Syukurlah, pada akhirnya aku bisa menjalankan amanah dari Nyak Marni dan Fadlan untuk menemani Vivi hingga acaranya selesai.
Sebenarnya belum, sih. Masih ada acara meriah lainnya sebagai perayaan selepas magrib nanti. Berbagai hiburan pentas seni tradisional dan modern juga akan dilaksanakan nanti malam. Bahkan, kata si Vivi, nanti akan ada pertunjukkan debus.
Buset, pengen banget liat. Em, tapi ingat sudah ada titipan acara penting lainnya, yaitu melaksanakan permintaan Fadlan untuk mengajak bocah ingusan ini dinner. Huh, payah.
Dan, karena acara inti perpisahan kelas Vivi juga telah usai sekitar jam lima kurang, akhirnya kami memutuskan pulang lebih awal agar bisa mandi dan bersiap pergi ke tempat yang telah dipesan sahabatku itu.
“Kenapa liat-liat di kaca spion?” tanya Vivi di jok belakang.
Saat ini kami tengah di perjalanan pulang naik motor kesayanganku. Memang, aku curi-curi pandang di kaca spion. Bukan apa, sebenarnya dari tadi mau tertawa. Ada belek di matanya, hanya tak berani menegur. Ups.
“Enggak,” sahutku sambil mesem-mesem.
Si Vivi tambah kesal sepertinya. Dia menatap nyalang dan menautkan kedua alis.
“Baru liat cewek cantik, ya?!”
Ya ampun, PD abis itu si Vivi. Aku semakin tak tahan jadinya. Akhirnya tawa lepasku terjadi, dan itu membuat Vivi semakin kesal. Mungkin reaksi yang kutunjukkan tak sesuai dengan apa yang ia harapkan.
“Apaan, sih?!” sergahnya seraya mencubit pelan pinggangku.
“Aww! Sakit, tau!” Jelas aku protes, lah. “Bahaya, Vi!” sambungku mengingatkan. Kini, tawa telah berhasil dijinakkan sekejap. Takut celaka di jalan.
Vivi memonyongkan bibir.
“Habisnya! Abang bikin kesel! Ketawain apaan, sih?! Jengkelin sumpah!”
Aku diam, tapi hati tak bisa bohong. Inginnya tertawa lagi dan lagi.
“Yakin mau tau? Nanti kamu nyesel, loh.”
Bukannya merespon, ia malah kembali mencubit pinggangku. Kali ini lumayan lebih keras, otomatis aku mengaduh.
“Ngaku, nggak?! Hayo bilang!” Vivi menuntut agar aku segera bicara. Aih perangainya memang sangat menakutkan.
“Jangan cubit-cubit, Vi! Sakit dan geli!” seruku sembari tertawa. Di sudut mata, air bening muncul sedikit-sedikit saking geli dan sakit di permukaan kulit.
Si Vivi ini memang kurang kerjaan! Bukannya berhenti, dia malah semakin menjadi. Alhasil, motor yang sedang kukemudikan oleng.
“Vi, udah! Motornya jadi oleng!” kataku memperingati. Bodohnya aku, si motor ini malah terus saja kulajukan, bukannya dihentikan. Asem, dah.
“Enggak akan berhenti sampai Abang ngomong!” Vivi kukuh. Aku semakin kegelian.
Inginku menyerah, tapi tawa tak bisa terhenti. Pada akhirnya motor semakin tak terkendali. Entah mengapa pula aku malah berbelok ke area lahan yang sedang melakukan pembangunan.
“Lah, Bang! Ngapa ke sini?!” teriak Vivi cukup keras. Kali ini ia bisa menghentikan cubitan-cubitannya yang menyiksa.
Belum sempat aku menjawab, motorku menabrak setumpuk bata merah. Dan kami nyungseb. Tak kira-kira, aku dan Vivi mendarat tepat di atas genangan air comberan samping pengadukkan semen. Mungkin lubang itu sengaja dibuat untuk menampung air, atau entahlah.
“Aww!” Vivi menjerit.
Motor terjungkal dan mesinnya langsung mati. Aku dan Vivi basah plus kotor. Beruntung kami tak apa dan langsung bangun dari posisi jatuh.
“Waduh, Bang! Gimana, sih, bawa motornya?! Kok, nggak hati-hati! Kan, jadi jatuh! Basah dan kotor, kan?!” gerutu bocah itu padaku.
Tubuh masih belum juga berdiri tegap, dia sudah menggoyang-goyangkan bahu, tak kira-kira si Vivi.
“Lah, ini semua gara-gara kamu! Kalau aja nggak jahil cubitin abang, mana mungkin jadi oleng! Untung cuma jatuh ke comberan dan nggak nabrak bangunan di depan!” rutukku membalas sambil menunjuk bangunan di depan mata kami.
Benar, andai saja tadi tak ada tumpukkan bata, kami babalas pasti menubruk bangunan yang baru setengahnya disusun. Beruntungnya.
Dan, beruntung lainnya lagi para pekerja proyek tak ada. Jam segini pasti sudah pulang ke tempat masing-masing. Jadi, kami berdua tak perlu mendengar ocehan mereka.
“Apa, sih, malah nyalahin Vivi?! Siapa yang mulai tadi? Kan, Abang!”
“Iya, maaf. Habisnya lucu, liatin belek segede biji padi gitu, ha ha ha.” Akhirnya aku tergelak di sana.
