Ngedate Pertama

Tak pernah disangka, Clara ini sungguh menyenangkan orangnya. Setelah berkenalan secara resmi, ternyata tak seburuk bayanganku kemarin.

Buatku dia baik, ceria, dan ... sedikit cantik. Ah, agak lebih banyak, sih, sedikit. Semacam susu krimer. Ada manis-manisnya gitu—minuman mineral, kali, ah. Yah, pokoknya dia manis, apalagi kalau lagi memperlihatkan rekahan senyum diiringi smiling eyes.

Ada kempot satu di pipi kirinya, lucu. Dan, yang paling membuatku senang memerhatikannya, ya, itu, bulu matanya yang sedikit lentik bergerak naik turun saat memesan minuman. Membuatku diam-diam mematri senyum tipis. Saaangat tipis.

Jujur saja, kesan pertamaku terhadapnya sangat bagus. Clara asik orangnya dan lumayan nyambung kalo ngobrol.

Takdir, kah? Maksudnya, apa dia reinkarnasi dari Gina? Ah, tak mungkin. Soalnya Gina masih hidup di dunia. Ada-ada saja otak sialan ini.

Kami cukup bersenang-senang. Kukira bakal bosan, nyatanya tidak.

“Bang, kalau lagi bawa motor jangan ngelamun!” Sepertinya ada yang protes di belakangku.

Kulirik Vivi di kaca spion, “Nggak!” Agak ketus kujawab.

Sebal saja, orang lagi enak-enak mikirin Clara. Ck.

Oh, ya. Kami sedang ada di perjalanan pulang ke rumah. Setelah menghabiskan waktu menonton film sekali dan keliling mall sebentar, kami memutuskan pulang. Ingat, Vivi dikasih batasan waktu malam, dan aku sebagai kakaknya takkan biarkan batasan itu terlewati.

Sekitar jam sembilan lebih kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing. Tapi diam-diam aku janjian esoknya dengan Clara sehabis jam kerja lewat chatting sebelum benar-benar berpisah tadi—aku sempat berbalas pesan di aplikasi hijau seusai menonton film.

Entah perasaan senang macam apa ini? Tapi hatiku dibawa melayang, lagi dan lagi terpikirkan kempot di pipinya yang sangat imut itu.

Eh, tunggu! Imut? Yang benar saja!

Ada yang aneh dengan Vivi. Selama aku bersama Clara tadi, dapat kulihat pancaran wajahnya agak suram. Dia bad mood, kah? Tapi karena apa? Rasanya semua berjalan lancar sesuai kemauan dia.

Ya, memang awalnya aku tak mengaharapkan akan sesenang ini, kukira hatiku masih menjadi es seperti kemarin-kemarin. Tapi setelah ketemu dengan Clara, hatiku menghangat. Apakah kini artinya aku benar-benar telah terpulihkan dari yang namanya sakit hati? Maksudnya, apakah Clara yang akan menyembuhkan lukaku sampai benar-benar pulih seutuhnya?

Sudahlah, nanti saja kulanjutkan lamunannya di kosan, takut celaka.

Ini sudah hampir jam sepuluh malam, dan Nyak Marni masih saja duduk di luar saat aku dan Vivi sampai. Sepertinya ia menunggu kami pulang.

Vivi turun dari motor sebelum mesinnya mati.

“Capek!” keluhnya tanpa ekspresi. Tak lama ia menyerahkan helm yang dipakai kepadaku.

Tak ada basa-basi, tak ada kata terima kasih. Dia nyelonong saja naik teras seraya mengucap salam, lalu menyalami Nyak Marni yang sedang mengipasi diri. Yah, tahu sendiri, lah. Kota metro memang terkenal dengan kualitas udaranya yang ... jauh sekali dengan kualitas desa. Desaku tempat tinggal misalnya. Masih asli dan asri. Tuh, kan jadi ingat Gina lagi, eh maksudku Clara.

Kok, jadi ke dia, sih? Ya, karena mendadak ingat kampung halaman, otomatis yang terlintas membayang, ya, wajah Gina.

Alasan!

Kukunci motor setelah mesin mati dan kustandarkan.

“Kalian pulang tepat waktu ternyata.” Celoteh Nyak Marni terlihat lelah. Tumben sekali.

“Iyalah, anak baik harus pulang tepat waktu, gitu, kan?”

Nyak Marni mengacung jempol, lalu berdiri. Sekilas ia menggeliat sembari menguap. Ah, sekarang aku tahu kenapa Nyak Marni terlihat lelah, sepertinya sudah ngantuk berat.

“Istirahat, Nyak. Udah malem,” saranku.

“Iya. Elu juga sono. Besok, kan kerja.” Nyak Marni menyahut dengan malas. Benar dugaanku, dia ngantuk berat dan aku salut, dengan keadaannya yang begitu, masih saja ia menunggu anaknya pulang. The best.

“Oke, Nyak, siap!” Gila, perasaanku masih saja menggelora senang. Hmmh.

“Vi, elu nggak mau masuk? Mau dikonci di luar?” Nyak Marni menegur Vivi agak ketus. Dasar, baru saja kupuji, sifat galaknya keluar lagi.

Vivi mendesis, “Iya, mau masuk sekarang.”

Mereka pun lenyap dalam pandangan. Pintu tertutup rapat, terdengar jetrekkan kunci dari dalam. Nyak Marni sangat hati-hati sekali. Bagus, biar maling nggak bisa masuk. Pfft.

