Hubungan Arum dan Viki masih terus berjalan naik dan turun seperti roller coaster. Arum perlahan mulai membiasakan diri untuk menerima perilaku Viki yang bisa dibilang toxic dan abbusive. Kalau perilaku sang pacar tidak bisa diubah berarti dirinya yang harus berubah, itulah prinsipnya untuk saat ini. Walau perlahan dia mulai berani bercerita pada teman masa sekolahnya dulu, yang memang tidak pernah bertemu Viki. Tentu saja semua yang tahu mengenai kisah mereka pasti akan menyarankan Arum untuk segera memutuskan hubungannya dengan Viki, tapi hingga saat ini pikiran itu belum terlintas lagi dalam otaknya.
Sampai kini Arum masih enggan mengakhiri semuanya. Sepertinya hati menutupi semua cacat itu dengan dalih cinta. Begitu juga dengan waktu dua tahun kebersamaan mereka yang Arum harap akan bisa bertambah lagi dan lagi, bahkan mungkin menjadi sepanjang waktu. Segala luka fisik maupun psikis yang sudah dia terima, Arum menjalaninya dengan tahan. Menurutnya, setiap orang bisa berubah dan dia yakin Viki juga akan bisa berubah. Toh Viki juga sangat mencintainya dan selalu meminta maaf setelah melakukan kesalahan. Dia juga tidak pernah mau saat Arum ingin memutuskan hubungan dengannya.
Terakhir kali akhirnya Viki membeli lagi sebuah mobil bekas yang tentu saja kondisinya masih bagus. Sebuah city car berwarna putih yang sekarang menjadi transportasi sehari-harinya. Kebiasaan konsumtif Viki memang belum juga hilang. Terakhir kali meminjam lagi uang ke Arum untuk alasan ingin kontrak rumah. Padahal jelas dia sudah memiliki rumah dan juga masih kos di tempat yang sama seperti sebelumnya. Dia bilang rumah itu untuk orangtua dan keluarganya saat mereka datang ke Malang. Pada akhirnya Arum pun meminjamkan sejumlah uang untuk menutup kekurangan uang yang Viki perlu.
Pada suatu siang yang terik, Arum sedang mengetik di komputernya mengerjakan laporan bulanan yang Pak Yos minta. Jam sudah hampir pukul 12 siang tapi dirinya belum bisa bersantai karena laporan itu harus selesai saat jam makan siang berarti secara tidak langsung Pak Yos tidak mengijinkannya istirahat. Walau tangan dan matanya bekerja, telinganya tetap bisa mendengar teman-temannya sibuk membicarakan orang lain. Membuatnya hanya tersenyum saja karena belum bisa menanggapi.
Hingga tiba-tiba sebuah pesan masuk dari seseorang yang tidak dikenalnya, “siang Mbak Arum. Kenalin saya Elsa. Saya cuman mau kasih tau aja kalau saya ini sudah dekat sama Viki setahun belakangan ini bahkan sekarang saya bahkan hamil anaknya.”
Tentu saja pesan itu membuat Arum berkerut. Ulah orang iseng saja pastinya walau hatinya tentu tak karuan. Lalu ponselnya berbunyi karena nomor tidak dikenal itu menghubunginya. Berkali-kali, tapi tidak juga Arum ingin mengangkatnya. Tugas dari Pak Yos masih menjadi prioritasnya saat ini. Lalu pesan masuk lagi dari nomor yang sama, “Kenapa telpon saya gak diangkat mbak? Ayo mbak diangkat biar saya bisa ceritain semuanya. Mbak gak percaya sama saya? Ini saya kirim buktinya!”
