejak menikah, ini kali pertamanya mereka bertengkar. Nita tidak pernah menyangka akhirnya ia dan Rohan bertengkar juga.
"Cukup ku bilang!" Rohan menghembuskan nafasnya. "Aku meminta maaf karena telah ingkar untuk tinggal disini lebih lama. Setelah ku pikir lagi, alasan apa yang harus aku sampaikan kepada Alena jika aku terlalu lama disini?! Semua alasan sudah ku katakan kepada Alena. Aku hanya tidak ingin Alena curiga, sayang."
"Mas tidak perlu berbohong kepada Alena jika saja dari awal Mas memberitahu tentang pernikahan siri kita kepada Alena. Alena harus mengetahui kalau selama ini suaminya sudah menikah siri dan akan segera memiliki anak dari istri sirinya!"
Rohan meremas rambutnya. "Tidak semudah itu mengatakannya sayang."
"Mas terlalu banyak alasan! Mudah menurut ku tapi Mas yang membuatnya rumit. Makanya semua kekacauan ini terjadi!"
Roha mencoba memeluk isterinya tapi ditepi kasar oleh Nita.
"Awalnya aku percaya semua janji manis Mas saat membujukku untuk menikah. Mas sendiri yang menjanjikan kebahagiaan kepada ku karena aku sudah memberi Mas kebahagiaan dengan mengandung anak mu."
"Tapi mana hasilnya? Mas lebih memilih isteri pertama Mas yang amat sangat Mas cintai. Benar kan apa yang ku katakan. Jadi, untuk apa aku tetap bertahan dalam pernikahan semu ini. Ceraikan aku segera setelah aku melahirkan anak mu!"
Nita memilih masuk ke dalam kamar dan mengunci diri di dalam sana. Ia menangis sedih memikirkan nasib rumah tangganya. Ia mengabaikan gedoran Rohan di pintu kamarnya.
Nita terlalu kecewa karena bergantung pada kata kata manis yang dulu Rohan janjikan kepadanya. Benar apa kata orang-orang diluar sana mengenai isteri siri.
Meski pun sudah memberikan yang suami inginkan sepenuh hati, yang tetap memiliki cinta suami dengan utuh hanyalah isteri pertama. Dan itulah yang saat ini Nita rasakan.
***
To Be Continue