Keesokan harinya, sudah dari pagi Viki pamit pergi ke pantai. Arum membalas pesan Viki seadanya karena dia sendiri ingin mencoba fokus pada pernikahan tetangganya yang memang dia hadiri bersama sang mama, mencoba bersikap senatural mungkin agar Viki tak curiga. Entah apa yang dirinya tunggu. Makin banyak bukti? Atau menunggu Viki akhirnya berhenti dan mengakui?
Di dalam gedung resepsi pernikahan, setelah turun menyalami pengantin. Menemani sang ibu mencari makanan dan membawanya ke tempat duduk. Giliran Arum yang berkeliling mencari camilan. Dia bukan tipe perempuan yang banyak makan, tapi entah kenapa badannya tak juga kurus. Dia memilih mengambil seporsi salad buah yang nampak menggoda. Saat matanya menyisir ke penjuru gedung, mendadak ada sosok yang lebih menarik perhatiannya daripada jajaran makanan didepannya.
"Lah itu kan Alex? Bukannya dia harusnya pergi ke pantai sama Viki?" Arum coba menghampiri sosok Alex yang nampak sedang makan bersama seorang wanita di sampingnya.
Arum menepuk pundaknya, "hei," sapanya singkat.
Tentu saja Alex menoleh. Sedikit mengingat siapa sosok di depannya.
"Owh Arum. Kamu disini juga?" tanya Alex.
"Iya ini nikahan tetanggaku. Kalo kamu sendiri?" Arum bertanya balik.
"Owh… aku nemenin cewek aku nih. Yang nikah sih temen sekolahnya dulu," kata Alex mengenalkan wanita di sampingnya. Saling melempar senyum dengan ramah. Berkenalan singkat dengan sosok wanita yang bernama Intan itu.
"Bukannya kamu pergi ke pantai sama Viki ya?" tanya Arum yang jelas-jelas mengingat isi pesan Viki tadi pagi yang mengatakan bahwa mobilnya penuh berisi enam orang. Padahal jelas-jelas satu orang yang mestinya ikut ada disini.
"Iya sih harusnya, tapi terus cewek aku ini minta ditemenin dateng ke sini mendadak. Jadi ya aku terpaksa batalin ikut ke pantai kemaren. Hehehe. Daripada kelangsungan hubungan aku terancam, iya enggak?" tanya Alex santai setengah berbisik.
"Owh gitu. Terus mereka pergi enggak lengkap dong personilnya?" tanya Arum mencoba mencari tahu.
"Wah… enggak tau juga deh kalo itu. Enggak ngomong apa-apa lagi sih mereka," Alex memang jujur tidak tahu tentang rencana selanjutnya.
"Owh gitu. Ya udah deh. Aku tinggal dulu ya. Kasian mama aku nanti nyariin," Arum undur diri.
Entah kenapa perasaan Arum tidak enak. Dia yakin ada seseorang yang dia kenal menggantikan posisi Alex di dalam mobil itu. Arum harus memastikannya. Bertepatan dengan sang mama yang mengatakan akan pergi dengan ibu-ibu tetangganya menjenguk salah satu warga juga yang sedang dirawat di rumah sakit dan tidak akan pulang bersama Arum. Otomatis dia akan memiliki kesempatan untuk mencari tahu.
Arum memilih melajukan motornya kembali ke rumahnya. Mempersiapkan diri untuk meluapkan emosinya dengan menelpon Viki begitu tiba di sana. Entah kenapa perasaanya kuat sekali. Hanya melepas helm dan sandal hak tinggi sekedarnya. Sudah berdiri berkacak pinggang di ruang tamunya. Satu, dua, tiga, hingga beberapa kali telepon tapi tidak ada jawaban. Pesan pun sudah dikirim tapi tidak direspon. Berjalan mondar mandir bak setrika panas yang sedang menghaluskan pakaian.
"Kenapa enggak jawab telepon aku sih! Angkat dong Vik!" Arum senewen sendiri.
Akhirnya Arum mencoba menelpon Ojin yang harusnya juga ikut pergi ke pantai. Benar saja setelah berdering beberapa kali teleponnya diangkat.
"Halo, Arum," sapa Ojin di seberang sana.
"Viki di mana?" tanya Arum tanpa basa-basi.
"Ah, hm, ada itu di depan lagi nyetir," kata Ojin yang mulai terdengar terbata-bata.
"Kasih telepon ini ke Viki sekarang!" Arum mulai emosi.
"Ta-tapi dia lagi nyetir," Ojin mencoba mencari alasan.
"Ah, alasan! Ada siapa aja emangnya di sana?" Arum mencoba menyelidik.
"Yya,, yya…" Ojin bahkan tak bisa melanjutkan jawabannya. Secara tidak langsung menguatkan tuduhannya.
