Keesokan harinya di kantor, saat jam makan siang Arum bersama Asti yang kini juga malas untuk pergi ke kantin, memilih untuk makan siang berdua di dalam ruangan. Nasi bungkus yang sebelumnya sudah disiapkan oleh OB mereka. Bunyi sendok berdenting mendadak terganggu saat ponsel Arum berbunyi. Sebuah telepon masuk dari Viki. Asti tentu saja cuek menyantap makanannya walau samar-samar dia masih bisa mendengar percakapan itu karena sunyinya ruang kerja mereka.
"Halo," sapa Arum.
…
"Iya kenapa?" tanya Arum sudah menjauhkan diri dari posisi Asti.
…
"Iya udah kenapa sih?" tanya Arum yang terdengar mulai gusar.
…
"Sorry tapi ya mana ada aku uang segitu? Uang aku juga udah kepake kamu kan 10 juta. Terus kemaren udah kepake bayar DP tanah yang aku beli itu. Tabungan aku udah habis!" jawab Arum seadanya dengan suara selirih mungkin.
…
"Usahain gimana? Ya enggak ada enggak bisa aku maaf! Ya coba aja kamu yang usahain. Itu kan mobil kamu," Arum mulai enggan dengan pembicaraan ini bisa dilihat dari wajahnya yang sudah tertekuk.
…
"Ya udah lah kamu lepas aja. Nanti kalo diambil lagi sama leasing kan uang kamu bisa balik lumayan meskipun belum tau berapa. Daripada kamu malah bingung mau pinjem kesana sini. Nanti lebih bingung lagi harus bayar utang, masih bayar cicilannya," kata Arum terdengar cukup jelas.
…
"Nanti kalau ada uang balik kamu bisa beli mobil lagi yang sekiranya sesuai sama kemampuan kamu. Enggak usah maksain beli mobil baru kan mobil bekas juga banyak yang masih bagus," Arum mencoba memberi solusi.
…
"Heehm, ya udah gitu aja!" Kata Arum yang akhirnya memutus sambungan teleponnya.
Itu memang Viki, dia mengatakan kalau dia belum bisa membayar uang cicilan mobil karena ada masalah dengan orangtuanya. Mereka butuh uang modal untuk membuat pesanan seragam teman yang waktu itu ditemui mereka saat datang ke Malang. Viki terpaksa meminjamkannya dan sebagai akibatnya kalau dia belum bisa membayar dalam satu minggu, mobilnya akan ditarik oleh badan keuangan kredit. Dia menelpon untuk meminjam uang lagi pada Arum.
Sebenarnya Arum sudah siap marah, tapi mendengar penjelasan Viki mengenai usaha orangtuanya tentu saja dia menahannya. Arum makin kesal saat Viki justru terdengar memaksanya untuk membantu. Meminta untuk dicarikan pinjaman uang entah bagaimana caranya. Beruntung setelah Arum memberinya solusi, Viki mau mempertimbangkan, walau sebenarnya dia memang masih sangat ingin memiliki mobil itu.
Tentu saja ada Asti di sana yang mendengar daritadi. Dia yakin mendengar suara laki-laki yang membicarakan mengenai mobil dengan Arum. Walau sedang makan dan sibuk dengan ponselnya sendiri, tapi tentu dia masih bisa memikirkan kemungkinan siapa yang menelpon Arum siang itu, siapa lagi kalau bukan Viki. Setahu Asti saat ini ya hanya Viki satu-satunya laki-laki yang diisukan dekat dengan sahabatnya itu, tapi tentu Asti tidak akan bertanya pada sahabatnya itu.
"Ayo makan, Arum. Dingin tuh nanti makanannya," ajak Asti yang melihat wajah serius Arum.
"Ya ya makan kok. Jam satu meeting kan sama Pak Yos?" tanya Arum mengenai jadwal setelah makan.
"Iya di sini kok. Makanya cepetan habisin makanannya sebelum si bapak dateng," kata Asti yang hanya dibalas anggukan Arum.
