Kebetulan malam ini sedikit mendung, tapi tak hujan. Kota ini semakin gerah saja rasanya.
Akhirnya, setelah banyak drama ini dan itu, sampai si Vivi salah paham dan ngambek, aku pun mau juga pergi menemui Clara.
Pesan Nyak Marni yang sebelumnya menitipkan dia tak hentinya berputar dalam rekaman otak.
Janjiku takkan diingkari. Akan kujaga adikku ini sampai Yang Maha Kuasa memisahkan.
“Bang, nonton film apa yang bagus, ya?” Vivi bertanya. Belum juga sampai ke gedung bioskop, dia sudah menanyakan hal itu padaku.
Kuiintip sosoknya di kaca spion. “Lah, kamu dan kawan-kawan yang ngajak. Ya, terserah kalian saja.”
Seperti biasa, semua kuserahkan pada yang punya vocal. Wong niatnya cuma menepati janji untuk bertemu si Clara itu. Ya, soal acara apa, mau ke mana, aku tak mau campur tangan. Cukup ikuti saja sesuai arahan.
Yah, anggap saja sebagai ganti tak beri hadiah ulang tahun. Kan, begitu perjanjian sebelumnya.
“Nonton film romantis kayaknya seru, ya, Bang.” Vivi nyeletuk minta pendapatku.
“Romantis?” Maigat! Geli-geli gimana, gitu, dengarnya.
Yang bener aja nonton begituan. Bukan seleraku banget! Maunya ngomong begitu, tapi malas, ah. Ujung-ujungnya nanti pasti debat.
“Abang sukanya horor.” Keceplosan, bibirku langsung berkata seolah menolak film yang Vivi rekomendasikan padaku beberapa detik lalu.
“Wah! Benar juga, ya! Nonton horor aja biar seru!” Vivi berseru semangat.
Hah?! Tumben dia mau dengar usulku?
“Ada angin ribut apaan, nih, mendadak kamu menerima pendapat abang? Biasanya juga suka menolak, membantah, dan tak menganggap.”
“Ish, enggak gitu tiap waktu, kok. Ini aku ada rencana bagus buat kalian. Kak Clara, kan, takut banget nonton horor. Kalau kita ambil tiket itu, wuahhh sudah pasti kalian bakal jadi akrab banget,” ujarnya sembari senyam-senyum tak jelas. Matanya memutar ke atas, pasti sedang memikirkan hal yang tidak-tidak soal aku dan Clara.
Hmh?! Rencana?! Oh, otakku berakar ke mana-mana. Ini sekadar tebakkanku saja atau ... jadi ingat adegan di film-film itu, loh. Sering banget cewek sama cowok nonton ke bioskop, terus yang diambil genre horor. Pas adegan setannya keluar, si cewek langsung meluk, dong. Dan, mereka malu-malu sampai akhirnya ... terjadilah hal yang sangat tidak mencerminkan moral. Ck, ck, otakku! Hentikan!
“Jangan bikin rencana2 macam begitu, geli banget! Ingat, ya, abang di sini posisinya cuma mau bertemu sama Clara itu. Nggak lebih.” Sebisa mungkin kutepis pikiran kotor tadi dan berharap bukan itu yang Vivi pikirkan.
Bukan main air mukanya Vivi. Desisan kencang dari bibir bergincunya seolah ingin memaki. Sesekali kami bertabrak pandang di kaca spion.
“Apaan?!” Terpaksa sedikit sewot macam emak-emak lagi angkat jemuran biar Vivi puas.
“Katanya terserah Vivi, ngapa sekarang ngatur-ngatur?!”
Gustiii! Ini anak semakin gede semakin ngeselin, deh. “Ya, udahlah, sakarepmu. Tapi ingat, ya. Apa pun yang kamu pikirkan sekarang, itu takkan terjadi.”
Tak ada lagi percakapan berarti. Kami melanjutkan perjalanan dengan tenang di jalanan kota yang ramainya tak terkira. Lampu-lampu penerangan yang rata-rata berwarna kekuningan ini membuat suasana hatiku syahdu tanpa alasan. Motorku melaju santai bawah gumulan awan yang kian di lihat kian menghitam menghalang sinar rembulan.
Ah, dapat kurasakan angin yang sebentar lagi akan membawa hujan. Semoga saja pas waktu itu terjadi, aku sedang tak lagi di luar.
Indahnya kota metro politan tak melulu membuatku betah sebenarnya. Namun, aku yang sudah tinggal di sini kurang lebih satu dekade pun sudah terbiasa bak pribumi saja. Padahal, ya, aslinya wong ndeso.
“Alhamdulillah, sampai juga kita, Bang.”
Kami berhenti tepat di parkiran gedung super mall, tempat kami sudah janjian dengan teman Vivi dan kakaknya yang bernama Clara itu.
