"Jadi, Mas menuduhku mengusir Bapak?!"
Alena tersinggung dengan ucapan Rohan yang seolah membuatnya mengusir Umar. Jika bukan Rohan yang menelponnya, mungkin Alena tidak pernah tahu kalau Umar sejak tiga hari yang lalu kembali ke kampung halamannya.
"Aku bahkan baru tahu kalau Bapak pergi dari rumah," ucapnya terisak. Membuat Rohan ketar ketir di seberang sana mendengar isakan isteri pertamanya.
"Mas Rohan tega menuduhku telah mengusir Bapak," ucap Alena lagi.
"Maafkan Mas, sayang. Mas tidak bermaksud menuduh adek. Mas tahu adek tidak mungkin mengusir Bapak. Maafkan Mas karena menuding adek," ucap Rohan lembut.
"Iya. Aku memaafkan Mas. Tolong jangan menudingku sembarang Mas. Mas bisa bertanya kepada ku terlebih dahulu sebelum menyimpulkan."
"Baik sayang. Ini terakhir kali Mas menuduh mu yang bukan bukan. Adek memaafkan Mas, kan?" Alena mengangguk meski Rohan tidak melihatnya.
"Syukurlah. Mas sayang Adek."
"Adek juga sayang Mas."
"Kapan Mas pulang? Adek rindu."
"Bersabar ya sayang. Doakan dagangan Mas cepat laku. Semakin cepat dagangan Mas laku, semakin cepat Mas pulang ke rumah."
Tanpa sepengetahuan Alena, Rohan mencium bibir Nita. Saat ini keduanya tengah berpelukan diatas ranjang setelah menyelesaikan ronde panas mereka. Nita memeluk tubuh suaminya. Menyamankan diri memeluk tubuh Rohan sampai puas sebelum pria itu kembali ke pelukan isterti pertamanya.
Alena tidak mengetahui alasan sebenarnya. Sebenarnya Rohan sudah berhasil menjual semua hasil panen yang dibawanya dalam sekejap. Ia sudah memiliki pembeli langganan. Jadi, Rohan tidak perlu waktu berhari-hari untuk menjual semua barang dagangannya karena ia tinggal mengantarkan hasil panen tersebut ke pengepul.
Rohan belum berniat pulang karena masih rindu dengan isteri mudanya yang tengah hamil. Rohan ingin menghabiskan waktu bersama isteri dan anaknya di Kota.
"Adek selalu mendoakan Mas agar cepat pulang."
"Terima kasih sayang. Muach!"
Rohan mencium bibir Nita. Nita tersenyum kearahnya. Rohan kembali mengobrol mesra dengan Alena dan membuat Nita cemburu.
Nita memiliki ide gila dengan menyingkap selimut yang menutupi tubuh polos mereka. Lalu merangkak seksi diatas tubuh Rohan yang sedang asik mengobrol dengan Alena.
Rohan mulai terlihat tidak fokus. Mulutnya berbicara lancar dengan Alena tapi tatapan matanya kearah lekuk tubuh Nita yang tampak seksi dimatanya. Berkali-kali Rohan menelan ludahnya. Nita meliukkan tubuhnya yang tengah berbadan dua dengan seksi.
Nita bagaikan penari skeptis yang profesional. Menggoda Rohan bagaikan jalang. Semua itu ia lakukan demi menghentikan Rohan mengobrol lama dengan Alena.
Rohan membungkam mulutnya dengan tangan sebelah kiri saat menikmati kuluman Nita pada adik kecilnya yang sudah berdiri tegak.
Rohan paling tidak bisa menolak jika diperlakukan seperti itu oleh wanitanya. Rohan yang menginginkan lebih langsung memutus sambungan teleponnya tanpa aba-aba. Nita tersenyum penuh kemenangan saat Rohan menindih tubuhnya dan kembali memasukinya dengan kasar.
***
Alena menatap gagang telepon rumah keheranan. Rohan tidak biasanya menutup sambungan telepon mereka seperti ini. Alena kesal karena Rohan memintanya untuk menjemput Umar di kampung. Rohan memohon agar Alena kembali pulang membawa Umar.
Alena belum sempat menolak perintah suaminya, Rohan sudah memutus telepon mereka.
"Sialan! Dasar tua bangka! Bisa-bisanya dia mengadu kepada Mas Rohan?! Dasar tua bangka gila!" Umpat Alena.
Ia meletakkan gagang telepon rumah dengan keras. Alena berjalan kedalam kamar dan membanting pintunya keras.
"Mas mohon adek datangi Bapak dikampungnya. Bapak sedang sakit dek. Disana tinggal sendiri dan tidak ada yang mengurus."
"Tapi Mas mengapa harus adek yang datang kesana? Mengapa tidak tunggu Mas pulang agar Mas yang menjemput Bapak."
"Mas belum tahu kapan pulang, sayang. Lagipula jarak kota tempat mas berdagang terlalu jauh. Rumah kita lebih dekat ke kampung Bapak. Mas mohon adek bersedia datang ke rumah bapak dan menjemputnya pulang ke rumah kita."
"Tapj Mas..."
"Mas tahu Bapak bukan Bapak kandung Mas. Tapi Mas sudah menganggap Pak Umar seperti orang tua kandung sendiri, dek. Ibu sudah lama pergi meninggalkan Mas. Hanya Bapak yang Mas miliki saat ini sebagai orang tua Mas. Jadi, Mas mohon sama kamu temu Bapak dan bujuk agar Bapak mau kembali tinggal bersama kita."
