Ingin rasanya tertawa keras saat melihat mantan di depan mata, tapi bohong, mana sanggup aku tertawa saat ini. Speechless yang ada kala dihadapkan dengan wanita berbaju kuning ini.
Dia membalas tatapanku, tetapi dengan raut muka aneh.
“Maaf, saya bukan Gina. Mungkin kamu salah orang,” sangkalnya kemudian.
“Bu-bukan?!” Aku sedikit kaget mendengar pernyataannya. Bukan katanya? Akan tetapi, dia mengangguk, lalu terlihat senyum tipis tak nyaman tergaris di sudut bibirnya.
Antara lega dan juga kaget disertai malu luar biasa, aku ternganga. Heh?! Bukan Gi ... kok, mirip? Aku salah tingkah pastinya. Kutunjukkan wajah bodohku untuk menutupi malu.
Sekali lagi kucermati setiap lekuk wajahnya. Benar bukan dia ternyata. Wah, jantungku sudah mau copot rasanya barusan. Kalau iya dia, sepertinya bakal copot beneran.
“Oh, maaf kalau begitu. Sudah saya menabrak, malah salah kira juga. Maaf, maaf.” Kuberanikan diri untuk meminta maaf. Terserah jika dia mau memilih memaafkan atau tidak. Yang jelas aku sudah niatkan.
“Oke, no problem.” Perempuan itu berkata sembari menyungging senyum, wah benar-benar mirip, sih. Cuma yang membedakan dengan Gina hanyalah gaya berpakaian serta model potongan rambutnya saja. “Saya duluan,” katanya lagi. Aku tersadar dari lamunan dan mempersilakan.
Malu? Sudah pasti. Sudah berbuat salah, main tebak-tebak, pula. Menyebalkan.
Teringat akan Pak Wahyu yang mungkin kini sedang menungguku, gegas aku melangkah cepat kembali ke arah kantor dan segera menyingkirkan pikiran payahku soal perempuan tadi.
Mirip? Ingat, Gam, kamu harus tobat dan segera move on. Malah jadi ingat Gina terus, sih. Sadaaar! Kalian itu sudah putus!
Yah, bak orang gila saja. Sepanjang jalan aku bermonolog sendiri sampai-sampai tersandung anak tangga di depan kantor.
“Gam, dari mana?! Jam kerja malah keluyuran!” tegur salah satu rekan kerjaku. Dia perempuan yang bertugas di bagian staff lain.
Tanpa menghentikan langkah, kusahuti singkat. “Dari apotek, disuruh Pak Wahyu.”
Rekanku itu mengangguk seraya membulatkan bibirnya. Nampaknya dia sudah tak lagi penasaran dengan aktivitas yang sedang kujalani.
Kutekan tombol lift, tak lama pintu terbuka. Aku masuk. Di dalam hanya sendiri sebab sekarang bukan sedang jam istirahat, jadinya lift kosong.
Sial, saat aku menatap bayangan diri di pantulan cermin dalam lift, mendadak sosok wanita tadi terbayang-bayang di otak. Tinggi badannya, lekuk tubuhnya, lesung di pipi, dagu yang belah, dan ... astagfirullah apa yang kupikirkan?!
Segera aku tersadar kembali dengan kebodohan ini. Ya, ampun. Move on, Gam! Bukannya kemarin kamu sudah menolaknya untuk dijadikan penghuni hatimu lagi? Terus, kenapa mendadak dipikirin terus, sih?!
Bagai orang gila, aku bermonolog sendiri di dalam lift sambil menunjuk-nunjuk pada bayanganku di cermin.
Ah, jika ada yang melihatnya, sudah pasti aku dikatai gila beneran. Eh? Aku lupa ada CCTV.
“Mampus ....” Aku mendongak ke atas kepalaku, baru menyadari keberadaan kamera CCTV. “Sudah, diam dan rileks. Anggap saja yang tadi tak pernah terjadi,” aku bergumam sendiri, mencoba menahan malu yang baru saja datang menggerayangi hati.
Pintu lift terbuka, gegas aku berjalan cepat dan segera melangkah menuju ruangan atasanku itu.
“Pak, ini obatnya.” Kutaruh obat itu di meja kerjanya.
Pak Wahyu sendiri masih sibuk mondar-mandir di ruangan. Lalu, ia segera mengambil botol air mineral dan membuka bungkusan plastik berisi tablet pereda sakit perut yang baru saja kubawa.
Kubantu ia mengeluarkan tablet dari wadahnya. Pak Wahyu langsung mengkonsumsinya di depan mataku, mereguk air mineral untuk segera bisa menelan obat tersebut.
“Ah, makasih, Gam. Kamu boleh kembali ke ruangan kamu,” katanya sambil menggibaskan tangan.
Baiklah, aku pun mengeluarkan kartu yang sebelumnya diberikan olehnya, meletakkan benda tersebut di meja kerja.
“Ini kartunya, Pak.”
“Oke, oke. Maksih. Simpen aja dulu dan kamu boleh pergi, kenapa masih ada di situ?” tanyanya kemudian. Ck, kesannya seperti sedang mengusirku saja.
