"Kenzi, Mama izin membawa istrimu berbelanja, ya?"
Bella meminta izin lebih dulu pada putranya, dia sendiri ingin mengenal lebih dalam tentang sikap menantunya. Serta ingin mengetahui, pesona yang dimiliki sang menantu yang dapat mengambil hati dingin nan ego milik putranya.
"Aku ikut!" jawabnya tegas dan dipastikan sekarang Bella menghela napas.
"Anakku, ini adalah urusan wanita. Dirimu mana mungkin ikut bergabung." Kembali Bella bersuara. "Iya, 'kan, Sayang?" sambungnya bertanya ke arah sang menantu, spontan Widya mengangguk namun buru-buru menggelengkan kepala saat Kenzi menatap ke arahnya.
"Aku wajib ikut, takutnya akan ada penekanan kepada istriku karena tak menyukainya!" Sengaja Kenzi berbicara seakan menyindir, namun karena Bella memahami sifat putranya ia pun hanya bisa tersenyum.
"Mama janji akan menjaga istrimu dan dipulangkan tanpa ada lecet sedikitpun."
Lantas kepal Kenzi menunduk ke arah Widya, seakan minta pendapat. Istrinya pun mencoba untuk berbicara dengan penuh hati-hati. "Tidak masalah, aku ikut tante saja."
"Lho, kok manggilnya tante? Kamu itu menantu saya berarti udah bagian dari keluarga saya. Manggilnya mama saja seperti Kenzi."
"Iya, M–ma." Bella yang mendengarnya pun tersenyum.
"Kalau begitu, pulangnya jangan lama-lama. Kita pulang sore ini sebab besok aku mau ke kantor." Giliran Kenzi yang berbicara dengan nada datarnya, disambut dengan mata melotot milik sang mama.
"Kok cepat sekali? Ayolah, Nak! Dirimu pemilik perusahaan, bisa sesuka hati untuk izin."
"Tak bisa, Ma. Aku bukan orang yang tak bertanggung jawab."
"Akan tetapi–"
"Sudahlah, aku tak suka keputusanku diganggu-gugat. Lebih baik kalian pergi berbelanja dan sore nanti harus sudah sampai rumah." Lalu ia berlalu pergi meninggalkan dua wanita yang menatap punggungnya dari belakang.
Bella memang benar-benar harus banyak bersabar untuk menghadapi putranya. Bagaimanapun juga, ia yang telah mengubah sifat seorang Kenzi. Kalau mau menyesal? Tentu dia sudah menyesal, sayang saja tidak ada kesempatan untuk merasakan kebahagiaan bersama pada putranya untuk yang kedua kalinya.
Dirinya pun menatap ke arah Widya yang sedang menunduk diam, ia tersenyum tipis berharap dengan kehadiran orang baru akan ada perubahan.
"Bentar, Mama mau ambil tas lebih dulu," pamitnya pada Widya.
"Iya, Ma."
Lantas Bella berjalan menaiki tangga, dengan cepat menuju kamar. Sesampainya, ia pun menyandang tas selempang di bahu. Akan tetapi, matanya tetapi menelusuri setiap bagian yang ada di dalam lemari. Mencari sesuatu yang akan ditunjukkan nantinya pada Widya. Saat mendapati, dengan riang ia mengambilnya lalu segera keluar dari kamar untuk menghampiri Widya yang telah menunggunya lama.
"Yuk, Sayang. Kita berangkat!" serunya dengan menggandeng tangan menantunya.
••••
"Umurku 19 tahun, Ma."
Dua wanita yang tengah berada duduk di sebuah kafe dalam mall tengah berbincang-bincang layaknya mama-anak. Kini, Widya juga sudah lebih lepas setelah beberapa waktu kerap bersama.
"Masih muda ternyata. Boleh dong kasih tahu mama pesona kamu mendapatkan hati dingin Kenzi," goda Bella sengaja lada menantunya.
"E–enggak, Ma. I–itu aku memang tak terlalu kenal lama pada Kenzi dan dia langsung melamarku." Sengaja Widya beralibi, namun tak semua penuh kebohongan? Pada dasarnya memang benar bahwa Widya tak mengenal lama pada suaminya dan Kenzi langsung melamar walau semua itu hanyalah kontrak semata.
"Astaga! Anakku itu memang paling gak suka ribet. Benar-benar seperti papanya!"
"Begitulah, Ma." Kemudian mereka berdua pun tertawa, hingga seorang pelayan membawa pesanan yang telah dipesan tadi.
