Vivi Yang Aneh

Di saat ketika aku dan Vivi sedekat dan seakrab layaknya adik dan kakak. Kadang pula kami bertengkar bak musuh bebuyutan. Kadang juga kami saling diam marah-marahan karena punya suatu kesalahpahaman.

Dan menurutku itu normal. Hanya saja, akhir-akhir ini Vivi bersikap aneh padaku. Entah hanya perasaanku saja, tapi di waktu tertentu dia seperti menjaga jarak dariku.

Bukan menjaga jarak fisik, tapi aku sering memergokinya menatap aneh padaku. Rasanya seperti Vivi memendam rahasia. Apakah dia sedang ada masalah tapi ragu untuk bercerita? Entahlah.

Seperti saat ini, ketika kubalas kejahilannya, Vivi malah terdiam memandang lurus tanpa kata padaku.

Sungguh, itu sangat mengganggu dan membuatku bingung, sehingga otakku berputar untuk menemukan satu jawaban itu. Bodoh juga jika dipikir. Aku mau mendapat jawabannya, tapi tak mendahulukan bertanya pada orangnya.

Di saat aku merasa bahwa dia sedang kesal, rasanya aku semakin gemas dan ingin terus menjahili remaja satu ini.

Hanya saja, tak kusangka Nyak Marni mendadak datang dan dia ... ah, seperti tidak tahu saja bagaimana Nyak Marni kalau lagi ngamuk dan salahpaham.

“AGAAAM! Berani-beraninya elu, ya! Lu ngapain anak gue?!” sentaknya seraya mengambil sapu ijuk di samping pintu kamarku.

Ya, ampun! Sigap, aku pun membenahi posisi.

“Enggak ngapa-ngapain, Nyak! Ampun, jangan emosi dulu. Tanya, dah, si Vivi! Kami cuma lagi becanda!” Aku mundur takut kala Nyak Marni semakin mendekat ke arahku.

Vivi bangkit, tapi ia membisu.

“Wah, gue nggak nyangka, ya, elu ternyata mau cari-cari kesempatan sama anak gue! Kurang ajar, ya, lu!” pungkasnya semakin emosi.

“Apaan, sih, Nyak! Jangan ngadi-ngadi!” Vivi akhirnya angkat suara.

“Nah, kan. Nyak jangan salahpaham dulu, ya. Semua aman terkendali. Kami cuma lagi main-main dan bercanda aja, kok.” Kembali aku berkata untuk meyakinkannya. Tak lupa senyum kuulas agar perkataanku bisa dipercaya.

Sumpah, seram sekali Nyak Marni kalau lagi marah, apalagi marah saat anaknya tersentuh walau hanya sehelai rambut. Dan, tadi? Astoge, iya aku baru sadar. Posisinya sangat tidak enak dilihat dan ... yah, begitulah.

Akhirnya, Nyak Marni mau juga menurunkan sapu ijuk yang hampir dipakai untuk memukulku itu ke lantai. Matanya memicing kesal.

“Awas, ya, lu kalau macem-macem sama anak gue! Itu terong gue jamin terpotong jadi dua!” ancam Nyak Marni seraya menunjuk anu-ku.

Aihhh! Seram bener, seketika aku ngilu mendengarnya. Kulirik Vivi sekilas, dia malah diam-diam tersenyum. Asem, memang si Vivi! Dia malah ketawa waktu Nyak Marni bilang terong! Psti otak mesumnya bekerja. Ck.

“Ape, lu lirik-lirik Vivi?!” Ya ampun, teguran Nyak Marni bener-bener bisa bikin spot jantung kalau begini. Fuihh.

Kugelengkan kepala, tak lupa senyum kupatri.

“Udah, Nyak. Mending balik ke rumah, yuk.” Vivi akhirnya mengajak Nyak Marni pergi, beruntungnya.

“Gue gibeng juga, ya, lu!” Hiiih! Bahkan saat Nyak Marni diseret Vivi pun, ia masih saja mengomel dan mengancam padaku.

Ya, kalik aku mau ngapa-ngapain Vivi. Toh, dia cuma adikku, tak mungkin aku melakukan hal tak senonoh padanya.

“Dan satu lagi! Ini ngomong-ngomong, kamar kok kayak kapal pecah! Dasar jorok!”

Selepas mengatakannya, Nyak Marni langsung memalingkan muka lagi dan berjalan pergi. Dasar bawel!

Walau dia sudah jadi gadis perawan yang bisa dandan, pandanganku terhadapnya akan tetap sama. Bukan pandangan terhadap wanita, tetapi hanya seorang adik. Jadi, menurutku Nyak Marni terlalu berlebihan menyikapi.

***

Setelah berbagai drama sial menghiasi pagiku tadi, serta hampir saja aku kena getok sapu oleh Nyak Marni, akhirnya aku berusaha berdamai dengan diri sendiri dan mencoba menata ulang hati, eh, hari maksudnya.

