Nekad Naik Panggung

Sudah hampir satu jam kami habiskan waktu di restoran berbintang ini, sayangnya bukan membuat Vivi bahagia, dari yang kulihat dia justru merasa risih dan tak nyaman.

“Bang, aku malah ngantuk, loh, denger musiknya,” bisik Vivi di telingaku.

Aku tersenyum kecil kemudian mengangguk. “Sama. Abang lebih suka lagu-lagu pop tanah air ketimbang lagu beginian,” bisikku membalas.

Ya, yang benar saja, grup musik sewaan Fadlan terbilang payah. Lebih tepatnya salah sasaran saja. Sebab yang kutahu Vivi tak suka lagu-lagu klasik luar negeri. Kesukaannya hampir sama, lah denganku. Kalau tidak pop, ya, k-pop.

Hmm, mungkin niatnya si Fadlan mau sok-sokkan romantis gitu kali, ya? Dasar tidak tahu keadaan. Payah.

“Bang, kapan kita bisa pulang?” Lagi-lagi Vivi berbisik.

Kurasa si Vivi sudah bosan. Duh, padahal belum sampai ke waktu kejutan utamanya. Dan sepertinya masih agak lama sampai ke puncak kejutan itu.

Aku berdiri, Vivi langsung menangkap tanganku sehingga diri ini kembali terduduk di kursi.

“Bang, mau ke mana?!” Dapat kulihat wajahnya mulai cemas.

Kulempar senyum terbaik, lalu menaikturunkan kedua alis padanya.

“Tunggu di sini, abang bakal naik ke sana dan nyanyi buat kamu.” OMG, dengan PD aku berkata begitu. Ha ha.

“Maksud?!” Duh, pertanyaannya seperti meremehkan sekali. Ck, ck.

Iya, sebenarnya aku tak percaya diri, tapi demi bisa menunda waktu sekaligus membuat Vivi agar tak bosan, akhirnya kuputuskan untuk menyanyikan lagu walau suaraku sumbang tak ketulungan. Semua demi Fadlan. Aku tak boleh menghancurkan momen yang telah ia siapkan dari jauh-jauh hari itu.

“Karena abang lupa nggak ngucapin selamat ulang tahun dan nggak kasih hadiah, sebagai gantinya abang mau nyanyiin lagu buat kamu.” Aku terpaksa beralasan demikian.

Tanpa kuduga, reaksinya sangat lebay. Aku tak tahu apa arti tatapannya itu. Hanya saja sekilas jadi ingat kucing yang minta jatah ikan saja. Pfft.

“Reques lagu yang enak didengar, ya, Bang. Awas sumbang! Kupukul nanti, ya!”

Ya ampun, mendengarnya aku jadi geli sekali. Oke. Akhirnya kuputuskan untuk menyanyikan lagu untuk Vivi.

“Oke. Kamu mau abang nyanyi lagu apa?” Aku bertanya untuk memastikan lagu kegemarannya. Siapa tahu ada yang kutahu dan bisa kunyanyikan sesuai dengan apa yang ia mau.

“Emm, okey. Karena Abang yang tanya, aku mikir dulu,” katanya sambil menatap langit-langit restoran. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu perlahan.

Aku masih menunggu. Agak bosan juga, sih.

“Itu ... lagunya Jason Miraz!” serunya.

“Yang mana?” Kalau lagu-lagu jadul agak tahu sedikit, lah, walaupun lagu barat. Seperti Jason Miraz, aku cukup tahu beberapa judul dan hafal liriknya.

“Lucky!” Dengan semangat Vivi menyerukannya. Dapat kulihat raut muka itu berseri, tampaknya dia cukup senang saat aku menawarkan diri untuk menyanyikan lagu untuknya.

Kuhela napas pendek sesaat.

“Baiklah Tuan Putri, hamba akan segera melaksanakannya,” ucapku sembari berdiri kembali. Vivi mengangguk seraya mengukir senyum.

Entah pergi ke mana rasa maluku. Bodo amat, lah, yang penting aku bisa membuat Vivi bertahan sampai semua yang Fadlan persiapkan berjalan lancar hingga selesai.

“Permisi, apa saya bisa bernyanyi di sini?” Aku menghampiri salah satu pegawai restoran dan bertanya.

Memang tak ada dalam list, tetapi pihak restoran mengizinkan. Dan, tak lupa aku juga meminta pada pelayan untuk memberikan kado serta bunga yang telah Fadlan persiapkan ketika lagu yang kunyanyikan selesai.

“Sesuai permintaan Anda,” sahutnya dengan raut ramah.

Wah, rasanya gimana, gitu, diperlakukan bagai anak konglomerat begini. Fadlan benar-benar hebat.