Dua buah foto dan satu buah video masuk ke ponsel Arum. Antara yakin dan tidak Arum akhirnya membukanya. Foto Viki dengan seorang wanita dengan dandanan tebal juga pakaian yang cukup seksi. Sebuah video dengan mereka berdua di sana hanya sedang bercanda bersama di dalam sebuah kamar. Tentu saja hati Arum serasa jatuh hancur berkeping-keping saat itu juga. Tidak ingin percaya tapi bukti sudah didepan mata. Ponselnya kembali berbunyi tapi dia sama sekali tidak ingin mengangkatnya. Informasi ini masih terlalu berat untuk dicernanya. Tentu saja semangatnya untuk bekerja sudah hilang entah kemana.
Astaga cobaan apa lagi ini ya Tuhan? Apa aku gak boleh tenang sebentar saja dalam hidup aku?
"Enggak ke kantin Arum? Udah jam 12 nih?" ajak Lili tiba-tiba saat itu.
"Hehehe. Enggak kalian aja. Lagi enggak enak badan. Aku udah ada nasi bungkus kok," Arum menolak halus.
"Ya udah kalo gitu, kita duluan ya Arum,” pamit Asti melambai.
Saat jam istirahat ketika semua temannya tidak ada di ruangan, barulah Arum memberanikan diri untuk melihat lagi isi ponselnya. Sudah puluhan pesan dan beberapa panggilan tidak terjawab ada di sana. Bahkan ada tambahan foto lagi di sana, foto hasil testpack kehamilannya. Hingga akhirnya dia menerima panggilan dari perempuan bernama Elsa ini.
"Halo?" sapa Arum lemah siap mendengar babak terbaru drama kehidupannya.
…
"Saya masih kerja. Lagipula ya saya juga kaget lah siang-siang gini dapet wa dari orang yang enggak saya kenal ngaku hamil anak pacar saya!" jawab Arum mulai kesal.
…
"Satu tahun? Kamu udah setahun kenal sama Viki?" tanya Arum mulai memikirkan semuanya.
…
"Terus kamu hamil anak Viki? Kalau hamil kan kamu bisa aja hamil sama siapapun dan kamu bilang itu anak Viki?" Arum masih mencoba mencari celah bahwa info ini salah.
…
"Terus kenapa hubungin saya? Kenapa kamu enggak langsung minta Viki tanggung jawab aja?" tanya Arum tegas.
…
"Astaga…. Ok saya hubungi Viki sekarang!" Arum sudah tidak tahu harus berkomentar apa lagi.
Arm masih tidak bisa tenang tentu saja. Semua perkataan Elsa terus berputar dalam otaknya. Dia mengatakan mengenal Viki sejak setahun yang lalu. Viki bahkan dikatakan sudah pindah ke kosnya beberapa bulan lalu. Dia mengatakan bahwa semua foto itu adalah fotonya saat berada di kos Elsa. Wanita itu lanjut mengatakan bahwa mereka bertemu di sebuah tempat karaoke. Mereka berkenalan dan komunikasi itu terus berjalan dengan intens. Sampai akhirnya kehamilan itu terjadi.
Elsa mengatakan bahwa dia jatuh cinta pada Viki hingga membuatnya rela menjadi ‘teman tidur’ pria itu. Dia bahkan menantang Elsa untuk menanyakan semuanya langsung pada Viki. Dia bahkan berani melakukan tes DNA kalau memang masih diragukan ayah dari anak itu. Elsa hanya ingin Arum mundur dan pergi meninggalkan Viki agar pria itu bisa bertanggungjawab menikahinya.
Tak sabar, Arum menghubungi Viki siang itu yang pasti ada di suatu tempat di kantor ini. Rasanya seluruh darah di tubuhnya sudah berkumpul di ujung kepalanya saat ini. Sudah mendidih dan siap meledak kapan saja. Arum hanya mengatakan untuk menemuinya di sisi lain parkiran kendaraan yang memang sepi pada jam kerja seperti ini. Viki yang bingung segera menemui sang kekasih.
"Ada apa sih, Ay? Tumben pengen ketemu jam segini?" sapa Viki lembut.
