Waktu memang tak bisa diajak kompromi. Semakin panik aku karena takut kesiangan, semakin cepat pula rasanya dentingan jam di dinding berputar.
Kesalku semakin bertambah kala tetangga sebelah nyetel musik keras-keras. Kan, jadinya aku tak bisa fokus dengan persiapanku pagi ini.
“Duh, mana kaus kakiku satu lagi?!” Entah apa yang merasuki, kedua tanganku mengobrak-abrik isi lemari, mengeluarkan semua isinya ke lantai.
Sehabis mandi pun rasanya kembali mendadak gerah kalau lagi panik begini. Semua karena masalah kesiangan.
Biasanya ketika ayam jago berkokok di waktu subuh, si Fadlan pasti rutin membangunkanku untuk melaksanakan ibadah dua rakaat. Teh manis yang masih mengepulkan asap panasnya pasti sudah tersedia di meja.
Dan sekarang benar-benar beda rasanya ketika sosok sahabatku itu tak ada. Aku kerepotan sendiri. Pagiku terasa kosong. Lantas, yang bisa kulakukan hanya panik dan kesal.
“Ck! Di mana, sih?!”
Belum juga kutemukan sebelah kaus kakiku itu, tetangga sebelah malah ikut-ikutan menyanyikan lagu yang ia putar keras-keras. Ya Allah, sungguh membuat telingaku sakit sekali. Bukan soal lagunya yang bukan seleraku, tapi suara sumbangnya ituloh. Duh.
“Apa salah dan dosaku, Sayang ....”
Ya ampun, pagi-pagi sudah disuguhi lagu dangdut yang sangat mengembuhkan. Mana dia nyanyinya teriak-teriak, lagi.
Bang Karya namanya, tetangga sebelah yang usianya lebih tua dariku. Dia pekerja proyek bangunan, posisi jabatannya adalah seorang mandor. Hidupnya tampak happy saja setiap hari walau jomlo.
Ish, kok, malah jadi bahas Bang Karya, sih. Oke, cari lagi kaus kakiku yang sebelah lagi.
Masa bodoh dengan suara-suara di luar sana. Sekarang bukan waktunya untuk kesal dengan hal spele itu.
Dan ... yah, akhirnya kutemukan juga kaus kaki hitamku itu. Lega, senyum pun kuukir puas, mengulas di antara tirusan kedua pipi.
Tapi ....
“Astagfirullah, kamarku sudah kayak kapal pecah aja gara-gara kaus kaki. Aih, aih ....”
Kepalaku menggeleng kala mata mengedar ke setiap sudut kamar kost yang kuhuni. Benar-benar bak kapal pecah.
Senyum yang mengulas mendadak pudar. Terkesima aku melihat kekacauan yang dibuat sendiri. Kaus kaki, oh, kaus kaki.
Sudahlah, tak guna juga memikirkan semua sampai terkena stres dadakan. Pakai dulu kaus kakinya.
Gegas kupasang, selepasnya aku berkaca di cermin. Menyisir rambut seadanya tanpa menyempatkan diri memakai dempul rambut. Masa bodoh, daripada kesiangan ke kantor!
Kuraih tas dan kunci motor di nakas, menarik dasi di hanger belakang pintu bekas pakai kemarin-kemarin. Memang belum sempat dicuci dan di strika, tapi ini sudah sangat telat. Jadi, tak apalah.
Usai bersiap sedemikian rupa, barulah aku buru-buru keluar kamar kost, menguncinya dan segera memasukkan logam kuningan yang disebut kunci itu ke dalam saku meja kerja.
Yup! Akhirnya bisa pergi juga.
“Loh, Gam?! Mau ke mana?” tanya tetangga lain padaku.
Gegas kulirik, Mas Roy ternyata. Dia sedang menyemprot burung peliharaannya di halaman kosan.
“Eh, Mas. Ini saya mau berangkat kerja. Maaf, ya, saya buru-buru.” Kusahuti tanyanya dan langsung pergi tanpa menunggu ia sempat bicara lagi.
Mungkin kesannya nggak sopan, tapi aku terpaksa.
“Loh, Gam! Tunggu!” Bahkan panggilannya kuabaikan.
Tepat sebelum kunyalakan si Jagur—motor kesayanganku, terdengar suara Vivi memanggil namaku.
“Bang, mau ke mana buru-buru? Udah rapih aja itu dandanan.”
Gangguan apa lagi, sih?! Rasanya hariku terhambat sejak mata terbuka di pagi tadi. Sungguh terlalu. Apakah ini karma karena aku melewatkan ibadah wajib dua rakaan? Ya Gustiii ampuni sekali saja.
Kulihat sekilas saja si Vivi. Dia ada di ambang pintu. Berdiri dengan celana kurang bahan dan hanya pakai atasan kaus oblong. Astagfirullah, pagi-pagi sudah lihat si Vivi yang pakai baju kurang bahan begitu. Aih.