Sekarang sudah jam sembilan pagi, dan keadaan kamar yang tadinya bak kapal pecah terbelah dua ini akhirnya sudah rapih kembali.

Lumayan capek juga, ya, bersih-bersih sendiri. Biasanya ada Fadlan.

Huh, kan jadi ingat lagi. Sedang apa kira-kira dia di sana sekarang, ya? Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja? Ah, bodohnya aku. Mana mungkin Fadlan baik-baik saja ketika mengalami kepahitan ditinggal orang tuanya.

Ya Allah, semoga sahabatku diberi ketabahan, kekuatan hati, serta keikhlasan. Semoga almarhumah diampuni dosa-dosanya dan ditempatkan di sisi terbaik-Mu ya Allah. Amin.

Kuhela napas sekejap sembari mengenang semua hal yang telah aku lewati bersama Fadlan di sini. Sedih rasanya. Sepertinya aku terlalu bergantung padanya sampai-sampai galau begini.

Kurebahkan tubuh di atas ranjang, kuraih ponsel di nakas. Seberapa kali kucoba hubungi lewat chat dan email, ia belum juga menjawab. Pesanku bahkan belum dibukanya.

Aku jadi semakin khawatir.

Oh, iya. Aku sampai lupa sesuatu. Belum kirim foto Vivi ke Fadlan!

Aih, benar-benar pikun aku ini!

Segera kubuka menu galeri foto dan mencari-cari potret si ABG kesayangan Fadlan paling bagus, paling jernih, dan paling terlihat ceria.

“Nah, ini lumayan ....” Kupilih potret Vivi yang tengah tersenyum bahagia saat mendapat buket mawar malam itu. “Ini juga bagus.” Yah, kulanjutkan dengan memilih potret lainnya juga.

Setelah beberapa pict kudapat, segera kusend pada sahabatku lewat via email. Walau entah kapan ia buka, tetapi setidaknya aku sudah berusaha menepati janjiku ini. Tetap memberi kabar padanya tentang Vivi, gadis yang disukai beberapa waktu lalu itu.

Tanpa terasa bibir menyungging tipis. Rasanya agak aneh. Aku berusaha menjodohkan temanku dengan adik sendiri. Gimana, gitu, rasanya.

Senyumku lenyap seketika kala ponsel berdering sekali, tanda notifikasi pesan masuk. Segera kuperiksa.

Dasar panjang umur, ternyata dari si Vivi. Kubuka pesannya walau malas.

[Bang, nomor Abang udah Vivi kasih ke kakaknya teman Vivi, ya. Namanya Clara]

Hah?! Asem bener, ternyata si Vivi beneran serius. Ck, dasar bocil ngeyel! Sudah kukatakan tidak mau, kok, maksa, sih?!

[Vivi! Kamu, kok, main kasih aja?!]

Walau kesal, ya, terpaksa kubalas. Menyebalkan memang.

[Bukannya makasih, malah marah. Vivi, tuh, pengen lihat abangku bahagia. Udah, jangan nolak terus. Kalau kak Clara hubungin, jangan dijudesin, ya. Pliiis.]

Beuh, ternyata begitu balasannya. Tak kuhiraukan lagi pesan Vivi, segera kutekan tombol menu utama dan cuek saja.

Akan tetapi, tak berapa lama ada pesan masuk lagi. Dasar, Vivi!

Eh, tunggu?! Ternyata bukan dari Vivi, tapi nomor baru. Siapa kira-kira?

Klik. Kubuka chat di aplikasi hijau kekinian itu. Nomornya baru, foto profilnya wanita dengan setengah muka. Maksudku, pict hitam putih bergambar perempuan sedang tersenyum lebar, tetapi sebagian wajahnya ditutup telapak tangan.

[Halo, selamat siang. Perkenalkan aku Clara, semoga salam sapa dariku tidak mengganggu. Salam kenal]

Begitulah isi pesannya.

Oh, si Clara yang kata si Vivi itu. Duh, sebenernya malas meladeni. Tapi nggak enak kalau sudah kubaca begini, dan malah kuacuhkan.

Akhirnya, mau tak mau kubalas juga.

[Iya, selamat siang. Salam kenal kembali. Teman Vivi itu, ya?]

Basa-basi, pura-pura sok tidak tahu diriku ini.

[Oh, bukan. Sebenarnya yang temannya Vivi itu adikku, Syeril. Aku kakaknya.]

Bingung harus balas apa lagi setelah ini. Sumpah, sama sekali tak tertarik.

[Oh, oke.]

Dan, akhirnya kubalas singkat begitu. Lalu, setelahnya dia tak lagi mengirim pesan. Aku yakin dia tersinggung. Perempuan, kan, suka begitu, baper.

Ya sudahlah, kubiarkan saja. Kulempar ponsel ke bawah bantal, dan tak kuhiraukan lagi. Tak lama terdengar teriakkan nyaring.

“Abaaaaang!”

Ah, si Vivi. Kuyakin Clara mengadu padanya tentang kecuekkanku barusan. Huft.