"Kamu jujur ya, Vik! Kamu ngehamilin anak orang?" tanya Arum langsung saja dengan kedua tangan sudah bertengger cantik di pinggangnya.
"Hah? Apaan sih, Ay? Kamu nih kesambet ya?" tanya Viki tentu saja bingung.
"Jawab aja! iya ato enggak, Vik? Kamu beneran selingkuh sama perempuan yang namanya Elsa?" tanya Arum tak sungkan menyebutkan nama yang asing itu.
"Elsa? Elsa siapa sih?" Viki masih berlagak tidak mengerti.
"Brengsek kamu, Vik! Berani-beraninya kamu masih bohong sekarang? Elsa tadi telpon aku dan dia cerita semua. Elsa yang ketemu sama kamu di tempat karaoke. Dia cerita kamu udah selingkuh setahunan sama dia. Udah tinggal juga di kos nya. Udah hamilin dia juga. Kok bisa bilang kamu enggak kenal?" Arum sudah sangat emosi karena Viki selalu mengelak.
"Hm, ma-maaf Ay… ak-aku khilaf, Ay," jawab Viki segera terbata karena tidak menyangka Elsa akan bertindak sejauh itu.
"Khilaf? Khilaf katamu? Khilaf setahun hah?" Arum sudah berteriak tidak peduli meskipun ada yang mendengarnya. Tangannya sudah mengepal sempurna memukul dadanya sendiri. Viki mengakuinya.
"Maaf, Ay… aku bener-bener khilaf," suara parau Viki mulai terdengar.
Arum sudah tidak bisa bicara lagi. Air mata sudah bertengger di pelupuk matanya. Saat ini, pengakuan itu saja sudah cukup. Fakta bahwa dia mengaku khilaf. Fakta bahwa benar dia selingkuh dan menghamili wanita lain. Arum berlalu pergi setelah menyadari jam istirahatnya akan habis. Dia tidak mau mengambil resiko karena ini masih ada di jam kerja dan tempat kerja.
Ya Tuhan. Apa lagi ini? Kok bisa-bisanya aku diselingkuhin selama ini dan aku baru tahu sekarang setelah setahun dan setelah perempuan itu hamil. Cobaan apa lagi ini, Ya Tuhan. Apa dosaku sebesar itu jadi aku harus menebusnya juga dengan rasa sakit sebesar ini?
Arum sudah menangis tersedu-sedu siang itu. Bersembunyi di salah satu bilik kamar mandi yang kosong. Arum hanya bisa meratapi nasibnya dengan bersimpuh dan meremas dadanya terus menerus. Menangis sejadi-jadinya merasakan kesakitan hatinya siang itu.
Tekad Arum sudah bulat, dia akan pergi ke Surabaya untuk menemui Viki dan keluarganya. Sedih memang karena pergi ke rumah sang pacar bukan untuk hal yang membahagiakan tapi justru menyedihkan dan bahkan mungkin akan menghancurkan segalanya. Minggu pagi itu Arum mengendarai bus setelah dua hari belakangan ini Arum coba bicara pada Viki untuk membuatnya bertanggungjawab pada Elsa, tapi dia terus saja menolak. Seolah-olah Arum lah yang sedang mengandung anak Viki. Sedangkan sebaliknya Viki terus saja bicara bahwa dia tidak akan mau melepas Arum. Pria itu memang sedikit gila, mungkin memang gila!
Tidak peduli bagaimana reaksi kedua orang tua Viki nanti, tapi mereka harus mengetahuinya. Kalau hanya selingkuh saja mungkin Arum tidak akan bertindak sejauh ini, namun masalah ini sudah menyangkut kehidupan jabang bayi yang semakin lama akan semakin besar dan tentu Arum tidak bisa membiarkan bayi itu terlahir tanpa sosok seorang ayah. Luar biasa bukan, bahkan di tengah kesakitannya sendiri, Arum lebih mementingkan si jabang bayi yang sebenarnya bukan urusannya.