Kesalahan Tak Terduga

Dia Vivi, gadis yang kuanggap adik sendiri itu mengukir senyum yang tak biasa. Dia benar-benar sudah berproses menuju kedewasaan. Fadlan, semoga saja rasamu dapat segera tersampaikan.

Aku melangkahkan kaki, turun dari panggung kecil ini dan kembali ke meja makan.

Vivi menyambut dengan senyum merekah. Ia menunjukkan bunga mawar serta liontin yang diberikan Fadlan kepadaku, mungkin niatnya mau pamer.

“Bagus, ya, Bang.”

Aku mengangguk saja. Tak hentinya ia tersenyum gembira.

“Bang Fadlan bisa aja bikin Vivi seneng. BTW, ini asli emas enggak, ya?” Vivi berkata sembari memerhatikan kalung putih di tangannya dengan cermat. Kemudian dia menoleh padaku, seakan bertanya.

Aku menaikkan bahu, tanda menjawab tak tahu. Ah, sudah jelas itu kalung emas putih asli. Hanya saja aku takkan beritahu. Jika diberitahu, dia pasti pingsan apalagi andai kusebut taksiran harganya.

“Sayang banget, ya, bang Fadlan malah nggak ada di sini. Vivi mau bilang makasih sama bang Fadlan andai dia ada di sini sekarang. Dihubungi pun kayaknya nggak bisa.” Rautnya kini berubah sendu, tapi aku tak menangkap raut rindu darinya. Hanya raut khawatir saja. Sudah pasti anak ini memang tak peka. Ck. Ck. Dasar Vivi.

“Mau abang pakaikan?” tawarku padanya.

Mata Vivi semakin berbinar saja. Ia menatap penuh harap. Tangan yang memegang kalung itu disodorkan kepadaku.

“Boleh, tuh. Kayaknya pakai sendiri susah,” ujarnya.

Tak lagi aku banyak kata. Langsung saja kusabet benda putih berkilau itu. Vivi mulai mengangkat rambutnya. Mungkin agar aku bisa dengan mudah memasangkan kalung ini.

Baik, perlahan aku mulai memakaikan dengan penuh kehati-hatian. Sekilas kutatap leher jenjangnya, mulus.

Astagfirullah. Kok, malah liatin lehernya. Dosa, ah!

Seger kusingkirkan pikiran yang mengundang dosa ini dan segera memasangkannya dengan cepat.

“Done,” kataku setelah beberapa detik berkutat dengan leter S kalung berharga itu.

Vivi kembali menurunkan rambutnya, bahkan ia merapikan anak rambut yang mungkin jadi kusut.

Pandangannya masih saja berbinar bahagia, “Makasih, Bang. Coba liat, bagus, nggak dipakai Vivi?” Ia bertanya untuk memastikan.

Kuanggukkan kepala seraya menunjukkan dua jempol tanda jawaban ‘Bagus!’.

Senang sekali rasanya melihat adik ketemu gede-ku ini bahagia. Semoga saja ke depannya dia bisa berjodoh dengn sahabatku. Jadi, aku bisa tenang dan tak perlu jadi bakingannya lagi.

***

Acara dinner di restoran mewah pun akhirnya telah usai. Aku dan Vivi segera pergi.

Dan, demi apa pun kami lega bukan kepalang setelah keluar dari sana. Akhirnya aku dan Vivi bisa kembali pada jati diri masing-masing, sebab kami bukanlah golongan orang-orang elit yang bisa masuk ke tempat itu.

“Seneng, nggak?” tanyaku sesaat setelah kami naik ke mobil Fadlan.

Vivi mengangguk, “Lumayan. Tapi, tadi itu beneran, deh, nggak terlalu bisa menikmati acara makan malamnya. Malu aku, Bang. Keliatan banget katronya, kan?” ujarnya.

Aku cengengesan.

“Kita sama-sama katronya, Vi. Jadi sehati.”

“Coba bayangin, kita tadi makan steak yang seuprit itu?! Ya ampun, perut mana kenyang. Enak, sih, iya. Cuma nggak puas. Mau minta tambah, takut suruh bayar, ha ha.” Vivi melanjutkan ucapan ketidaknyamanannya itu seraya tertawa.

“Bener banget. Jadi, apa rencana kita sekarang? Masih ada waktu, kamu mau jalan-jalan dulu?” Aku berinisiatif bertanya.

Tampaknya ia tengah berpikir. “Mau ke taman hiburan nggak cukup, ya, waktunya. Kalo gitu, kita ke warteg, yuk. Kenyangin dulu perut sebelum pulang.”

Etdah! Ini bocah bener-bener punya perut karet kayaknya.

“Ya ampun, kamu beneran masih mau makan, Vi? Ya Allah anak gadis, kok, gini amatan. Pantesan jomlo, toh nggk bisa jaga image,” kelakarku. Tapi dibalik semua, aku sungguh tak menyangka dengan pernyataannya.

Vivi, Vivi. Pfft.

“Apaan, sih?! Ngapa malah bawa-bawa status kejomloan diri ini?! Manganeh! Laper, mah, nggak bisa dibohongi!” elaknya.

Duh, rasanya semakin tak tahan ingin tertawa. Pada akhirnya aku tergelak ria. Dan, sepertinya itu membuat Vivi kesal. Terbukti dari tangannya yang memukuli lenganku dengan raut sebal.