“Kerja, lah. Masa mau mejeng. Jangan nanya lagi, abang lagi bad mood!” sahutku agak ketus. Aku masih sibuk berkutat dengan speda motorku, memarkirnya dan tak sempat melirik si Vivi lagi.
“Sekarang, kan, hari Minggu, Bang. Abang ngimpi atau ngelindur?! Masa mau kerja di tanggal merah,” katanya kemudian.
Degh! Mendadak aku terpaku di tempat. Deru jantung yang terpacu akibat kepanikan tiada bertepi itu mendadak terhenti sedetik, lalu terganti dengan detak keterkejutan tak kira-kira.
Aku menghentikan aktivitasku, menyetandarkan lagi motor yang sudah keberdirikan barusan. Kuncinya sudah menogel, tapi belum diputar untuk menyalakan.
“Hello? Abang waras?!” Kembali Vivi mengoceh. Aku melirik bingung. Macam orang bodoh, kupasang wajah polos dan ... yah, pokoknya nano-nano.
“Ini hari Minggu, Vi?” Kugaruk kepala yang tak gatal saat bertanya.
Gadis itu mengangguk, kemudian tersenyum simpul. Sepertinya sebentar lagia dia mau mengejek.
“Pikun, ih. Kemarin, kan, hari Sabtu,” katanya diiringi tawa.
Aku melempar pandang, lalu melirik jam di tangan. Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan, lalu kulihat kalender digital. Ya Allah, ternyata iya sekarang tanggal merah.
“Lah ....” Kutepuk jidat dengan telapak tangan.
Yah, zonk. Terus, dari pagi aku rusuh kayak lagi dikejar debtkolektor itu untuk apa, ya? Amsyong.
Vivi tergelak di ambang pintu. Hatiku dilanda kesal, lega, serta malu. Semua rasa itu bercampur bagai permen aneka rasa. Duh, pagi-pagi sudah eror. Apakah efek dari kurang liburan?!
Emm, dipikir lagi emangnya kapan aku liburan? Selama ini kerja terus. Kalau pun tanggal merah nggak ada kerjaan paling diam di pojokkan kamar sambil mabar game online sama si Fadlan. Apes, sekarang dia malah nggak ada.
“Yah, padahal tadi sampai ribut sendiri di kamar. Kok, sekarang malah mendadak hari Minggu aja.” Aku berkata dengan setengah bibir menyungging.
Kuusap wajah yang sudah berkeringatkan cemas sedari tadi. Sumpah, malunya setengah mati.
Aku tertawa, lalu duduk di atas CBR merahku sambil bertingkah tak jelas. Tawa khas mengejek Vivi masih terdengar, bahkan kian keras saja. Kulirik sekilas, dia sedang berjalan mendekat.
“Abang belum minum obat, ya? Pagi-pagi sudah eror, ha ha ha.”
“Buset, dah, Vi. Sekata-kata amat, tuh, mulut. Abang pelintir juga, nih,” candaku sembari menoyor jidatnya.
Ia tak peduli dan terus tertawa. Kali ini tangannya memukul lenganku gemas.
“Udah, dari pada ledekin terus, lebih baik kamu masuk sono. Ganti baju, jangan pakai baju kurang bahan begitu. Anak gadis nggak boleh pamer-pamerin aurat seenak jidat.” Kudorong tubuhnya pelan. Vivi langsung mengedar pandang pada diri sendiri.
Bibirnya monyong, matanya mendelik padaku seolah tak suka.
“Ck! Dasar nggak tahu model. Ini, tuh, udah gaya. Udah dari tokonya begini. Dasar norak, ah.”
“Yehhh, dibilangin susahnya minta ampun. Kalau ada laki-laki yang kegoda dan jahilin kamu gimana?! Ingat, di sini penghuninya laki-laki semua, loh. Abang cuma nasehatin supaya adik abang tetap aman dan terhindar dari mata-mata buaya jelalatan. Udah, sana, ih!” Kembali kudorong tubuhnya.
Vivi diam sejenak. Pandangan yang sebelumnya menampakkan delikkan tak suka pun berubah jadi pandangan lain, seperti sendu? Ah, entah juga, sih. Aku bukan peramal.
“Hanya adik, ya, Bang?” gumamnya pelan, tapi sangat jelas kudengar.
Aku mengerutkan kening, heran. “Kenapa, Vi? Ada yang salah sama ucapan abang?”
Ia langsung menggeleng dan mematri senyum. Dasar aneh bocah satu ini.
“Abang hari ini jangan ke mana-mana, ya. Vivi akan kenalin Abang ke seseorang,” katanya kemudian.
Dahiku kian berkerut. Vivi menarik kerah bajuku dan berbisik.
Mataku terbelalak kala kudengar kalimat, “Vivi mau jodohkan Abang sama kakak teman Vivi.”
“Hah?!” Kaget. Aku terperangah. Ia malah tersenyum lebar.
Buset, dah, si Vivi bukan main ngeselinnya. Katanya aku mau dia jodohkan?! OMG!