Setelah malam kemarin Fadlan menghubungi pihak restoran dan mengatakan bahwa aku yang akan datang menggantikan, ternyata pelayanannya tak dibedakan.

Memang, ya, kekuatan uang itu lebih dahsyat ketimbang apa pun.

Usai pemain musik pergi, aku naik ke panggung kecil berkarpet merah itu, meraih gitar akustik yang diberikan si gitaris, lalu duduk santai.

Iya, kelihatannya santai, padahal dalam hati rasanya sedang ada perang dunia. Wuih, dag dig dug tak karuan, lah.

“Ehm, tes, tes ....” Kucoba hilangkan rasa tegang terlebih dahulu.

Vivi bertepuk tangan dan tersenyum kegirangan. Duh, dia malah membuatku semakin malu.

Sudahlah, cuek Gam!

Berkat ekstrakulikuler kesenian yang selalu aku ikuti sepanjang sekolah SMA dulu, aku bisa sedikit memainkan alat musik, salah satunya gitar.

Sebenarnya sudah lama sekali aku tak bermain, semoga saja tidak buruk hasilnya.

***

Lucky I'm in love with my best friend

Lucky to have been where I have been

Lucky to be coming home again ....

Kumulai opening lagu dari bagian reff, disusul petikan gitar dengan kunci nada Am. Petikan ringan dan slowly.

Kulanjutkan dengan suara yang dipaksa merdu walau aslinya tidak.

Ah, sial. Malah aku sendiri yang hanyut dalam lagu yang kunyanyikan. Bahkan, entah mengapa malah bayang-bayang Gina mendadak mengitari pikiranku.

Iya, dulu saat zaman masih pacaran dengannya, aku sering menyanyikan lagu cinta. Lebay, kan? Yah, namanya juga masa kasmaran.

Dalam setiap petikan gitar dan lirik lagu yang kunyanyikan bait demi bait, kucoba untuk fokus. Bernyanyi dengan tulus walau suaraku sumbang, mungkin. Tapi, untukku sendiri rasanya suaraku tak hancur-hancur amat.

Di seberang pandanganku, Vivi tampak menikmati nyanyian ini. Entah iya atau tidak, tapi kulihat dia menggariskan senyum dan pandangannya tertuju padaku.

Awas saja kalau nanti sampai mengolokku.

Mungkin tak sampai empat menit lagu yang kunyanyikan segera usai. Aku menoleh pada pelayan restoran sebagai tanda isyarat agar mereka segera mengeluarkan kado kejutan yang telah Fadlan persiapkan.

Kulihat anggukkan darinya, lalu pergi entah ke mana. Mungkin mengambil kado itu ke belakang.

Do you hear me, I'm talking to you ...

Aku semakin memperlambat dan memperrendah nada suaraku untuk penutupan dari lagu yang kunyanyikan.

Across the water across the deep blue ....

Nyanyian pun benar-benar telah usai diakhiri dengan petikan pelan diujungnya.

Bersamaan dengan itu, pelayan restoran memberikan buket bunga mawar cukup besar kepada Vivi, disusul dengan kotak kecil berpita emas dipadukan wana merah darah.

Vivi kelihatan bingung, kaget, serta berseri sekaligus. Dia terlihat bicara pada pelayan yang memberikannya, mungkin bertanya apa itu.

“Itu hadiah yang sudah Fadlan berikan sebagai tanda ucapan selamat atas kelulusan kamu, Vi. Terima saja.” Aku berbicara saat belum turun dari panggung sehingga suaraku terdengar kencang. Beruntung hanya Vivi dan pelayan restoran saja yang dengar. Kalau tidak, bisa malu aku.

Vivi mengulum senyum, matanya terlihat berbinar bahagia, apalagi pas dia buka kotak kado itu. Semringah. Begitulah ekspresinya.

Beruntung sekali si Vivi. Hmm, andai dia tahu kalau Fadlan melakukan semya ini demi mendapatkan hatinya.

Sayang sekali sepertinya Vivi belum peka juga. Jika saja Fadlan mengizinkanku untuk menyampaikan perasaannya, mungkin lain lagi cerita. Tapi dia kukuh akan melakukannya sendiri, katanya mau menyatakan cinta setelah pulang dari Cina.

Semoga saja keadaan di sana baik-baik saja. Amin.

Kuraih ponsel di saku, dari sini sengaja kupotret Vivi.

‘Apa reaksimu, Lan, kalau kukirim foto si Vivi yang semringah begini.’

Benar, aku berniat mengirimkan foto itu pada sahabatku, Fadlan. Semoga dia senang.