Ya, ampun. Sekilas kulihat bayangan diri di pantulan kaca jendela. Rasanya aku seperti romeo saja, mendadak merasa keren. Uh, bisa gila aku. Mengapa otak ini begitu kurang kerjaan, sih?

Semua gara-gara mikirin Clara.

Sudah, Gam. Kamu ini kayak orang gila saja!

***

Ini sudah hampir tengah malam, tapi aku belum juga memejam mata. Masih kupandangi layar ponsel berisi pesan-pesan dari Clara.

Yah, sehabis sampai ke kamar tadi aku malah keasyikan berbalas pesan dengannya.

Jadi ingat tadi pas di bioskop. Si Vivi benar-benar membeli tiket horor. Memang asem, dah, tuh, bocah.

Dan kukira semua akan seperti dalam filem, di mana Clara akan berteriak histeris seraya menenggelamkan wajah ke dadaku saat sosok hantunya muncul secara mendadak di layar besar itu. Tapi nyatanya tidak.

Dia malah fokus menonton, dan jarang sekali mengedip saat kuperhatikan. Mungkin dia juga tak sadar waktu aku mencuri lirikkan mata padanya.

Lucu, dia bisa menikmati popcorn tanpa merasa mual atau jijik, padahal yang dilihatnya di layar kebanyakan adegan yang memperlihatkan pembunuhan, banyak adegan berdarah-darah, apalagi di bagian akhir. Uh, aku, sih mual.

[Sudah malam, kamu nggak tidur?]

Karena bahasan mulai muter-muter dan membosankan. Akhirnya kulayangkan pertanyaan sederhana itu.

[Nggak baik begadang untuk perempuan. Nanti muncul mata panda]

Satu lagi kukirimkan pesan.

Gugup. Kok, pesannya belum dibalas? Apakah Clara tak suka dengan pesanku yang satu ini? Terlalu sok tahu, ya? Duh, jadi serba salah.

[Iya. Ini mau tidur dulu. Kamu juga jangan begadang. Bukannya besok kerja]

Aaakh! Ingin sekali berteriak. Hampir saja kulempar ponselku saat mendapat balasan pesannya. Diam-diam aku tertawa macam orang stres.

Andai Fadlan ada di sini, sudah pasti dia akan mengataiku lebay. Jadi malu, dulu pernah bilang dia lebay waktu mau dekati Vivi. Hmh, hukum karma, ya.

[Oke, good night]

Kubalas lagi, tak lupa kutambah emoticon senyum di akhir kata. Lalu dia balas kirim stiker bergambar wanita tidur pakai piyama. Lucunya.

Acara berbalas pesan pun telah berakhir. Kuhela nafas cukup panjang seraya menatap langit-langit kamar.

Semendebarkan inikah? Jangan bilang aku benar-benar kepincut Clara? Tapi, apa harus secepat ini?!

Duh, jadi malu. Padahal sempat mengucap sumpah akan menjomlo dulu untuk saat ini. Tapi, ya ... mendadak hatiku berdentum-dentum tak karuan.

Kupejam mata, tapi senyum ini masih saja terpatri. Dasar payah.

Setelah mengkhayalkan sosok kloningan Gina itu, akhirnya aku tenggelam dalam pulau bantal tanpa sadar. Tahunya sudah terdengar kokokkan ayam jantan milik tetangga sebelah.

Seperti hari-hari biasa. Aku bangun dan menjalankan aktivitas yang sudah teratur sesuai jadwalnya.

Dan hari ini pun aku bertemu kembali dengan Clara sesuai janji, tepat setelah jam kerja usai. Tak seperti malam kemarin, hari ini benar-benar jalan tanpa ada yang ganggu.

“Hiih, lucu!” serunya sambil berlari ke sisi jalan trotoar—ke lapak PKL yang menjajakan barang dagangan berupa boneka.

Saat itu, kami memang sedang berada di area pasar. Katanya, adik Clara mau makan kerang dan kepiting, jadi sekalian belanja dulu.

Clara ini termasuk manusia hemat. Dia memilih membeli bahan makanan di pasar saja ketimbang supermarket yang perbandingan harganya memang agak mahal.

Calon istri idaman ini mah udah.

“Kalau mau, ambil aja. Biar aku yang bayar,” kataku sok-sokkan mau bayarin.

Gengsi, dong, jalan sama cewek masa cuma dijajanin bakmi sama es teh aja—tadi sebelum terjun ke pasar.

Clara menatapku dengan pancaran aneh, lebih ke senang, mungkin. Terlihat dari bibir bergincu nude-nya yang mengulas senyum.

“Mau bayarin? Beneran?” tanyanya seolah meragukanku.

“Iya beneran.” Kuraih dompet di saku, dan ternyata ....

“Loh?! Dompetku di mana?!” Sial! Kayaknya aku kecopetan.

Senyum yang sempat Clara perlihatkan langsung pudar dan tergantikan raut cemas.

“Loh?! Hilang?!” Clara juga jadi ikut panik.

Sudah kugerayangi seluruh tubuhku, nyatanya tak ketemu. “Sepertinya iya, kecopetan.”

Mendadak aku lemas bukan main. Tidaaak! Itu uangku yang terakhir sebelum gajian, huhu ....