Bab 18 - Perjamuan

"Kenzi, dirimu terlihat menawan sekali malam ini!"

Sambutan Callista memuji Kenzi yang baru saja berjalan menuju perkumpulan rekan-rekan kerja. Pria dengan tuxedo rapih telah berada tepat di depan wanita itu. Tak menggubris sambutan sang wanita, dia malah mendekat pada rekan kerja dan bersalaman. Hal tersebut disaksikan si wanita dan membuatnya berdecak.

"Tuan Kenzi, aku tak menyangka dirimu akan menikah secepat ini. Bahkan mengira dirimu tak akan menikah, hahaha!" Para rekan kerja meledek Kenzi yang hanya tampak diam tak berekspresi, fokus matanya hanya mengitari ruangan seperti sedang mencari keberadaan seseorang.

"Ngomong-ngomong istrimu mana? Secantik apakah dia sehingga dapat memikat hati raja iblis kita ini, hahaha!" Ungkapan para rekan kerja mendapat tatapan sinis dari Kenzi membuat mereka tertawa selebar-lebarnya lalu berucap, "Bercanda lho!"

Lantas candaan itu berhenti saat Callista menyelip kerumunan, meminta izin pada mereka untuk dibawa sebentar. Sebab tahu bagaimana hubungan antara keduanya, mereka semua hanya mengangguk-angguk dan saat itu juga Kenzi dibawa menepi.

"Aku mau ngomong serius sama kamu," ujar Callista saat menepi. Sedangkan Kenzi, dia hanya diam namun sebelah alis mata dinaikkannya.

Sambil menghembuskan napas, Callista memejamkan mata kemudian perlahan bersuara, "Kenzi, s–sebenarnya aku itu—" 

Belum sempat selesai bersuara sudah lebih dulu terpotong oleh ucapan wanita lain. "Wah, Tuan Kenzi yang terhormat!"

"Ada apa?" jawab Kenzi dengan tangan masuk saku celana. 

Lantaran  dua wanita berjalan mendekati tentu hal itu menjadikan wajah Callista berubah semakin menekuk. 

"Istrimu disini, mengapa kau bersama wanita lain di sana?"

Stefanie bersuara dan mendekatkan Widya agar berada di sebelah Kenzi. Lantas pria itu langsung mengalungkan tangan di pinggang sang istri dan mendekati mulutnya pada telinga Widya.

"Aku menunggumu dari tadi, mengapa lama sekali?" tanya Kenzi. Dari nada terdengar sangat sensual dan dapat Widya rasakan hembusan napas di telinganya membuat ia sedikit kegelian.

"Aku tak melihatnya! Lebih baik diriku pergi mencari makanan," ungkap Stefanie menahan senyum dan mulai melangkahkan kakinya tanpa menunggu kelanjutan dari ucapan yang dia lontarkan.

Selepas kepergian Stefanie, mata Kenzi menunduk bermaksud untuk menatap istrinya kecilnya yang hanya memiliki tinggi sedada. Kemudian menarik pinggang Widya untuk berjalan ke arah kumpulan tamu. Namun, suara seseorang menahan. "Kenzi!"

Kepala pria itu menyamping tanpa bersuara. Callista yang ditatap dingin memajukan diri sekaligus menarik tangan Kenzi untuk ikut pergi dengannya. 

"Jangan menarik tanganku terus-menerus!" ketus Kenzi sambil menghempas tarikan Callista.

"Kumohon, bicaralah sebentar!" Kembali Callista mencoba, kali ini dengan tatapan penuh harapan.

Melihatnya tentu saja membuat Kenzi menghela napas. Dirinya sebentar memandang antara kedua wanita yang berada bersebelahan. Hingga pada akhirnya membuat keputusan untuk berbicara sebentar.

"Sayang, aku sebentar ngobrol dengan Callista. Tidak apa-apa kan?" pamit Kenzi sengaja menekankan kata pertama. Berbeda dengan reaksi Widya, dia tersentak saat mendengar kata itu. Asing dan terasa aneh rasanya, namun saat ditatap dengan pandangan tajam milik Kenzi buru-buru Widya menganggukkan kepala.

"Kamu memang terbaik," puji Kenzi dengan tangan memegang kepala sang istri.

Namun, Callista yang melihatnya malah menatap sinis. Seakan pemandangan menjijikkan, dia seolah ingin muntah. Mendadak berubah saat Kenzi menatapnya serius, saat itu juga Callista segera menarik tangan pria tersebut untuk berjauhan dari Widya.