Saat sedang makan, tiba-tiba Bella teringat akan sesuatu. Tangannya pun lihai mencari suatu benda yang di kamarnya tadi ja cari. Setelah ketemu dirinya pun mengeluarkan dari dalam tas, menunjukkan pada menantunya.
"Coba kamu lihat ini," ujar Bella tiba-tiba seraya menyerahkan sebuah buku kecil bersampul hijau muda.
"Wah, ini foto Kenzi saat masa kecil?" Widya tampak heboh saat menyaksikan rangkaian foto yang tertempel di dalam buku tersebut. Mulai dari masa bayi hingga beranjak dewasa, terlihat sangat menggemaskan.
Hingga masuklah pada halaman yang berisikan seorang anak kecil tengah menggendong seorang bayi. Anak kecil itu familiar dan dapat dipastikan bahwa itu Kenzi sendiri, sedangkan sang bayi? Menjadi pertanyaan yang membuat Widya mengerutkan keningnya.
"Mama tahu pasti kamu lagi bingung."
"Eh–"
"Kamu mau dengar satu kisah tentang seorang?" Pertanyaan yang ibu mertuanya tanyakan diangguki langsung oleh Widya karena penasaran.
Sebelum benar-benar memulai pembicaraan, Bella lebih dulu memejamkan mata seperti sedang melihat dari dalam pikiran tentang kisah masa lalu. Ia pun menghembuskan napas kasar sebelum mulutnya terbuka untuk bercerita.
"Ma, Kenzi pengen punya adik biar ada teman main."
Suara khas anak kecil yang menggelar pada ruang kamar membuat keterdiaman seorang wanita dewasa. Tadinya ia sedang bercanda pada putra kecilnya, namun tiba-tiba saja sebuah perkataan sang anak membuat hati kecilnya sedikit sedih.
"Kenzi bosan sendiri di rumah. Mama sama papa selalu kerja dan Kenzi hanya ditemani oleh Paman dan sungguh tidak enak!"
Sejenak termenung sebelum benar-benar pamitan pada sang putra bahwa dirinya ingin keluar kamar sebentar. Dengan berlari kecil-kecilan dan ternyata saat tidak jauh dari arah pintu kamar, ia menambahkan tubuh suaminya yang ternyata sudah berdiri dari tadi. Mendengar semua perbincangan antara dia dan putranya.
"Jangan menangis, Ma. Papa gak tega lihat Mama nangis seperti ini." Suaminya terus mengelus punggung sang istri yang bergetar hebat, mencoba agar menenangkan emosi.
"Kenzi, Pa. Dia ingin punya adik, tapi mama gak bakalan bisa lagi wujudkan permintaannya," isak sang wanita bernama Bella yang tak henti berderai air mata.
"Percaya sama Papa bahwa akan ada jalannya. Lagian kita terus berobat saja dan berdoa agar dikabulkan. Mama ingat tentang perjuangan kita untuk mendapatkan Kenzi?"
"T–tetapi itu beda, Pa …."
"Ingat, ini baru 4 tahun sedangkan Kenzi dulu 12 tahun lamanya baru didapat. Mama masih mau berjuangkan?" tanya suaminya dengan semangat yang ikut tersalur pada sang istri.
Bella mengangguk seraya menghapus air matanya. Dia juga merasa tak ada gunanya bila menangis seperti orang bodoh.
Berselang sekitar setahun kemudian, sudah waktunya untuk cek kembali pada dokter yang selama ini menangani masalah kandungan Bella. Walau harapan yang mulai berkurang, namun demi Kenzi ia tetap mau diajak.
Harap-harap cemas menunggu giliran, di sinilah mereka bertiga. Duduk teratur sambil bergandengan tangan, penuh rapalan doa terlebih lagi pada anak laki-laki yang tak henti-hentinya menatap ke arah para orang tua yang menggendong bayi begitu menyenangkan.
"Panggilan kepada Ibu Bella."
Panggilan perawat membuat suasana tiba-tiba semakin terasa tegang. Sebelum beranjak, Bella menatap ke arah suaminya seperti sedang ingin menangis. Sang suami yang paham pun mendekap hangat tubuh sang istri dirinya tak lupa untuk menyemangati dengan berbisik ke telinga.
"Percayalah, apapun hasilnya aku akan menerima."
Lalu terlepas lah pelukan itu. Saat bangkit, matanya memandang pada tatapan Kenzi kecil yang terlihat seperti berserah. Dirinya menggelengkan kepala agar pikiran buruk segera pergi, ia pun segera beranjak masuk menuju ruangan kandungan.