“Oh, iya, Pak. Tapi, tadi kartunya nggak bisa dipakai, jadi saya talangin dulu,” ucapku. Ya kalik aku rela bayarin, mana uangku lagi menipis begini.
Pak Wahyu menatap bingung, “Loh, iyakah? Masa, sih?! Perasaan saya kasih kamu kartu aktif, kok.” Ia mengambil dan mengeceknya sendiri.
“Anu, bukan masalah itu. Tapi Bapak lupa kasih tahu kata sandinya.” Kuabaikan urat maluku yang mulai tegang, masa bodoh, aku harus jujur, kan?
Mendadak atasanku menepuk jidat, “Astaga! Saya lupa. Ha ha ha ....” Usai berkata, ia merogoh sakunya dan mengambil dompet. “Berapa Gam?” tanyanya kemudian, dia melirikku sambil tangannya sibuk membuka dompet.
“Ha-hanya empat puluh tiga ribu saja,” kataku dengan wajah yang mulai terasa panas akibat malu. Mendadak rasanya aku seperti seorang debtcollector saja yang sedang menagih utang.
“Mahal amat,” sahutnya sambil menarik selembar uang senilai lima puluh ribu rupiah, lalu menyodorkannya padaku. “Nih.”
Kuterima uang itu dengan senang hati, “Kualitas yang bagus itu, Pak. Ini struknya sebagai bukti.” Tak lupa kuserahkan struk pembelian tadi kepadanya.
“Oke.” Pak Wahyu menerimanya dan melihat dengan teliti. “Kerja lagi, sana. Dan, untuk kembaliannya kamu bisa kembalikan kapan-kapan. Saya tahu sekarang lagi nggak punya receh, kan?” katanya lagi tanpa melihat wajahku barang sekilas.
Buset, kirain kembaliannya mau dikasih. Ternyata malah disuruh balikkin, dasar bos pelit! Aku merutuk dalam hati, tetapi kenyataannya aku malah menyungging senyum palsu di hadapan mukanya.
“Oh, oke Pak. Saya pergi dulu,” ucapku, lalu segera membalik badan dan pergi.
Usai kubalik badan, barulah ekspresi yang sesungguhnya kutunjukkan—wajah sebal dan datar. Tanpa senyum, kulangkahkan kaki keluar dari ruangannya.
“Huft ... kerja lagi!” seruku kala mengempaskan bokong ke atas kursi kerja.
Layar komputer di depan mata mulai kuutak-atik lagi. Berkas-berkas di meja mulai kuperiksa. Setelah disuruh keluar kantor tadi, lumayan otak mendapat kesegaran sedikit. Baiklah, jangan sia-siakan waktumu! Ayo bekerja!
Pagi ....
Siang ....
Sore .....
Pekerjaan yang kukerjakan seakan sulit selesai bahkan ketika jam pulang hampir tiba.
“Hmm ....” Pegal, aku menggeliatkan tubuh untuk pergegangan otot.
Lelah, memang jika dipikir. Bekerja bagai robot begini sebenarnya untuk apa? Masa depan pun tak punya—calon istri.
Terpikir lagi kata ibu di kampung waktu teleponan tempo hari.
“Gam, kapan mau bawa perempuan ke mari? Ibu udah kepengen punya mantu perempuan,” katanya.
Kakakku dulu sudah menikah, tapi perempuan. Tak heran jika ibu menginginkan menantu lagi, tapi bukan dari kakakku, melainkan dariku, anak satu-satunya laki-laki di keluarga. Lagi pula, usiaku sebenarnya memang sudah pas kalau menikah menuru ibu.
Waktu itu aku diam membisu sesaat, tenggelam dalam pertanyaan ibu yang sulit untuk kujawab serius. Akhirnya aku malah bercanda dengan berkata,
“Mau yang gimana? Nanti Agam bawakan dari kota.” Begitulah celetukkan yang kuucap. Di corong telepon aku tertawa, miris. Padahal, aslinya berkebalikkan dari yang sesungguhnya.
Ah, sudahlah. Ngomongin jodoh emang nggak ada akhirnya. Bukan tak mau menikah atau mencari pasangan, tapi saat ini aku masih nyaman sendiri. Single itu menyenangkan. Nggak ada yang ngatur, nggak usah keluarin modal buat jajan make up dan kebutuhan lainnya. Jomlo aja udah bahagia, sih. Nggak masalah.
“Oke, mari kita selesaikan pekerjaan ini.” Kuraih sisa berkas di meja. Dengan teliti kembali kuperiksa, takut ada kesalahan data. “Harusnya dua belas menit selesai. Yah, semoga saja.” Kembali aku bergumam.
Di saat pekerjaan masih dikerjakan, ponselku berdering. Oh, pesan chat masuk.
Kulirik ternyata dari Vivi. Mendadak aku ingat janjiku untuk pergi ke pertemuan perdana dengan Clara.
“Ck. Malas buka. Palingan si Vivi cerewet ingetin supaya aku cepat pulang dan siap-siap untuk ngedate.”
Akhirnya pesan itu tak kubuka. Bahkan, kusilent agar aku bisa menyelesaikan pekerjaan di jam terakhirku hari ini.