“Oke, oke. Ayo, lah. Udah, dong. Sakit tangan abang. Nanti kalau terus dipukulin bisa-bisa abang nggak bisa nyetir,” selaku seraya menghentikan aksinya.

Vivi cemberut tanpa berucap barang sepatah kata. Kuukir senyum, dia menatap nyalang.

“Aihhh, anak gadis jangan banyak cemberut, nanti cepet berkerut.” Kembali aku bercanda, kali ini sambil kucubit pipinya dengan gemas.

Vivi diam menatap lurus. Aku segera melepaskan cubitanku, dan segera memakai sabuk pengaman.

“Iya, iya. Jangan marah, ya. Abang cuma bercanda. Ayo pakai sabuk pengamannya, kita berangkat sekarang.”

Setelah mengucap maaf, barulah Vivi bereaksi, tapi masih tak bicara. Ia kelihatan kikuk, entahlah. Hanya tebakan saja.

“Udah, ayo berangkat.” Akhirnya dia mau juga bicara.

Hanya saja ada yang aneh. Sikapnya mendadak tak seperti biasa. Apakah sekesal itu padaku? Bahkan, selama diperjalanan kami tak bersuara.

“Vi, kamu marah sama abang?” tanyaku mencoba memulai percakapan. Lebih tepatnya memecah keheningan.

Terdengar dia berdecak pelan. “Enggak, lah.”

“Terus, kenapa malah diam aja, sih? Bikin abang jadi mikir aneh aja.”

“Nggak, lah. Aneh gimana? Vivi cuma kepikiran Enyak di rumah. Takut sakitnya kambuh.” Vivi bicara tanpa mau menatap mataku. Sepertinya dia memang sedang galau.

“Kalau khawatir, apa kamu mau kita pulang aja, Vi?” tawarku.

Vivi mengangguk. “Iya, deh, Bang. Lebih baik kita pulang aja, ya. Tapi, belikan es krim dulu di tamKot sana, ya, Bang. Pengen makan yang seger-seger selama perjalanan.”

Aneh, memang. Tumben dia pengen cepet-cepet pulang. Hmm.

“Katanya tadi laper. Yakin cuma mau dibelikan es krim doang?” tanyaku sedikit menyindir.

Vivi tersenyum kecil.

“Belikan onde-onde juga, biar bisa dimakan di jalan,” sahutnya malu-malu.

Aku tertawa kecil. “Okey. Siap laksanakan, Tuan Putri!”

Berkatnya, Vivi langsung tertawa. Dia menatapku lalu memukul lengan ini sekali. Doyan amat dia main pukul.

Segera setalah mengatakannya, aku menepikan mobil di pinggir jalan samping taman kota. Agak was-was, sih, takutnya ada petugas polisi lalu lintas yang lihat, bisa-bisa aku kena tilang gara-gara parkir sembarangan. Tapi tanggung karena aku niatnya cuma mau beli es krim di seberang sama onde-onde di pinggir jalan sana. Ya sudah, lah. Bismillah saja.

“Buruan, ya, Bang!” teriak Vivi saat aku sudah keluar dari mobil.

“Bawel!” sahutku. Entah dia dengar atau tidak.

Aku segera menyebrang jalan, merentangkan tangan untuk menyetop atau membuat pengendara yang sedang melajukan kendaraannya memperlambat laju dan aku bisa lewat.

Beruntung tak ada yang marah juga saat itu. Aku pun selamat sampai seberang.

Pertama, aku pesan onde-onde ke abang-abang pinggir jalan yang berjualan tepat di depan mini mart. Emh, sepertinya panggilan yang tepat bukanlah abang-abang, ya, tapi anak muda. Soalnya yang jualan seperti remaja.

“Beli berapa biji, Kak?” tanya si remaja itu ramah.

“Berapa perbiji?” Aku malah berbalik tanya. Biarin, dari pada nanti pesan banyak malah harganya mahal, gawat aku.

“Cuma dua ribu saja, Kak.”

Ah, ternyata cukup murah juga.

“Ya sudah, saya beli lima belas biji saja, ya.” Akhirnya aku membeli lima belas dengan total harga tiga puluh ribu rupiah.

Si remaja pun segera memasukkan onde-onde pesananku ke dalam kotak dus khas wadah makanan. Transaksi pun selesai. Segera aku masuk mart dan membeli beberapa es krim.

Gegas aku berlari ke arah mobil. Dasar bodoh, bukannya langsung masuk, aku malah memutar ke pintu seberang. Ya, habisnya takut keserempet, sih.

Vivi membuka jendela dan langsung menagih makanan yang ada di tanganku.

“Ck, nggak sabaran!” Ketus, aku pun bermuka masam. Vivi malah menjulurkan lidahnya padaku, dasar. “Nih,” lanjutku seraya menyerahkan makanan di tangan padanya.

Bersamaan dengan itu, dua pejalan kaki yang sedang tertawa-tawa dan bercanda menyenggolku. Mungkin tak sengaja.

Namun, karena senggolan itu, kesalahan terjadi. Aku yang setengah menunduk saat menyerahkan kotak onde-onde pun terdorong maju.

Tanpa terencana, bibirku mendarat di kening Vivi. Ya, ampun. Matilah aku!