Entah apa yang merasukinya sampai ia terus berusaha menjodoh-jodohkan aku dengan perempuan bernama Clara. Ada-ada saja.
“Abaaaaang!”
Tuh, kan? Baru saja kusebut namanya dalam hati, suara cemprengnya langsung menyambut kencang. Emang dasar panjang umur, tuh, anak.
Aku bangkit dari ranjang, terpaksa.
“Abaaang, buka!” Vivi mengetuk-ngetuk pintu tak sabar. Aku malas, soalnya dia pasti menceramahiku soal Clara.
“Apa manggil-manggil?” Dengan muka air datar kutanya.
Ia memasang raut marah, tangan melipat di dada, matanya memicing tajam ke arahku.
“Abang, kok, cuek sama Kak Clara, sih?!” ucapnya kemudian.
Yah, sudah kuduga Vivi akan menceramahiku soal Clara yang chatnya tak kurespon baik. Duh, malas kalau mau ngomongin alasannya. Bukannya dimengerti, si Vivi malah semakin kumat nanti.
“Abang malas aja, Vi. Udahlah, jangan maksa. Udah abang bilang, kan, kalau abang itu nggak suka dijodoh-jodohkan begini.” Hanya kata itu yang terlintas di benak untuk kuungkap, Vivi diam sejenak.
“Baang, ih ....”
“Enggak! Jangan maksain kehendak abang, ya. Kenapa, sih, kamu kesannya malah maksa banget? Jangan keterlaluan, ya, abang nggak suka!” Kupotong ucapannya. Kali ini aku terpaksa berbicara dengan nada agak tegas, tak melulu ngalah seperti biasa.
Vivi diam menunduk, mungkin menyadari kesalahannya. Baguslah!
“Tolong hargai usaha Vivi kali ini, sekali aja, Bang,” rengeknya kukuh. Tapi kali ini ia berkata sambil menundukkan kepala, tangan dan kakinya bergerak tak karuan. Intinya dia sedang memohon, gitu?
Kuhela napas panjang, lalu berkata, “Tolong hargai keputusan abang, Vi. Hargai juga privasi abang. Plis.” Nada suara kuperendah, semoga dengan begini gadis belia di hadapanku ini mengerti akan kemauan hatiku. Mengerti dengan penolakkan yang kupinta.
Tak kalah panjang Vivi menghela napas dan membuangnya lagi. Ia memberanikan diri menatap mataku, lekat. Masih kulihat tatapan penuh harap, sepertinya. Entahlah, hanya menebak.
“Kenapa liatnya gitu? Seolah-olah abang ini yang paling salah?!” tanyaku agak ketus.
Vivi menggeleng pelan. Aku sungguh tak mengerti, apa dia sedang merengek? Rautnya seperti dirinya korban saja, huh.
“Kasih abang alasan kenapa kamu kukuh banget, sih, mau jodoh-jodohkan sama perempuan itu?” lanjutku bertanya.
Vivi menatap mataku serius sebelum akhirnya membuang muka. Semakin heran aku dibuatnya. Ia menurunkan tangan yang awalnya dilipat di dada. Membiarkannya menggantung bagai tak bertenaga.
“Maafin Vivi, Bang. Vivi janji nggak akan begini lagi. Maaf,” katanya.
Ya, ampun. Perasaan aku nanya jelas tadi. Kenapa jawabannya nggak sesuai dengan pertanyaan?
“Alasannya, Vi. Abang cuma tanya alasan!”
Kembali ia diam. Apa-apaan ini? Memangnya sedang lomba puasa ngomong?!
“Vivi, tolong jangan buat abang tambah marah, ya! Jawab, dong!” Sumpah, kesal bukan main, rasanya si Vivi ini sedang mempermainkan aku.
Ia menggeleng. “Enggak ada alasan, sih, Bang. Pokoknya Vivi minta maaf. Janji, enggak lagi, deh.”
Usai mengatakannya, ia malah melengos pergi. Hiih! Kalau bukan anak ibu kosan, sudah kujitak kepalanya dari tadi! Mengesalkan!
Kututup pintu rapat walau punggung Vivi masih terlihat di kejauhan. Terserahlah, aku malas meladeni. Demi apa coba?! Vivi malah begitu.
“Tuh, kan. Aku jadi rempong sendiri! Kesel sendiri kayak orang lagi sakit gigi digangguin aja! Sial ... eh, astagfirullah, nyebut Gam, nyebut.” Kuelus dada, beristighfar pada Yang Maha Kuasa.
Astagfirullah ....
***
Sejak kejadian tadi—saat Vivi kuomeli—ia seolah seperti menghindar dariku. Sungguh, hal itu cukup mengganggu.
Seperti sore ini, ketika aku akan pergi ke warteg langgananku di depan sana, kami berpapasan di depan rumahnya. Baru mau kutegur sapa, Vivi langsung masuk ke dalam rumah.
Tak kuhiraukan untuk yang pertama.
Lalu, lagi-lagi Vivi melakukannya untuk yang kedua. Saat magrib menjelang, ketika aku hendak pergi ke masjid untuk menunaikan salat berjamaah dan berpapasan di depan gerbang—entah habis dari mana dia.
Kali ini kikuk. Dari sikapnya, Vivi seolah memperjelas bahwa ia benar marah padaku. Bahkan, saat kutanya habis dari mana, jawabannya sangat singkat.
