Kesiangan

Masih kuingat betul sebelumnya Vivi terlihat hanyut dalam lagu yang kunyanyikan. Kepalanya bahkan bergerak slowly ke kanan dan kiri.

Hmm, tapi ada yang kusadari. Vivi sama sekali tak bereaksi apa-apa setelah aku selesai bernyanyi. Iya, ya, dia keburu senang karena diberi bunga dan kalung oleh sahabatku, Fadlan.

Ya, sudah biar saja.

Kami juga sempat saling diam sepanjang jalan entah karena apa, aku juga lupa. Oh, iya, karena aku mengatakan dia punya perut karet sepertinya. Ya, rasanya itu. Untungnya semua itu tak berlanjut lama, aku dan Vivi akhirnya bisa kembali mencairkan suasana.

Hanya saja, rencana untuk makan di warteg gagal karena mendadak Vivi ingat Nyak Marni katanya. Lantas, demi mengganjal perut, kubelikan onde-onde di pinggir jalan yang nongkrong di depan mini mart, sekalian kubelikan es krim juga.

Dan, saat itu hal yang tak pernah kuinginkan terjadi malah terjadi. Sesuatu yang mengundang rasa canggung kembali datang, membuat aku dan Vivi dilanda rasa ketidaknyamanan.

Oh, God! Gara-gara sepasang muda-mudi yang tak sengaja menyenggolku di trotoar, kecelakaan itu terjadi. Bibirku mengecup kasar tepat pada kening Vivi yang saat itu mau menerima makanan dariku.

Sumpah, mukaku merah padam.

Vivi membisu, pun denganku. Untuk beberapa saat mata kami saling beradu. Hanya sekilas, bahkan tak sampai tiga detik.

“Waduh, Kak, sorry. Nggak sengaja!”

“Iya, sorry, Bro!”

Kedua pasang muda-mudi itu langsung meminta maaf padaku. Akhirnya aku berdiri tegap, memperbaiki posisi berdiri.

“Oh, iya, tak masalah. Lain kali hati-hati,” sahutku sekaligus memberi saran dengan nada bicara seramah mungkin.

Keduanya kembali mengangguk mengiyakan. Meminta maaf lagi, lalu malah saling menyalahkan.

“Kamu, sih!”

“Apaan, kamu yang mulai!”

“Ih, kok, malah balik nuduh! Kamu, tuh. Kamu yang ....”

Dasar, mereka itu sungguh kekanakkan. Suaranya masih saja terdengar samar walau jarak sudah semakin jauh. Begitukah orang pacaran jaman sekarang? Eh, sotoy sekali aku malah bilang pacaran. Aku mana tahu mereka couple atau bukan. Hmm.

Ingatanku kembali pada sosok Vivi. Segera kulirik. Ah, sepertinya dia kesal karena kejadian barusan. Jelas sekali Vivi berusaha menghindari kontak mata denganku.

“Vi, maaf, ya. Yang barusan itu nggak sengaja. Mereka, sih ....” Aku berusaha memecah canggung.

Vivi berdehem, tapi ia tak mau melihat ke arahku.

“Nggak apa, Bang. Namanya juga nggak sengaja. Buruan, ah, masuk. Kita pulang,” balasnya.

Kulihat dia menyimpan kotak makanan di atas dashboard, tangannya sibuk merapikan anak rambut dan menyelipkannya di samping telinga.

Entah kenapa dia begitu? Aku heran.

Tak banyak lagi kata, aku segera masuk ke dalam mobil setelah dirasa aman dan tak ada kendaraan lain yang lewat dekat mobil ini.

Segera kustarter, mataku beralih, melihat ruas jalan di spion samping sebelum benar-benar berangkat. Takutnya ada kendaraan lain, bisa-bisa nanti celaka.

“Kita berangkat sekarang,” ucapku dalam keheningan dalam mobil.

“He-em.” Hanya itu yang kudengar.

Vivi membuka kotak onde-onde di dashboard. Dari sudut mataku dapat kulihat ia mengunyah jajanan pinggiran jalan itu cukup lahap.

“Apa curi-ciri pandang?!”

Mendadak si Vivi memperingatiku. Asem bener. Kukira dia nggak sadar.

“E-enggak. Itu, kamu nggak tawar-tawar, sih.”

Alasan. Sebenarnya bukan itu yang mau kukatakan. Ah, benar-benar.

“Abang mau?! Kukira ini buatku semua, loh.”

Vivi mengambil satu, lalu menyodorkan tepat ke hadapanku.

“Aaaa ....” Tanpa menunggu aku menyanggah, Vivi menyuruhku membuka mulut.

Dasar, bodohnya aku malah menurut saja. Kubuka lebar-lebar mulut ini, dan. Hap!

“Hmm! Bivi ... bebanyacan!” Dia menyumpal mulutku dengan onde utuh. Aku sampai kesulitan berbicara.

