Bab 30 - Mengulik Masa Lalu

"Selamat, Ibu karena telah membuahkan hasil dan saat ini Ibu tengah mengandung bayi."

Dari hasil yang telah keluar, sang dokter langsung memberitahu kabar baik pada Bella dan wanita itu langsung tersenyum haru saat melihat kertas bertuliskan kata positif.

"I–ini benar-benar kenyataan kan, Dok?" Bella bertanya ragu, takut bila nanti sudah senang ternyata hanya kepalsuan semata.

"Ini kenyataan, memang Ibu tengah mengandung!" Dokter meyakini Bella yang terlihat murung.

Sontak wanita itu tiba-tiba memeluk kertas hasil pemeriksaannya, hanya saja kepala yang menunduk serta terlihat pundak bergetar. Dokter pun tersengat dalam kesedihan, tapi segera ia menyudahi.

"Bu, jangan lah menangis! Semua ini hasil dari kekonsistenan dalam berusaha dan berdoa pada Tuhan. Seharusnya ibu berbahagia dan pergi mencari suami dan anakmu yang tengah menunggu di luar."

Kata-kata yang memotivasi membuat Bella terdiam sebentar. Benar kata dokter itu, harusnya ia bahagia dan tak memperdulikan kata makian orang terhadap dirinya selama ini. Ia pun menyapu air mata yang ingin turun, juga berbenah untuk keluar.

"T–terima kasih, Dok! Terima kasih!" ujarnya berulang dan segera pergi menuju pintu keluar.

Terlihat wajah suaminya yang panik saat melihat dia keluar dari ruangan dan ada anaknya laki-laki ikut dalam gendongan. Saat telah berada di hadapan, tangan suaminya diletakkan pada bahu istrinya.

"Ma, katakan apa hasilnya?" Namun, pertanyaan dari sang suami tak digubris oleh Bella sama sekali malah lebih memilih untuk menundukkan kepala. Merasa telah salah berbicara, suaminya pun hanya menghela napas dan tersenyum. "Tak masalah, Ma. Kita akan coba lagi nanti."

Seketika kepala yang tadinya menunduk jadi mendongak. Air mata yang sudah menggenang membikin raut khawatir pria tersebut dan tangan yang spontan mengusap air mata.

"Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan dulu. Kita berlibur ke kebun binatang atau ke taman–" Saat pria itu ingin menyibukkan diri agar tak terlalu terasa kesedihan, tiba-tiba suaranya terpotong oleh ucapan istrinya yang mencengangkan.

"Aku hamil, Pa!" potong Bella membuat keheningan.

Suasana hening yang hanya terdengar suara perawat yang memanggil antrian pasien, tiba-tiba terpecahkan saat suara anak menggelar.

"Mama hamil? Mama punya bayi? Yeay, Kenzi punya adik!" teriak Kenzi kecil heboh, orang tuanya langsung beralih perhatian pada anak kecil itu.

Sedangkan suaminya masih mematung tatkala mendengar pernyataan haru istrinya.

"Pa, Mama hamil! Hamil!" seru istrinya girang dan saat itu juga tubuhnya hampir terjerembab ke belakang akibat menerima pelukan secara tiba-tiba.

"Mama hamil? Serius, Ma?" Pria itu memastikan dengan tatapan berkaca-kaca.

"Iya, Pa! Mama hamil!"

"Kenzi, mama hamil! Bentar lagi kamu akan punya adik." Seraya menggendong tubuh kecil putranya, pria itu menunjuk-nunjuk ke arah perut sang istri.

"Yeay! Kenzi bakal punya adik! Kenzi bakal punya adik!" Girangnya anak laki-laki tersebut membuat kedua orang tuanya menatap penuh haru. Mereka pun bersyukur atas anugerah dari sang pencipta.

Berselang waktu sekitar setahun kemudian, berkumpul lah keluarga kecil yang telah dianugerahi seorang putri kecil yang selama ini sangat dinanti-nantikan kehadirannya. Betapa bahagianya mereka sekarang, rasanya tak ada lagi kekecewaan yang telah dialami. Sepasang pasutri yang tengah bermain pada putri kecil mereka, kebetulan juga anak laki-laki itu ingin ikut juga.

"Kenzi, adiknya jangan ditoel-toel!" Suara mamanya terdengar saat tangan Kenzi ingin bermain di wajah adiknya. Akibat dilarang, ia pun mengubah raut wajahnya menjadi murung. Namun, tak mau berlarut-larut ia pun mencoba mengambil mainan yang selama ini dipakai kedua orang tuanya untuk bermain bersama si bayi.

"Jangan berisik! Sudah, lebih baik kamu main di teras!" Giliran papanya yang bersuara membuat Kenzi memanyunkan mulut walau pada akhirnya mengikuti perintah untuk keluar.

Putra kecil itu pun beranjak keluar, langkah kaki yang sengaja dihentak-hentakkan ke lantai menimbulkan suara berisik yang membuat bayi kecil harusnya tengah tertidur jadi terbangun. Kedua orang tuanya panik, berbeda pada Kenzi kecil. Dia malah berlari puas dan pergi mencari teman mainnya di luar.

