Terpaksa

Demi apa pun, aku sangat cemas ketika menahannya di ambang pintu tadi, takut Vivi menolak saat kuajak bicara. Ia menatap lurus sekilas, sebelum akhirnya berkata,

“Ngomong apa, sih? Muka Abang serius amat.” Ia menepis pegangan tanganku, sehingga tangan yang sempat menahannya agar tak masuk dulu itu terlepas dan mengayun di udara.

Vivi membuka lebar kembali daun pintu, ia mendorongku dan duduk di bangku depan teras. Syukurlah, artinya bocah ini mau juga kuajak bicara.

Aku menyusul duduk. Lucunya, kami malah saling diam untuk beberapa detik. Setelah kutunggu, gadis belia di sampingku ini tak juga bertanya. Pun denganku yang tak kunjung membuka percakapan. Dan, sepertinya benar dugaanku, Vivi marah.

Walau suara jangkrik di halaman mulai ramai mengusik, tapi tak juga aku berkata apa-apa. Pun dengan Vivi, ia diam membisu. Ia menatap lurus ke arah pagar saat sesekali kucuri pandang dari sudut mata.

Ya, ampun. Cuma mau nanyain soal marah atau tidaknya saja jantungku sampai berdegup tak karuan. Berasa aku saja yang salah.

Bahaya, kalau tak ada yang memulai pembicaraan, sampai Nyak Marni berjenggot pun masalah ini nggak akan ketemu titik terangnya.

Iya, aku harus memulainya, segera!

Dengan tekad yang kuat, serta keringat dingin mulai bermunculan, akhirnya bibir kupaksa bergerak dan berucap.

“Vi, kamu marah sama abang?” Pertanyaan itu akhirnya melesat dari mulutku, setelah beberapa detik, bahkan hampir menghabiskan waktu semenit berpikir.

Vivi menoleh, kami bertabrak pandang. Buru-buru aku membuang muka. Gugup aku, bukan tak mau melihat wajahnya.

“Soal?” Vivi malah berbalik tanya. Dia itu pura-pura nggak ngerti atau apa, ya?

“Ya, mungkin soal Clara.” jawabku sekenanya.

Lagi-lagi, Vivi tak bersuara.

“Jawab.” Tak sabar, aku berusaha menanyakannya lagi, kini dengan intonasi nada suara yang agak menekannya.

“Enggak, ngapain marah karena itu,” celetuknya menjawab santai.

Kali ini kuberanikan diri menatap perempuan yang kuanggap adik itu dengan seksama.

“Jadi, kamu marah karena hal apa?”

Vivi menggeleng tanpa membalas tatapanku.

“Enggak marah, kok. Kata siapa Vivi marah sama Abang?” Ia malah berbalik tanya, bukannya menjawab pertanyaanku dengan jelas.

“Terus, kenapa kesannya kamu kayak hindarin abang? Kalau ketemu, kamu kayak langsung salah tingkah dan pergi begitu aja. Kalau bukan marah, namanya apa, dong?” Akhirnya aku bisa juga berkata lancar tanpa lagi merasa diburu detak jantung yang tak karuan.

“Vivi nggak marah, Bang. Beneran. Cuma ....” Ia meragu. Ah, sudah jelas namanya itu marah.

Aku tersenyum simpul. “Cuma apa? Udah jelas kamu marah, tapi banyak alasan.”

Gadis itu mendelikkan mata padaku. Nah, kalau sudah begitu, Vivi mulai kembali pada dirinya yang kukenal sehari-hari.

“Enggak marah, cuma lagi merajuk aja!” sanggahnya sambil memonyongkan bibir.

Aku tertawa kecil, “Merajuk karena apa? Jangan bilang karena abang cuekkin si Clara itu.”

Vivi diam, ia membuang muka. Kuhentikan tawa kecil ini, lalu mengerutkan kening tak percaya.

“Serius?! Kamu marah karena itu?! Ya, ampun Vivi ....” Kugelengkan kepala, masih tak percaya dia marah hanya karena aku mengabaikan pesan chat Clara.

“Bukan marah! Cuma merajuk!” Lagi-lagi Vivi menyanggah.

“Iya, iya, terserah kamu aja. Intinya tetap sama bagi abang. Kamu marah.”

Ia berdecak kesal, memicingkan mata ke arahku. Sedangkan aku sendiri tetap melengkungkan senyum di sudut bibir, merasa tingkahnya sangat lucu.

“Coba bilang, kenapa kamu sampai merajuk begitu? Masa cuma gara-gara abang cuek ke perempuan aja kamu sampai merajuk,” kataku. Sumpah, inginnya tertawa lepas, tapi aku takut si Vivi tambah kesal.

“Ya, karena malu aja, Bang. Abang tahu, kan, malu?! Aku, tuh, janji mau jodohin abang sama kak Clara. Malah abang gituin.” Alasan yang cukup masuk akal, tapi sayang sekali aku tak tersentuh sedikitpun.

“Malunya bagian mana? Kan, yang cuekkin abang. Bukan kamu.”

“Pokoknya malu aja. Jangankan sampai ke tahap menjodohkan, tahap mempertemukan aja nggak. Ya, malu setengah mati aku. Mana aku yang duluan usulin buat jodohin, akh!”