"Ada Retta ya? Jujur!" serang Arum.
Lagi-lagi Ojin hanya diam. Bingung dia harus menjawab apa. Dia tahu Arum sedang ada hubungan dengan Viki, sedangkan sosok yang kini duduk di sisi pria itu justru wanita yang lain.
"Jawab, Ojin!" nada tinggi itu terdengar memekakkan telinga.
"Hm, i-iya..." akhirnya Ojin menjawab juga.
"Kasih telepon ini ke Viki sekarang, Jin! Awas kamu kalo berani-berani sama aku ya! Kamu yang bakal tak habisin besok kalo sampe telepon ini enggak kamu kasih ke dia! Ayo kasih sekarang!" Arum mulai mengancam dan sukses membuat Ojin takut. Siapa yang tak tahu tentang kegaharan Arum di kantor kalau dia sudah marah. Lalu memberikan teleponnya ke Viki dengan terpaksa.
"Halo," Viki menjawab teleponnya.
"Pergi sama siapa kamu?" tanya Arum penuh amarah.
"Sama anak-anak lah," kata Viki mencoba santai.
"Udah enggak usah pake bohong-bohong lagi! Makin marah aku sama kamu kalo kamu masih usaha bohong!" Arum bicara dengan gemuruh di dadanya apalagi Viki yang tidak kunjung menjawab.
"Mending kamu pulang sekarang! Aku mau ketemu di kos kamu!" tutup Arum akhirnya.
Kesabaran Arum sudah habis. Sekali dua kali bukti dia dapat, ingin sekali dia percaya bahwa semua hanya kesalahpahaman. Berharap Viki akan berhenti menghubungi Retta karena toh dia sudah mengatakan bahwa tak ada keinginan dalam dirinya untuk putus dengannya. Tapi hari ini saat tahu Viki sudah berani membohonginya di depan wajahnya, dia tak peduli apapun anggapan teman-teman Viki lainnya yang ada di dalam mobil itu. Tak peduli juga sedang apa dan dimana mereka yang dia butuh hanya segera bertemu dengan Viki. Dia sudah mencoba bersabar memberi kesempatan, tapi justru tingkah Viki semakin menjadi dan diluar batas. Dilemparnya ponselnya ke arah sofa.
"Dikira aku goblok? Dikira aku bloon? Enggak paham aja dia feelingku nih kuat urusan beginian!" Arum bicara sendiri.
Arum gusar. Mana mungkin dia bisa bersantai di rumahnya sedangkan bayangan tentang Viki dan Retta terus mengusik. Setelah dua jam sejak telepon terakhirnya tadi, Arum memilih pergi ke kos Viki mengendarai motornya. Memilih menunggunya disana. Benar saja, baru menunggu 10 menit di bangku depan kos, Viki pulang dengan motornya. Arum yakin dia pasti dengan terpaksa membatalkan semua rencana berlibur ke pantainya. Tak ada tatapan cinta atau rindu dari mata Arum, hanya amarah dan emosi. Viki tentu tahu maksud dan tujuan Arum di sana. Memilih membawa Arum masuk ke kamarnya agar bisa bicara lebih leluasa.
Baru saja Viki menutup pintu, Arum sudah berkacak pinggang di hadapannya, "jadi sejak kapan?"
"Hh, aku sama Retta tuh enggak ada apa-apa," Viki coba menjelaskan duduk di kasurnya sendiri.
"Enggak ada apa-apa? Yakin?" Arum meremehkan.
“Kita cuman temenan. Udah itu aja!” Viki memperjelas alibinya.
"Aku ini enggak bego ya, Vik! Aku tahu kok kamu sering chat sama dia. Aku tahu kamu sering ke kos dia ato dia juga sering ke kos kamu. Iya kan? Apa itu yang di bilang enggak ada apa-apa?" tentu Arum tahu jawabannya walau Viki belum berucap.
“Ngerti enggak sih, semesta itu ngedukung aku. Aku tahu sendiri semuanya kebohongan kamu satu per satu dengan jalan yang aku sendiri enggak bisa bayangin! Aku kadang juga heran kok bisa ya aku tau dengan cara kaya gini? Aku liat semua chat kalian di HP kamu. Aku juga enggak sengaja ketemu Alex di nikahan tetangga!” Arum masih bicara dengan Viki yang terus menunduk di hadapannya.
"Ya… tapi kita enggak ngapa-ngapain kok!" kata Viki lagi akhirnya mengakui.
Arum benar-benar emosi dengan pria didepannya ini. Bukti sudah terpampang nyata tapi dia selalu mengelak.
"Hahaha. Enggak ngapa-ngapain? Jadi sekarang kamu ngaku kalo semua yang aku bilang tadi bener kan? Udah deh. Udah ketahuan! Mending kamu jujur aja ceritain semua atau mending kita putus aja!" kata Arum tidak sabaran.