"Kenzi, kamu tau, gak? Kalau adik aku udah bisa manggil aku "kakak". Kalau adik kamu pasti belum bisa, kan?"

Seorang anak laki-laki kecil sedang memamerkan kepunyaannya tentang sang adik. Bukan sengaja, namanya juga anak kecil yang berkeinginan semua orang tahu bahwa dia punya ini itu. Lain hal pada Kenzi, hanya diam tanpa berniat membalas.

"Adik aku lucu banget! Pipinya seperti donat besar dan ada bolongan."

"Bolongan?" tanya Kenzi bingung. Pasalnya dia tak pernah mengetahui ada pipi yang bolong.

"Iya, bolong!" sahut temannya dengan mengangguk-anggukkan kepala.

"Adik kamu hantu dong yang bisa bolong-bolong!"

Tak terima dikatakan seperti itu, temannya pun mendorong Kenzi hingga jatuh ke belakang, membuat tubuh kecil tak dapat menahan sehingga berguling-guling di antara bukit kecil yang ada di ujung kompleks rumah.

"Lariiii!!!" kata mereka serempak, takut disalahkan nantinya.

Waktu terus berlalu, tak terasa sudah tiga tahun umur anak perempuan yang keluarga kecil ini impikan. Saat ini Kenzi sedang sendirian bersama adiknya yang tengah bermain di atas kasur, kedua orang tua sedang berada di kamar tak tahu lagi apa.

Memandangi wajah bulat perempuan kecil itu, Kenzi benar-benar dibuat kagum bahkan ingin sekali menarik pipi gembul milik sang adik. Namun, di tengah lamunan yang sunyi, tiba-tiba teringat akan perkataan teman-temannya yang sering membicarakan tentang adik mereka masing-masing. Kenzi yang selama ini tak pernah bermain serius pada adiknya jadi dibuat penasaran bahkan terbesit rasa ingin melakukan.

"Dedek, mau main sama abang?" Layaknya anak kecil Kenzi bertanya pada adiknya dan dibalas dengan gumaman tak jelas.

"Bentar, ya! Abang cari mainan dulu, oke?" Setelah itu Kenzi pun pergi mencari mainan miliknya yang berada di lantai bawah, mengharuskan adiknya tinggal sendiri di atas tempat tidur.

"Kira-kira di mana, ya?" gumamnya kebingungan saat menatap seluruh lemari yang berisi mainan. Namun, sudah ada dia sisihkan untuk bisa dimainkan bersama.

Matanya pun terbuka lebar saat menangkap benda yang dia cari akhirnya didapatkan. Segera dia ambil dan buru-buru untuk naik. Baru beberapa langkah, suara erangan keras terdengar dari arah atas.

"Kezia?!" pekiknya keras saat mendapati sang adik yang telah tergeletak di lantai dengan kepala yang mulai mengeluarkan cairan berwarna merah. Tangannya bergetar saat memegang seluruh tubuh adiknya yang mulai mengurangi pergerakan.

Bayangkan, jatuh dari atas tempat tidur yang tinggi dan masih berumur muda, rentan terhadap perdarahan. Ia pun menggoyang-goyangkan tubuh adiknya yang semakin lama semakin dingin dan darah tak henti mengalir.

"Mamaaa! Papaaa!" teriaknya di depan pintu kamar kedua orang tua sambil menggedor-gedor. Tak ada respon dari dalam, ia kembali melakukan pengulangan berulang-ulang sampai pintu pada akhirnya dibuka.

"Kamu berisik sekali Kenzi? Mama dan Papa sedang tidur!"

"Mama! Papa! K–kezia …." Setelah menghela napas dia berujar dengan terpotong-potong membuat reaksi kedua orang tuanya yang panik saat mendengar nama sang adik diucapkan. Tak butuh penjelasan apapun, kedua orangtuanya bergegas menuju sumber kecemasan dan saat itu juga berteriak.

"Kezia, anakku!"

Betapa terkejutnya mereka saat menyaksikan putri kecilnya tengah terkulai tanpa suara serta mata mulai menutup. Dihampiri lah anak itu, penuh darah di kepala membuat kaki terasa lemas tak sanggup berdiri.

"Kezia, buka mata kamu, Nak!" Sebagai seorang mama, Bella begitu merasa takut kehilangan apalagi Bella merupakan penantian selama bertahun-tahun.

"Apa yang kamu lakukan terhadap adikmu?" Papa Kenzi bertanya pada putranya yang sudah berdiri gemetaran.

"K–kenzi tidak lakukan apapun kok, Pa," cicitnya takut-takut saat melihat tatapan tajam sang papa.

"Lalu mengapa adikmu bisa seperti ini, Kenzi?!" Suara keras menggema ruangan itu bahkan urat leher pria tersebut sangat terlihat jelas yang menandakan ia sedang emosi tingkat tinggi.

"Kenzi, hanya … hanya …."

"Papa, lihat Kezia!"