“Dari warung.” Ia menjawab seraya melengos pergi. Aku terdiam beberapa detik selepas kepergiannya. Ya ampun.
Akhirnya, atas sikap dingin Vivi yang mendadak itu aku jadi kepikiran. Memang, ya, bikin khawatir. Soalnya tak biasa remaja itu marah berkepanjangan. Apakah mungkin karena tadi siang caraku bicara dan memperingatinya sangatlah keterlaluan? Ck!
Sepulang dari masjid, kulihat Nyak Marni tengah duduk di kursi depan rumahnya sambil dipijit oleh Vivi di bagian bahu.
“Eh, Gam. Elu habis dari masjid, ya?” tanyanya.
Kuanggukkan kepala seraya berkata, “Iya, Nyak.”
Mataku melirik Vivi, dia cuek dan tak membalas tatapanku. Entah karena mungkin sedang sibuk memijat ibunya, atau karena memang tak ingin melihat wajahku.
Tuh, kan, lagi-lagi perasaan bersalah serta bingung ini menggerayangi pikiran. Si Vivi bener-bener aneh, deh, ah. Emang dasar bocil satu ini, bikin penasaran.
“Gam, Enyak bisa minta tolong nggak?” Setelah beberapa detik saling diam, mendadak sebuah tanya kudengar.
“Iya Nyak? Minta tolong apa? Kalau bisa, boleh,” jawabku singkat, kubenarkan sarung yang tersampir di bahu.
“Beliin lem tikus, dong, di depan sana. Enyak males pergi. Sekalian, tadi katanya si Vivi mau balikkin baju sewaan dia ke salon. Kebetulan udah balik lagi ternyata.” Yah, permintaan tolongnya tak menyulitkan, aku langsung mengiyakan.
“Boleh, deh, Nyak. Bentar, ganti celana dulu, masa koloran begini,” kataku.
Belum juga kaki sempat melangkah, Vivi angkat bicara. Ia berkata kalau tak jadi mengantarkan kebayanya malam ini.
“Kayaknya besok aja, deh, Nyak.” Tak tahu apa alasannya, tapi aku curiga ia sedang menghindariku dan tak mau pergi bareng.
Nyak Marni menoleh, “Lah, kenapa?! Katanya tadi selepas magrib lu mau anterin itu baju. Kata lu kalau pagi atau siang salonnya masih tutup. Gimana, sih, plin plan jadi orang!” Ibunya malah mengomel tanpa sadae dengan raut wajah Vivi yang tampak murung.
“Mendadak sakit perut, Nyak. Nggak enak. Kayaknya magh mau kumat. Udah, ya, Vivi masuk dulu. Mau baringan di kamar,” sahut Vivi seraya bergegas masuk tanpa menoleh lagi.
Pintu pun dibiarkan terbuka, kulihat Vivi berjalan cepat menuju kamarnya, dasar. Hmm, dia benar-benar marah.
“Ya, udah, Gam. Enyak minta tolong, ya. Dan sekalian beliin obat magh di apotek buat Vivi. Ini duitnya, lebihnya buat lu aja, ya.” kata Nyak Marni sembari menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah.
Dahiku mengerut seketika.
“Ceban, Nyak? Boro-boro ada kembalian, duit segini beli lem tikus sama obat ke apotek mana cukup.” Jelas aku protes, tapi Nyak Marni biasa saja.
Nyak Marni mendengkus sebal, “Ya, udah tinggal lu tambahin, sih, kalau kurang. Ribet amat. Ntar kalau lu bayar sewa kamar, gue potong, dah.”
Kutepuk jidat, pasrah. Ini mah bukan minta tolong lagi, tapi beneran nyusahin. Aihh.
Meski begitu, aku tetap pergi. Setelah memakai celana jeans dan jaket parka hijau botol yang menggantung di hangger belakang pintu, aku bergegas dengan speda motorku, pergi membeli lem tikus serta obat magh di apotek. Kubeli obat magh cair kemasan botol, sebab tahu kalau Vivi kesulitan kalau harus menelan obat butir.
Sepulangnya, langsung saja kuketuk pintu. Malam itu azan pertanda Isya telah tiba berkumandang. Tenang sekali hatiku saat mendengarnya.
Tok! Tok! Tok!
Sekali lagi kuketuk pintu, tapi lagi-lagi aku tak bersuara, malas. Tak lama pintu terbuka, Vivi ternyata.
Entah mengapa aku terkesiap saat menyadari dia yang ada di depan pintu. Mendadak rasa curigaku mencuat kembali, rasanya ingin bertanya.
“Vi, bukannya kamu sakit perut? Nyak mana?” Meski aku penasaran, entah kenapa tak bisa bertanya, mungkin gengsi.
“Baru kerasa, Bang. Habis baringan udah lumayan, kok. Enyak lagi di WC. Sini, kasih Vivi aja lem nya.” Tanpa menunggu persetujuanku, ia langsung menyambar kantong plastik putig di tanganku. “Makasih, ya, Bang. Vivi masuk dulu.”
Sikapnya seolah-olah sedang mengusir saja. Belum sempat pintu ditutup, sudah kutahan.
“Vi, tunggu. Abang mau ngomong sama kamu sebentar,” ucapku sembari menatap fokus. Kutangkap lengannya, ia tertahan.
Akan ada perbincangan serius kali ini, dan aku mau kesalahpahaman atau mungkin sangkaan kemarahan Vivi terhadapku selesai malam ini. Harus.