“Dandan?! Kamu pikir abang ini perempuan, apa?!” Jelas aku ketus dan protes soal ini. Dandan katanya? Yang benar saja, ck, ck.
Aku masih duduk di atas ranjang, memerhatikan Vivi yang kini tengah mengobrak-abrik lemari pakaianku.
Vivi menoleh, “Dih, kok, masih di situ, sih?! Sana cepetan ke kamar mandi! Gosok gigi! Mulut abang bau kambing!”
“Buset, itu mulut lancar bener bilang kambing!” Aku lebih ingin marah lagi, tetapi sepertinya masih bisa kutahan, sih.
“Buruaan, nanti telat, Bang!” Gadis itu mulai keterlaluan ngaturnya. Ia meninggalkan lemari sejenak hanya untuk menarik tanganku, memaksa agar aku segera masuk ke kamar mandi untuk gosok gigi. Yah, benar-benar payah! Nyebelin!
Walau begitu, akhirnya aku mengalah. Ingat, janji harus ditepati. Ah, jadi teringat pesan bapak, kan, di kampung. Katanya sebagai laki-laki aku harus menjaga martabat diri dengan cara menepati janji yang sebelumnya aku buat.
Kali ini kuturuti semua permintaan Vivi demi martabatku. Yah, sedikit pengorbanan waktu tak apa, lah. Yang penting dia senang dan aku tak dosa sebab ingkar.
“Yang bersih, ya, sampai baunya hilang!” titahnya.
Yah, cuma tetap saja aku merasa sebal akan perintah-perintahnya. Dikata aku ini kacung putri raja, apa?
“Bawel!” gerutuku. Walau pun kesalnya tiada bandingan, aku tetap melakukannya—menggosok gigi.
Sambil bercermin, kugosok setiap bagian gigi serta gusi dengan baik dan benar. Lumayan menyegarkan juga, sih.
“Bang, udah belum?” Lagi-lagi terdengar suara Vivi. Sumpah, mengganggu banget.
Tanpa kujawab, lekas diriku keluar dari kamar mandi. Mata kami beradu tatap. Vivi melebarkan senyumnya hingga deretan gigi yang lumayan putih bersih itu terlihat. Di tangannya sudah ada dua kemeja berlengan panjang yang masih setia digantung.
Dahi ini mengerut heran. “Apa senyum-senyum? Buat apa itu?” tanyaku kemudian.
“Ya, buat Abang pake, lah. Ini, pilih salah satu.” Vivi segera menghampiri Ia mengendus bauku, lalu mengangguk. “Nah, sekarang mulutnya udah nggak bau kambing. Udah wangi. Sekarang pakai baju dari salah satu ini.” Lagi-lagi dia mengejek sembarangan. Bau kambing katanya? Asem bener ini anak.
Tak kusahuti ejekkannya dan fokus pada dua kemeja yang disarankan Vivi. Satu berwarna biru tua, satu lagi merah maroon—kemeja yang pernah kupakai saat acara perpisahan Vivi. Dan, sebenarnya itu kemeja favoritku. Sungguh.
“Keluar dulu, biar abang bisa ganti baju.” Akhirnya kemeja merah maroon itu yang kupilih.
Kudorong Vivi keluar dari kamar, kemeja merah maroon sudah di tangan, lalu kemeja biru masih dipegang oleh Vivi.
“Oke, oke, santai dong, Bang.” Vivi menaruh kemeja biru itu di hanger belakang pintu, kemudian segera keluar sesuai dengan perintahku.
Gegas pintu ditutupnya. Kakiku melangkah ke arah jendela dan segera menutup tirai. Malu jika sampai ada yang melihat. Entahlah, terkadang memang suka begitu.
Kubuka kaus dan segera memakai kemeja. Karena aku tak terlalu suka dengan lengan yang panjang, akhirnya kulipat seperempat.
Yah, jujur saja, aku tak suka kemeja berlengan panjang, tapi aku juga tak suka dengan kemeja berlengan pendek. Kelihatannya seperti anak ABG saja.
“Abaaang, jangan lupa pakai parfum biar wangi. Pilih yang baunya enak, ya.” Dasar, masih saja sempat-sempatnya bocah itu mengingatkan.
Tak kusahuti, malah bibir menyungging tipis sebab merasa lucu saja saat mendengarnya.
Kuraih pelembab di laci—pelembab khusus untuk laki-laki—dan kuoleskan krimnya di telapak tangan. Kemudian, setelahnya kupakai di wajah secara merata. Untuk ukuran ngedate alias ketemuan sama cewek, perlu mempertampan diri, lah, biar nggak malu-maluin.
Selesai dengan itu, segera kuambil gel rambut dan segera menatanya hingga rapi. Kusisir perlahan, samping kiri kanan, belakang, atas, dan semuanya selesai. Muka ini sudah lumayan kelihatan gantengnya, he heh.
Duh, jadi narsis sendiri, sih.
Kuraih parfum terbaik yang kupunya. Memang bukan parfum mahal, tapi lumayan wangi—menurutku.
Sekarang, untuk sentuhan akhir kupakai jam tangan dan sepatu. Ceritanya mau jadi laki-laki tertampan malam ini. Cieileeh!
“Abang lama, ih! Buru ....”
Mendadak Vivi membuka pintu. Aku menoleh dan dia menghentikan bibirnya yang baru saja akan mengoceh. Kami saling pandang.
“Iya, ini udah selesai. Bawel, ah!”
Kuhampiri dirinya. Entah kesambet apa, tapi Vivi diam mematung memandangku.
“Apa? Terpesona, ya?” candaku diiringi tawa kecil.
Yang tadinya bengong, dia langsung membuang muka ke sembarang. Tumben, ia tak bereaksi berlebihan seperti biasanya. Bahkan, saat kucandai ia tak menyanggah dan hanya mematung tanpa mau melirik sedikit pun.