Ia malah tertawa, memang sengaja sepertinya. Awas saja, ya! Tunggu pembalasanku!

Walau kesulitan, akhirnya onde utuh yang disumpalkan Vivi ke mulut perlahan kukunyah dan kutelan sedikit demi sedikit. Keterlaluan, bagaimana kalau aku mati tersedak?! Bocah ingusan!

“Kamu, ya!” sentakku kencang.

Tapi si Vivi tak berhenti tertawa. Ia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah seraya berkata, “Piss!” Dan tawanya masih belum terhenti.

Duh, mana lupa tak beli air mineral, dasar Vivi. Jahilnya nggak ketulungan, ah.

“Kalau abang mati kesedak, nyesel kamu nanti,” ucapku kemudian. Agak sebal, sih.

“Iya, maaf, abangkuh. Habisnya ....”

“Apa?!” Kupotong ucapannya sehingga menggantung begitu saja.

“Enggak. Awas, ya, nanti abang bakal bales!”

“Coba aja,” tantangnya. Duh, bener-bener minta dijitak ini si Vivi.

Ya Allah, pertebal kesabaranku ini dalam menghadapi Vivi si payah. Semoga umurku masih panjang selama menjalankan amanah dari Fadalan, amin.

Lah, kok, aku malah berdoa begitu, sih?! Astagfirullah ....

***

Kami pun sampai ke rumah. Seusai memarkir mobil di halaman, segera kututup gerbang.

Nyak Marni menyambut di teras seperti biasa. Aku dan Vivi mengucap salam seraya berjalan naik ke teras, menghampiri Nyak Marni dan menyalaminya.

“Waalaikum sallam. Bagus, kalian udah pulang. Enyak kira kalian bakalan telat pulangnya. Habis dari mana aja, nih?”

Buset, datang-datang udah diserbu tanya sama Nyak Marni. Sungguh terlalu.

“Apaan, sih, Nyak. Jangan norak, deh. Namanya juga hari kelulusan, ya, pulang telat juga nggak apa-apa, kan, Nyak?” sela Vivi.

“Ck! Elu, ya! Orang tua ngomong malah nggak sopan jawabnya!” Nyak Marni mendengkus.

“Iya, nih. Dasar!” Segera kusenggol bahunya. “Tapi Nyak, kami pulang lebih awal karena Vivi mendadak ingat Nyak Marni. Makanya dia ngajak pulang tadi,” sambungku memberitahu.

Berkatnya, Nyak Marni tak terlalu emosi.

“Oh, tumben, Vi, khawatirin Enyak. Takut juga, lu, ya, kalo enyak mati?” kelakar wanita berstatus ibu kosan itu. Tak lupa tawa kecil menyusul di akhir kata.

Ebuset, Nyak Marni bicaranya asal jiplak, aja. Bawa-bawa mati segala. Ish ish.

“Ya Allah, Nyak. Sembarangan aja kalau ngomong. Harusnya bersyukur si Vivi punya rasa khawatir sama Enyak.” Aku menyel ucapannya. Dan, aku juga mendahului Vivi yang akan bicara. Sepertinya dia juga mau protes soal ini.

Aku dan Vivi saling pandang sekilas.

“Nah, baru aja mau bilang gitu, malah keduluan si Abang. Lagian, Enyak ini nggak percaya amat kalo Vivi khawatir. Jahat amat,” ujarnya seraya meringsut mendekat, lalu menggandeng bahu Nyak Marni.

Nyak Marni tak berkata lagi, ia menoleh pada Vivi, memonyongkan bibir. Tampak senyum mesem sekilas. Sepertinya Nyak Marni senang.

“Masuk, yuk, Nyak. Udah malem. Istirahat, ntar kumat lagi kayak tadi pagi,” ajak Vivi. Ia menyeret tangan ibunya tanpa menunggu konfirmasi setuju atau tidak. Dasar pemaksa.

Tapi ternyata Nyak Marni menurut, ia pun bangkit dan pamit masuk lebih dulu padaku. Kemudian tak lupa menyuruhku untuk segera istirahat juga.

***

Malam yang melelahkan akhirnya usai. Aku bisa berbaring nyaman di atas bed ini. Mengempaskan diri tanpa mandi dulu walau rasanya sangat gerah.

Yah, kepalang capek dan badan rasanya remuk.

Aku mulai memejam mata. Menikmati capek ini sendirian, hingga tanpa terasa, pagi sudah tiba menjemput.

“Ya, Allah! Kesiangan, kan?!” Buru-buru aku bangkit dari tidur dan lekas mandi. “Duh, gimana kalau nanti telat masuk kantor?!” lanjutku bergumam penuh rasa gelisah.

Sumpah, aku malah salah tingkah dan panik. Mau pakai kemeja, malah ambil dalaman. Mau ambil celana, malah ambil dasi. Astagfirullah.