Vivi yang baru saja turun gegas membuka helm, berkaca di spion motor dan merapikan rambutnya. Ribetnya jalan sama perempuan. Apa-apa ngaca, apa-apa poles bedak. Huh, dasar.
“Apa lihat-lihat? Kayak baru pertama kali lihat bidadari aja.” Vivi berkata demikian saat memergokiku diam-diam mengintip di celah kaca spion.
“Idih, PD bener! Bidadari dari hongkong?!” ejekku tak pikir panjang. “Ayo, ah, buruan. Lebih cepat lebih baik, jadi lebih cepat pula kita pulang!” lanjutku sembari menarik lengan Vivi. Tak peduli walau dia belum selesai merapikan diri.
“Duh, bentar! Sabar, napa, sih, Bang! Main tarik-tarik aja, ah!” Vivi protes. “Salah jalan, bukan ke situ!” serunya lagi kala aku salah menarik dia.
Kulepas tarikan tanganku, lalu membiarkan dia yang menuntun arah. Terserah sajalah. Ekor, mah, tergantung kepala.
Kami tiba di lobi utama super mall. Tepatnya di area fastfood. Janjian awal memang ketemu di sana. Saat masuk, mataku langsung mengedar cepat, mencari-cari sosok bernama Clara itu.
Cuma, ya, karena aku tak memiliki indera keenam, praktikku gagal total. Tak kutemukan juga sosoknya. Ha ha.
“Hay! Vivi! Di sini!” Seruan seseorang terdengar memanggil Vivi.
Saat itu spontan gadis remaja di depanku menghentikan langkah, membuat aku menabraknya karena telat ngerem kaki.
“Ck! Hati-hati, napa, Bang!” Masih saja bisa protes padaku, dasar bocah nakal!
“Kamu yang jalannya main berenti begitu aja, nyalahin abang mulu!” Tak kalah ngotot aku membela diri. Ya, iyalah! Wong yang salah si Vivi, main stop-stop aja jalannya.
Ia mendengkus kesal. Keributan kecil ini terhenti. Vivi memilih untuk kembali fokus mengedar pandang. Dan ....
“Hay, Nid! Kak Clara!” Vivi menyapa sembari melambaikan tangan.
Gegas pandanganku mengikuti ke mana Vivi melihat. Tepat di pojokkan sana terlihat dua orang perempuan tengah melihat dengan wajah ceria ke arah kami. Dari kejauhan terlihat satu berambut pendek, memakai t-shirt putih, satu lagi berambut ekor kuda, pakai cardigan biru susu. Apakah itu teman Vivi dan perempuan bernama Clara? Aku bertanya-tanya.
“Bang, ayo! Itu mereka!” Vivi menyambar lenganku, bahkan tanpa persetuan yang punya. Menyebalkan.
Akhirnya kuikuti arus. Gegas tubuh ini terbawa gontai oleh tarikkan Vivi yang lumayan kuat kurasa.
Pandanganku semakin jelas. Yah, semakin dekat dan semakin tak asing wanita berkaus putih itu di mataku. Siapakah dia?
“Duh, maaf, ya, telat. Udah lama nunggu, ya, Nid?” Vivi langsung duduk saja di antara kursi kosong, tepat di sebelah perempuan berambut ekor kuda.
Aku masih berdiri tegap, memandang tanpa sadar kepada si wanita berambut pendek. Dia ...? Kucermati dengan seksama, tetap saja rasanya tak asing di mata. Mirip dengan wanita yang salah kukenali hari kemarin, benar! Kloningan Gina!
Astagaaah! Takdir macam apa ini? Mengerikan! Kini aku percaya kalau dunia sangatlah sempit.
“Kamu?!” tunjukku tepat ke wajahnya.
Ah, urat maluku sampai hampir putus. Tak tahu sopan santun main tunjuk-tunjuk muka orang sembarangan. Gegas kuturunkan jemariku.
“Loh, kita pernah ketemu, kan?” Akhirnya, wanita itu bicara juga. Nyatanya bukan hanya aku saja yang merasa tak asing di sini, tapi dia juga.
“Sepertinya iya.” Aku menggaruk kepala yang tak gatal, dan mesem-mesem.
Posisiku masih berdiri. Kami masih saling beradu tatap dibarengi sunggingan senyum yang cukup merekah.
“Wah, nggak sangka, ya,” katanya lagi.
Yah, senyumku semakin dibuat mengembang saja. Ya, ampun malu sekali saat dia juga tersenyum begitu kepadaku. Ada apa denganku? Hdeeh.
“Hah? Kalian udah pernah ketemu?!” Secara bersamaan Vivi dan si perempuan berambut ekor kuda itu berseru tanya tak percaya.
Vivi gegas menarik lenganku, membuat bokong terhempas di kursi, tepat di sebelah wanita kloningan Gina—mantan pacarku.