Hee?! Apa katanya? Dia sendiri yang mengusulkan perjodohan sepihak itu? Ck. Ck. Vivi ini bener-bener keterlaluan. Dasar.

“Hadeh ... lagian kenapa juga kamu sok ngusulin buat jodoh-jodohin abang segala, sih? Padahal sudah jelas abang lagi nggak mau cari dulu dan mau fokus ke karir.”

Kini kulihat dia salah tingkah. Yah, sudah jelas ada alasan di balik tindakkannya itu.

“Emm, Vivi itu, kan, peduli sama Abang. Masa gitu aja sampai ditanya,” ujarnya. Kurasa dia berbohong, kelihatan jelas dari gelagatnya yang tak biasa itu.

“Yakin, cuma karena peduli aja?” Kucoba menelisik lebih dalam, siapa tahu dia keceplosan.

“Iya, Vivi itu begitu karena peduli. Nggak mau lihat abang terus-terusan jomlo!”

Sangat mencurigakan. Apalagi jawabannya kali ini dengan nada tinggi, pula. Namun, ya ... aku akan pura-pura bodoh saja dan mangut demi bisa membuatnya tak kesal lagi padaku.

“Abang sangat berterima kasih sama kamu Vi. Abang minta maaf karena sudah buat kamu malu. Kalau begitu, demi kamu abang mau ketemu sama Clara itu, tapi sekali saja. Gimana?”

Asem, nih, mulut. Kok, malah jadi menawarkan diri begini. Haish!

“Serius, Bang?!” Demi apa coba? Vivi sekarang matanya bersinar senang.

Sial ... aku malah masuk jebakan betmen.

“Iya, tapi sekali aja. Itu pun kalau sama kamu. Abang nggak mau, ya, ketemu berduaan aja,” kataku terpaksa. Yah, terlanjur memberi harapan pada Vivi. Kalau kubatalkan, muka masamnya pasti balik lagi.

Adikku ini langsung menarik lenganku, kulihat dia semringah. Ya, ampun, segitu senangnya lihat aku mengalah. Dasar.

“Okey! Vivi akan atur, ya, Bang. Makasihhh!” teriaknya seraya menggoyang-goyangkan bahuku dengan sebelah tangan.

Terpaksa kusunggingkan senyum, getir. Entah mengapa dia sangat senang ketika aku merasa sebaliknya.

***

Seperti janjiku sebelumnya yang akan menemui perempuan bernama Clara kepada Vivi, hari ini ia mengabarkan lewat chat WhatsApp bahwa nanti malam mereka akan janjian nonton bareng di bioskop. Vivi memintaku datang.

[Iya, kalau nggak disuruh lembur sama atasan, ya. Soalnya hari ini, kan, Senin]

Kubalas pesannya dengan singkat.

Yah, hari ini aku sedang bekerja di kantor. Sebenarnya tak benar aku main ponsel di jam kerja, tapi karena kerjaanku sedang tak banyak, bisa, lah, curi waktu sebentar untuk melirik pesan.

“Gam, bisa bantu saya sebentar?” Tiba-tiba Pak Wahyu muncul di balik pintu ruanganku.

Kaget, dong. Alhasil ponsel di tangan langsung jatuh ke meja.

“Y-ya, Pak?! Ada apa?” Spontan aku berdiri, bertanya gelagapan.

Pak Wahyu masuk ke ruanganku sambil memegangi perut gendutnya. Tangan kiri tampak menggenggam sesuatu. Setelah kulihat secara seksama dan teliti, ternyata itu adalah kartu kredit. Pertanyaannya, kenapa malah disodorkan kepadaku?

“Gam, tolong belikan obat sakit perut di apotek yang tempatnya ada di sebrang kantor. Tolong. Saya nggak bisa fokus kerja kalau terus mencret begini,” ucapnya dengan wajah penuh keringat.

Aku terdiam beberapa detik sebelum akhirnya baranjak dari tempat menuju Pak Wahyu, lalu menangkap lengannya. Hampir saja dirinya terjatuh.

“Bapak sakit perut?” Bodohnya aku malah bertanya.

“Iya. Tolong cepat belikan, gawat kalau tidak bisa diredakan. Dua jam lagi akan ketemu relasi di kantor soalnya.”

“Ba-baik, Pak.” Tanpa menunggu lagi perintah keluar dari mulutnya, aku langsung menyambar kartu kredit tersebut dan pergi begitu saja dengan langkah cepat.

Sial, dari kemarin rasanya aku jadi tukang beli obat sakit perut terus.

***

Tiba di apotek, aku yanga buru-buru pun langsung memesan obat yang dipinta Pak Wahyu. Apesnya lagi, aku lupa tanyakan nomor PIN kartu kredit yang dia berikan. Duh, akhirnya aku jadi yang membayarkan. Apes, apes.

Ya, sudahlah. Itu urusan nanti dengan Pak Wahyu. Sekarang baiknya balik ke kantor cepat-cepat.

“Aww! Kalau jalan hati-hati, Mas!”

Aih, aku pakai acara nambrak orang segala di depan apotek. Dia perempuan berambut pendek, pakai baju kuning lengan seperempat. Pas melihatku ... eh, dia?!

“Gina?!” Aku terperangah kala kami beradu tatap.

Dia ... mantanku?