Vivi termangu sebentar, lalu segera mengambil sesuatu dalam tas kecilnya, kaca mini.
Yup, dia berkaca sekarang. Dan aku masih tergelak. Seketika, wajahnya mengeras, matanya membulat.
“Ya ampun, iya. Kenapa nggak bilang daru tadi, sih?!” Vivi langsung menyingkirkan kotoran menjijikkan itu dalam waktu dua detik.
Demi apa coba, tawaku masih saja bisa lepas walau baru saja terjebur genangan air kotor. Pun dengan Vivi, dia tak peduli lagi dengan pakaiannya yang ikut kotor, kali ini Vivi memasukkan kembali cermin mini tersebut dan langsung memukuliku.
“Kalau bilang dari awal, kita nggak akan nyebur begini!” sergahnya seraya terus memukuli otot lenganku. Dasar.
Aku mengaduh, berlari menghindar darinya.
Di sore hari, ketika mentari mulai turun ke ufuk barat, ketika cahayanya mulai menggelap, kami berdua malah saling kejar-kejaran dengan pakaian kotor. Persis tokoh kartun Tom and Jerry.
Beginilah keakraban kami. Vivi, adik ketemu gede-ku yang sifatnya masih saja macam anak-anak ini, aku sungguh menyayanginya.
***
Pukul tujuh malam kurang, kami sudah pulang ke kosan. Dan, aku baru saja selesai mandi. Segarnya.
“Hoahh, seharian nemenin si Vivi capek bener.” Aku mengeluh seraya membaringkan tubuh di atas kasur.
Tok! Tok! Tok!
Namun, suara ketukan di pintu membuatku bangun dari posisi rebahan. Tanpa lama-lama. Kubuka pintu.
“Vivi?!”
Aku setengah tak percaya bahwa itu adalah Vivi. Sampai aku kini mengucek mata. Dan pandanganku tak berubah. Itu memang Vivi.
Vivi berdandan feminin, rambut sebahunya dibiarkan tergerai. Dia memakai farfum yang menyegarkan, tapi tidak menusuk hidung. Memakai mini dress warna krem selutut, lalu atasannya dibalut cardigan warna pastel. Aku termangu. Dia berdandan sekarang.
“Bang! Kenapa bengong?! Katanya mau ngajak ke tempat yang udah bang Fadlan pesan. Ayo buruan! Nanti keburu malem,” ucapnya dengan nada suara cukup keras, dan itu berhasil membuatku tersadar dari keterpesonaan sesaat.
Kusebut saja begitu, tetapi bukan berarti aku tertarik. Hanya saja, pangling melihat Vivi yang memoles diri pakai make up tipis-tipis. Jadinya terlihat seperti remaja yang baru mekar beneran.
“Tunggu di luar. Abang siap-siap dulu,” kataku seraya mencengkram pelan bahunya, lalu kudorong ia keluar kamar kost.
Sekilas muka masamnya ditampakkan kembali. Ck, dasar Vivi. Itu membuatku ingin mengolok saja.
“Ngomong selepas magrib, eh, yang nyuruh masih belum siap-siap. Dasar Bang Agam payah!” serunya. Kemudian dia menjulurkan lidah sembari memutar bola mata.
“Iya, bawel. Sebentar doang. Mau ganti baju dulu. Da udah mandi mah,” sahutku. Tanpa menunggu dirinya menjawab, segera kututup pintu kamar. Yah, walau keluhan dan dumelannya masih terdengar di telinga, biar saja. Aku santai.
Setelah selesai, akhirnya aku memutuskan untuk segera pergi. Semua kulakukan untuk menepati janjiku pada Fadlan. Kami pun pergi dengan memilih menaiki mobil Fadlan.
Dan di sinilah kami sekarang, di restoran bintang lima berinterior mewah dan elegan. Restoran Pasola, letaknya ada di lantai enam hotel Ritz Carlton Pasific Place, Jakarta Selatan. Fadlan sudah membooking seluruh meja restoran selama tiga jam lamanya. Kini hanya ada kami berdua. Risi sekali rasanya.
Di meja sudah tersedia berbagai menu yang bahkan tak pernah sekali pun aku memakannya. Jangankan makan, lihat pun baru sekarang. Lalu, bukan hanya aku saja yang terdiam menatap makanan aneh itu, Vivi pun sama.
“Bang, Vivi nggak biasa makan beginian,” kata Vivi sedikit berbisik padaku.
Aku mengangguk, “Sama.”
Ya, kami yang sama-sama norak pun saling berbisik satu sama lain. Namun, pada akhirnya kami makan satu persatu menu yang ada di hadapan kami itu. Tentunya setelah aku berselancar terlebih dahulu lewat internet. Tentang apa nama makanan dan cara memakannya. Sungguh memalukan.
Awalnya Vivi dan aku kurang nyaman, apalagi ketika pelayan datang mengantar menu penutup. Dissert. Hanya menu ini yang aku tahu, cake. Ya, kue tampilannya begitu-begitu saja, makanya aku dan Vivi tak sampai mencari lagi di internet. Kami menikmati menu penutup dengan santai, suasana antara aku dan Vivi kembali mencair. Sikap norak kamilah yang membuat dinding kecanggungan pecah. Kami kembali tertawa dan mengobrol ria.