Arum malah menerawang mengingat percakapan sebelumnya dengan Viki. Hatinya sebenarnya bergemuruh karena kesal. Tiba-tiba perkataan tantenya dulu terngiang di pikirannya. Belum lagi serentetetan peristiwa yang mengikutinya.
Dasar brondong! Kapan itu bilangnya mau nyelesaiin masalah mobil itu. Eh malah nelpon pinjem duit! Mana ngeselin lagi pinjemnya! Apa emang iya dia cuman anggep aku ini ATM berjalan aja? Apa karena aku terlalu baik sama dia terus jadi dimanfaatin? Ah, dia sebenernya gimana sih ke aku?
Pertengkaran di dalam hubungan mereka sepertinya memang sudah menjadi hal yang lumrah. Arum dan Viki bisa bertengkar hebat di satu malam tapi kemudian bertingkah seperti tidak pernah terjadi apapun sebelumnya keesokan harinya. Seperti malam ini saat mereka berdua duduk di atas motor. Arum sepertinya sudah melupakan mengenai perdebatannya mengenai cicilan mobil beberapa hari lalu. Viki mengantar Arum pulang kerumahnya seperti biasa. Motor memang melaju perlahan, karena ada yang ingin Viki bicarakan.
"Kalo dipikir-pikir kita udah lama loh, Ay pacaran. Udah mau satu setengah tahun," kata Viki.
"Iya juga ya. Enggak kerasa ya?" jawab Arum seadanya.
"Kamu gak kepengen tah ngejalanin hubungan yang lebih serius sama aku?" tanya Viki ingin tahu.
"Maksudnya?" entah tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti.
"Kamu nih pura-pura bego ya? Ya aku pengen kita nikah Arum. Aku udah sering ngomong kan sama kamu. Aku juga udah dapet lampu ijo dari orangtua aku. Aku bisa langsung lamar kamu ke mamamu kalo emang kamu mau." Viki terdengar serius dengan ucapannya.
"Hmh… kamu kan tau Vik aku belum siap!" jawab Arum yang masih sama.
"Kenapa sih Arum? Karena pengalaman gagal kamu kemaren sama mantan suamimu? Kamu masih trauma sama pengalaman itu?" tanya Viki lagi karena memang selalu jawaban itu yang Arum berikan
"Iya. Seperti yang selalu aku ceritain ke kamu," jawab Arum tak yakin dengan respon yang akan Viki tunjukan.
"Tapi kan beda Arum! Kamu nikahnya sama aku! Kita bisa bikin cerita yang beda, pengalaman yang beda, rumah tangga yang jauh lebih baik!" Viki mencoba meyakinkan.
"Y-ya tapi… aku emang masih belum siap, Vik! Tolong jangan paksa aku…" Arum meminta pengertian.
"Enggak ngerti lagi aku sama kamu, Ay. Dimana-mana ya, cewek itu selalu berharap cowoknya serius, ngelamar, ngajakin nikah. Ini kayanya malah sebaliknya. Aku terus yang nunjukin keseriusan ke kamu, sedangkan kamunya kaya ogah-ogahan gitu! Apa emang kamu enggak serius pacaran sama aku? Kamu enggak mau kita nikah?" tanya Viki yang mulai terdengar emosi.
"Y-ya enggak lah, Vik! Aku serius kok sama kamu. Aku juga pengen nikah sama kamu. Cuman ya… enggak sekarang. Sabar sebentar lagi aja. Plis ngertiin..." pinta Arum yang suaranya mulai sendu.
Viki memang sudah bosan karena jawaban Arum akan selalu berputar di sana. Bukan pertama kalinya Viki mengutarakan keinginannya untuk menikahi Arum. Sudah ketiga kalinya dan jawaban Arum tetap sama, menolaknya dengan dalih memintanya sabar menunggu. Sebagai laki-laki, harga diri Viki terluka. Tentu saja dia kecewa dan marah karena ajakannya untuk menikah ditolak begitu saja. Dia masih mencoba bertahan dan menuruti keinginan Arum karena terlalu cinta saja.