“Kok, bengong? Katanya suruh cepat-cepat. Bagian udah selesai, malah diem. Kamu serius mau pergi nonton baju begitu?” tanyaku kemudian sambil menunjuk kaus hitam yang kini ia kenakan.
Vivi langsung melihat diri sendiri. Sepertinya ia melihat pakaian yang kini dikenakan. Terlihat tangannya meremas ujung kaus.
“E-eh, iya! Tunggu di depan, ya, Bang. Vivi mau ganti dulu baju!” katanya sembari berlari.
Kugelengkan kepala, ada-ada saja kelakuan bocah itu. Suruh cepat-cepat, ujungnya dia sendiri yang lelet. Dasar.
Segera kuraih kunci motor yang tergeletak di meja, lalu keluar dari kamar kost. Pintu segera kututup rapat dan kupastikan sudah menguncinya dengan baik.
“Oke, baiklah. Ayo kita pergi,” ujarku pada diri sendiri.
Ini adalah kali pertamanya aku kembali berpenampilan rapih dan wangi layaknya pemuda yang mau ngapel ke rumah pacar. Sudah lama sekali aku tak senecis ini sejak dibuat patah hati oleh Gina.
“Tuh, kan. Dia lagi, dia lagi.” Kuusap kepalaku agar segera tersadar. “Jangan mikirin dia lagi, kan sudah selesai.”
“Heh, Gam! Elu ngapain ngomong sendiri kayak orang gila?” Mendadak suara Nyak Marni terdengar, sontak membuatku terperanjat akibat kaget.
“Buset, Nyak! Ngagetin aja kerjaannya! Kalau mati jantungan gimana?!” Tentu saja aku protes, bukan main kagetnya.
Tadi itu aku sedang jalan dan baru sampai ke teras depan. Gara-gara mikirin Gina, sampai tak sadar kalau ada Nyak Marni di depan. Hmm.
“Lah, gue kagak niat ngagetin. Elu aja yang kagak konsen. Masa badan semok gue sampe nggak keliatan di biji mata elu!” sahutnya.
Buset itu mulut pedesnya nggak ketulungan. Kalau bukan pemilik kosan yang selalu membantuku, sudah kukarungin, dah, tuh, badan yang dikata semok.
Yah, andai saja bibir mampu mengucapkannya, pasti rasanya lega. Ah, tapi dosa. Terlebih lagi nanti kepalaku digetok dia palingan.
“Elu tumben wangi begitu, mau ke mana?” Mendadak suaranya diperhalus. Perubahannya cepat sekali.
Entah aku harus jawab apa, malu. Masa harus jawab mau ketemuan sama cewek. Duh.
Kugaruk kepala yang rambutnya sudah kelimis dengan tangan kanan, lalu duduk di kursi teras samping Nyak Marni. Tatapannya masih saja fokus memandang ke arahku.
“Kok, diem? Gue nanya!” Duh, Nyak Marni ini sungguh tak sabaran. Masa sampai tak memberiku kesempatan untuk mikir, sih?!
“Iya, Nyak. Agam mau jalan-jalan keluar sama Vivi dan teman-temannya. Ini diajak si Vivi dari kemarin,” ucapku kemudian. Akhirnya aku bisa juga mengatakannya dengan tenang.
Nyak Marni mengangguk. “Oh ... jalan ke mana? Kok, si Vivi nggak bilang gue?!” lanjutnya bertanya. Kesannya seperti sedang mengintrogasi saja.
“Mana aku tahu Nyak. Aku ikut aja dia maunya pergi ke mana. Soal enggak bilang, mungkin belum aja,” jawabku singkat.
“Mungkin, ya. Masa, sih, dia kurang ajar banget sampai nggak izin dulu.”
Aku hanya mengangguk ambigu. Malas berkomentar lagi.
“Dan, ke mana pun dia pergi. Tolong jagain, ya. Cuma elu yang bisa gue percaya buat jagain si Vivi. Gini-gini gue sayang banget sama ntu bocah. Elu yang udah lama tinggal di sini walau bayar, tetep aja udah gue anggap anak gue sendiri. Harapan gue cuma Vivi dan masa depannya yang bahagia. Gue pesen satu hal, jangan sampai elu khianatin keercayaan gue dengan macarin si Vivi.”
Hatiku mendadak serasa terhenyak mendengar pesannya yang tak biasa itu. Kulihat tatapannya juga begitu serius. Pertanda apa ini? Lagian, apa-apaan pesannya itu?! Macarin?! Yang bener aja! Lucu, jadi pengen ketawa.
“Ya, ampun, Nyak. Jangan ngada-gada, deh, ah. Mana mungkin aku lakuin itu. Nih, ya, aku tahu si Vivi sejak zaman SD. Udah tahu kelakuannya gimana. Jadi mana mungkin aku begitu. Lagian, Enyak dan Vivi udah kuanggap saudara kandung sendiri.” Langsung saja kutampik semua ketakutan yang ia rasa.
Yah, aku tahu bagaimana perasaannya sebagai seorang ibu. Khawatir tentang anak gadisnya yang sedang dalam masa-masa puber begitu. Dia pasti takut aku jadi macan dadakan yang siap memangsa anaknya. Walau begitu, keterlaluan juga sampai mikir begitu terhadapku.
“Makasih, Gam. Semoga kata-kata lu bisa dipegang sampe mati.”
Buset, dah, sampai bawa-bawa mati segala.
Tak kusahuti lagi, merinding kalau dilanjutkan.
Bagiku, Vivi hanyalah adik, tak lebih. Ketakutan yang ibunya rasa takkan pernah terjadi. Itu janjiku.