Sesampainya di sudut ruangan dekat sofa, Callista mengajak pria tersebut untuk duduk namun langsung ditolak mentah olehnya. Hal itu menjadikan Callista berdecih sebentar sebelum mengeluarkan suara, "Bulan depan aku mendapatkan penawaran sebagai brand ambassador namun butuh perusahaan yang memiliki brand ternama. Kuingin kita berkolaborasi, bagaimana menurutmu?"

Ternyata Callista sedang berdiskusi pekerjaan membuat tubuh Kenzi sedikit rileks. Lantas pria itu tampak berpikir sebelum menjawab, "Bukankah bisa bicarakan di kantor? Mengapa dirimu membahas pada hari bahagiaku?" 

Jawaban menohok Kenzi dibalas dengan mata Callista yang berputar. Tak terima, frontal wanita itu bertanya dengan nada tidak santai. "Memangnya dirimu hari ini bahagia?"

Ingin rasanya Kenzi tertawa keras, bukan karena lucu melainkan menghina. Satu langkah dia lakukan, tak lama mulai mendekatkan kepala pada telinga Callista membuat wanita itu menyunggingkan senyum. Merasa daya tariknya berhasil masuk pada pesona Kenzi, lantas saja dia menoleh berharap dapat dicium layaknya drama Korea.

Beberapa detik berlalu, tak ada pergerakan yang dia rasakan membuat kening Callista mengerut kebingungan. Tanpa basa-basi, dirinya langsung membuka mata dan betapa terkejutnya saat melihat mata Kenzi menatap seperti tajamnya pisau.

Menyunggingkan senyum miring penuh arti, Kenzi bersuara, "Aku bahagia karena telah menikah dengan wanita penurut." Setelahnya pria itu berjalan menjauh namun baru beberapa langkah kembali berhenti. Dia putarkan badannya agar menatap ke belakang kemudian lanjut bersuara, "Satu hal yang paling penting, dia tak licik!"

••••

Kini Widya berdiri sambil menikmati alunan musik instrumental yang dimainkan oleh sekelompok pemain musik. Dalam lamunannya tiba-tiba sesuatu menepuk pundak membuat ia menoleh. Betapa terkejutnya saat melihat Kenzi berada di hadapannya dengan wajah kusut, memberanikan diri untuk bertanya. "T–tuan kenapa?"

Perlakuan Kenzi secara tiba-tiba menarik tangannya membuat dia kaget. Diarahkan kepalanya mendongak agar dapat tahu ekspresi seorang Kenzi.

"Mulai saat ini jangan panggil aku tuan!" bisik pria itu penuh penekanan. 

Mendadak Widya menjauh dan mengangguk-anggukkan kepala secara beberapa kali terlihat seperti ketakutan. Keheningan pun terjadi selama beberapa menit sebelum Kenzi menggandeng tangannya dan menarik ke arah kumpulan beberapa orang yang Widya pastikan kenalan sang suami.

"Wah, Tuan Kenzi kita membawa istrinya!"

Seseorang nyeletuk tiba-tiba saat tak sengaja melihat sepasang pengantin baru menuju ke arah mereka. Sontak kumpulan itu menoleh ke arah tempat yang ditunjuk. Ditatap ramai-ramai membuat kepala Widya menunduk malu, tak terbiasa pada suasana seperti sekarang.

"Wah, nyonya Gideon sangat muda dan cantik!" teriak salah satu dari mereka.

"Iya, sangat muda. Kira-kira berapa umur nyonya kita ini?" seseorang dengan jas berwarna abu-abu bertanya tepat saat Widya tiba di sebelahnya.

Kaku, mulutnya terasa kaku terlebih lagi bingung bagaimana harus menjawab. Dia pun menatap ke arah Kenzi bermaksud untuk meminta tolong, namun sayangnya Kenzi malah bersikap seolah cuek. Ia pun menghela napas dan memutuskan untuk menjawab. "Sembilan belas."

Mendengar itu, seluruh mata yang mendengar jawaban Widya berubah membulat. Bahkan karena terlalu terkejut, beberapa dari mereka ada yang menutup mulut.

"Sembilan belas?" tanya salah satu dari mereka dan Widya mengangguk.

"Gila! Tuan Kenzi kita tahu aja mana yang daun muda!"

Sontak seluruh yang mendengar tertawa riang. Semakin heboh saat Kenzi memeluk pinggang istrinya kemudian mengarahkan bibirnya sebentar di kening Widya. Mengecup lembut bagaikan kaca yang harus dipegang hati-hati agar tak jatuh. Terlihat seperti suami-istri yang saling menyayangi, namun di balik itu semua tak ada yang tahu bagaimana kejadian asli.