"Y-ya ya, aku ceritain. Y-ya aku emang deket sama Retta, tapi dia duluan yang mulai sering chatting aku. Awalnya dia enggak tau kalo aku deket sama kamu, tapi lama-lama dia tau juga. Ya aku bukannya GR, tapi dia duluan yang suka sama aku, Ay," Viki mengatakan versinya.
"Aku enggak peduli siapa yang duluan mulai ya, Vik! Gimanapun selingkuh tuh enggak akan kejadian kalo yang disasar enggak ngrespon. Ini kamu tahu dia suka sama kamu dan kamu terus respon dia. Sebagai cewek, ya wajarlah dia berharap. Aku enggak bisa sepenuhnya salahin dia. Kamu tuh yang statusnya sekarang punya pacar harusnya kamu yang bisa tahan diri sendiri!" Arum tidak habis pikir dengan pola pikir pria di hadapannya ini.
"Iya aku minta maaf, Ay," Viki mencoba menunjukkan ketulusannya.
"Udah sejauh apa kamu sama dia?" tanya Arum lagi penuh selidik.
"Apaan sih, Ay?" Viki masih mencoba mengelak.
"Di kamar kos berduaan enggak ngapa-ngapain? Ya kamu yang bego kalo nglewatin kesempatan kaya gitu! Apalagi kamu bilang dia yang suka duluan kan sama kamu?" Arum mulai letih Viki selalu berbelit-belit.
"Y-ya cuman cium kening aja kok, Ay," Arum menyeringai geli mendengar pengakuan Viki.
"Cium kening? Terus cium apa lagi? Pipi? Bibir? Terus pegang-pegangan? Terus akhirnya ya ngeseks kalian berdua kan? Apa dia tidur di sini juga sama kamu?" serang Arum terus menerus.
"Egak, Ay! Aku enggak pernah seks sama dia!" Viki mencoba bicara lagi.
"Udah ya! Aku udah gak peduli lagi. Dari tadi kamu bilang enggak-enggak, tapi akhirnya pelan-pelan ngaku juga kan. Cuman kamu sama dia dan Tuhan yang ngerti mulai kapan dan udah sejauh apa kalian berhubungan di kamar kos ini. Tanggungjawabmu ya sama mereka! Kamu bohong pun loh aku juga enggak akan ngerti!" Arum berargumen.
"Aku minta maaf, Ay. Aku janji enggak akan ngulangin ini lagi. Aku bener-bener sayang sama kamu…" Viki memohon mencoba menyentuh tangan Arum, tapi dengan cepat disingkirkan.
"Ckckck. Gampang ya minta maaf? Kamu kira karena aku diem terus kamu bisa seenaknya giniin aku? Sorry ya, bukan mau nakut-nakutin, tapi urusan beginian buat aku tuh kecil tahu enggak. Kalo aku gak ngegap kamu hari ini, aku yakin kamu juga bakal terus berhubungan sama Retta sampe besok-besok. Iya kan?" Arum melanjutkan amarahnya.
"Enggak, Ay. Aku enggak akan ada hubungan lagi sama Retta. Maaf, Ay, maaf... Aku serius minta maaf ke kamu, Ay," Viki masih terus memohon.
Arum diam menatap Viki yang terus mencoba bersimpuh dan minta maaf padanya. Hatinya masih terlalu sakit untuk memaafkan.
"Aku enggak ngerti, Vik! Buat sekarang, kita putus aja! Kamu bisa bebas ngelakuin apa aja sama Retta. Dia juga lebih cocok kok sama kamu," Arum memilih untuk melepas Viki sore itu.
"Enggak, Ay! Aku enggak mau putus sama kamu! Aku cuman sayang kamu, Arum…" Viki mulai meronta.
"Enak ya jadi kamu, Vik. Selingkuh nanti kalo udah ketauan tinggal minta maaf terus bilang sayang terus maksa enggak mau putus. Kalo aku yang gitu juga, boleh kan berarti?” Arum mencoba membalik keadaan dan Viki tak merespon.
Arum memilih untuk pergi. Hatinya remuk redam. Tidak menyangka dia akan jatuh pada sosok Viki sedalam ini, tapi juga tak mengira dia akan jadi korban perselingkuhan seperti ini. Entah kenapa justru mengingatkannya pada Pras. Viki yang hanya pacar baginya saja bisa memberi efek sebesar ini. Apalagi dirinya dulu yang notabene adalah istri Pras, yang sudah sah secara agama maupun negara adalah pasangan hidupnya.
Apa ini yang kamu rasain dulu, Mas? Apa hatimu dulu juga sesakit ini? Apa ini hukuman untuk aku ya, Mas? Maafin aku yang dulu, Mas.
Tangis Arum pecah juga dalam perjalanan pulang menuju rumahnya.