Alena mengacak-acak rambutnya. Ia mengerang kesal mengingat ucapan suaminya yang memintanya menjemput Umar. Memaksa lebih tepatnya.
"Mengapa harus pulang kampung sih?! Menyusahkan ku saja!" Rutuk Alena.
Alena tidak punya pilihan lain selain mendatangi rumah Umar dan membujuknya untuk kembali tinggal bersama ia dan Rohan. Ia sangat tahu betul suaminya itu. Tidak akan ada yang bisa menahan keinginannya.
***
Dusun Semangka.
"Mengapa kau repot repot memintanya menjemput Bapak? Kasihan menantu Bapak datang jauh-jauh kemari," ucap Umar di telpon.
Rohan menghubunginya untuk memberitahu jika Alena akan datang membujuknya untuk kembali pulang dan tinggal bersama keluarga kecilnya dirumah.
Dalam hati ia bersorak kegirangan mengetahui kedatangan Alena ke rumahnya. Usahanya berbuah hasil. Tidak sia-sia ia merencanakan hal itu karena Tuhan memuluskan niat jahatnya untuk membuat Alena mengandung benihnya.
Dari kejauhan, Umar melihat mantu cantiknya turun dari sebuah bis umum. Senyumnya melebar menyambut kedatangan Alena.
"Bukan begitu, Bapak hanya tidak ingin mantu cantik Bapak tidak nyaman dengan kehadiran Bapak dirumah. Hmm... iya iya. Ya sudah kalau kau memaksa, Bapak tidak bisa bilang tidak." Umar tampak terbatuk-batuk dan membuat Rohan semakin khawatir dengan kondisi dirinya.
"Baiklah nak. Terima kasih karena sudah mengijinkan pria tua ini untuk tinggal bersama kalian. Iya. Alena sudah tiba dirumah. Baik, hati-hati." Umar menaruh telepon di meja lalu tersenyum lebar menyambut Alena.
"Tidak sia-sia Mas memanfaatkan kebaikan Rohan untuk membuat mu datang ke rumah ku. Selamat datang di kerajaan cinta kita, sayang."
Alena bergidik ngeri.
***
"Bapak... humph... Lepas!"
Umar menciuminya dengan brutal setelah menarik tangannya masuk ke dalam rumah. Alena ingin menjerit meminta tolong tapi selalu berhasil dicegah oleh Umar.
Umar menyobek paksa pakaiannya dan melemparnya jauh jauh. Alena yang mencoba kabur, akhirnya terjatuh ke atas sofa dan langsung ditindih Umar.
Pria itu menyeringai membuat Alena ketakutan.
"Mau lari kemana sayang? Kamu berada di wilayahku."
"Pak... hentikan. Alena itu anak mu juga Pak." Kedua tangan Alena menahan tubuh Umar yang terus merapat.
"Dari awal Rohan menikahi mu, aku tidak pernah menganggap mu anak apalagi menantu. Aku hanya bersikap baik demi bisa menjadikan mu milik ku selamanya."
Umar menarik kedua tangan Alena ke atas kepala lalu membenamkan wajahnya diceruk leher Alena. Menghirup aroma tubuh Alena yang memabukkan baginya.
"Aaaahhhkk... Jangan Pak! Hentikan!"
Larangan Alena adalah perintah baginya. Tidak butuh waktu lama, semua yang melekat di tubuhnya berhasil disingkirkan. Umar menatap tubuh polos Alena penuh gairah. Bahkan ia nyaris meneteskan air liurnya karena sudah tak sabar ingin mencicipi tubuh seksi Alena.
"Mas sudah tidak kuat menahannya lagi sayang. Mari kita nikmati waktu indah kita berdua."
Umar mencium bibir Alena dengan ganas. Membuatnya kelabakan mengimbangi ciumannya. Kuatnya hisapan Umar membuat bibirnya bengkak. Area dada dan leher dipenuhi tanda tanda kepemilikannya.
Umar bangkit dari atas tubuh Alena. Tanpa mengalihkan pandangannya, Umar melepas satu persatu pakaian ditubuhnya. Termasuk penutup benda pusakanya yang sudah berdiru tegak dan keras.
Alena memalingkan wajahnya. Masih ingat dalam benaknya rasa ngilu bercampur nikmat dari benda milik Umar saat bersarang di tubuhnya. Umar terkekeh. Ia kembali mencium bibir Alena lembut.
Ciuman lembut nan memabukkan yang tanpa sadar membuat Alena membuka mulutnya tanpa dipaksa. Lidah keduanya saling bertautan. Lenguhan Alena terdengar merdu tatkala jari jemarinya memilin putingnya yang mengeras.
Satu tangannya yang bebas membuka kedua kaki Alena lebar lebar lalu mengarahkan batangnya untuk masuk keliang hangat yang sempit dan basah.
"Aaakkkhh.... Bapak!" Ringis Alena. Kedua tangannya meremas kuat rambutnya. Alena bergerak tak nyaman saat Umar mencoba menerobos sarang cintanya.
Tiga kali hentakan keras, akhirnya Umar melenguh lega karena miliknya sudah masuk cukup dalam. Alena kembali menangis menyesali perbuatannya untuk datang membujuk Umar.