Viki memilih untuk tidak menghiraukan Arum di sisa malam itu. Tentu saja Arum bisa merasakan perubahan sikap Viki malam itu. Dia merasa tidak enak hati tentu saja, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Menikah itu memang bukan keputusan mudah. Tentu dia mencintai Viki tapi semuanya perlu pertimbangan dan pemikiran yang matang apalagi ini merupakan pernikahan keduanya dan sama sekali tidak ingin kegagalan itu terulang lagi. Pengalaman menyakitkan yang terakhir kali itu memang begitu membekas juga tentu karena beberapa alasan lainnya.
Hanya maaf dalam hati yang bisa Arum ucapkan malam itu. Menatap punggung Viki yang menjauh, "sorry ya, Vik. Kasih aku sedikit waktu lagi untuk memantapkan hati."
Beberapa hari kemudian, karena sudah lama tidak bertemu, Viki dan Arum memutuskan untuk melakukan panggilan video malam itu. Arum beberapa hari memang disibukkan dengan pekerjaan hingga larut malam karena Pak Yos mendadak ingin merubah beberapa tata letak di bank. Viki terlihat di kamar kos yang bukan kamarnya. Menurut Viki itu adalah kamar temannya yang memang sedang membeli makanan. Sedangkan Arum tentu saja berada di kamar nyamannya bersama Jelly yang selalu menemaninya. Kucing gembul warna orange yang super malas.
"Jadi gimana akhirnya mobil kamu?" tanya Arum baik-baik melalui telepon sedang berbaring di kamarnya.
"Ya akhirnya aku jual. Udah ada pembeli katanya tapi belum tau juga kelanjutannya. Gampang lah," jawab Viki seadanya.
"Ya jangan gampang-gampang aja. Ini tuh pelajaran buat kamu. Lain kali… dipikir mateng-mateng dulu sebelum bikin keputusan apapun!" ingat Arum.
"Ya ya udah aku ngerti kok! Udah berapa kali kamu ngomongin itu terus. Males aku dengernya lama-lama!" entah kenapa nada suara Viki tiba-tiba berubah membuat Arum sedikit mengerutkan dahi.
"Harusnya enggak bakal kejadian sampe kaya gini kali kamu bisa bantu aku cari pinjem duit!" Viki menambahkan.
"Lah, kan aku udah bilang sama kamu aku emang enggak bisa pinjemin uang!" Arum berkilah.
"Ya tapi harusnya kamu temenin aku! Bantuin aku cari solusi, dukung aku buat pinjem duit! Jadi mobil itu tetep sama aku!" kata Viki masih dengan nada tingginya.
"Ya kan aku emang udah bantu kamu kasih solusi! Ya dengan dijual ini. Kalo untuk pertahanin ya maaf aku juga enggak ngerti caranya!" jawab Arum mendadak bingung kenapa Viki tiba-tiba marah padanya.
"Kamu aneh banget sih akhir-akhir ini. Kamu kalo ada masalah sama aku ngomong aja, Vik!” tanya Arum yang melihat raut wajah Viki mengeras.
"Aneh apanya? Perasaan kamu aja kali!" elak Viki.
"Ya kamu tuh berubah sekarang, Vik! Udah jarang punya waktu buat aku. Makin enggak perhatian juga sama aku. Aku enggak tahu kamu sibuk apaan sih sebenernya? Ini juga sekarang malah sering marah-marah!" Arum mencoba mengeluarkan uneg-uneg.
"Apa? Jarang punya waktu? Kurang perhatian? Aku udah ngabisin banyak waktu dan tenaga buat kamu selama ini, Ay! Bisa-bisanya kamu bilang kaya gitu? Terus aku nemenin kamu pulang kerja itu bukan waktu? Atau aku anterin kamu kalo kamu ada acara ato perlunya itu bukan perhatian?" Viki makin marah di seberang.
"Loh kok kamu sekarang jadi kaya keberatan gitu sih? Kan aku juga enggak pernah maksa kamu buat antar jemput aku? Kok sekarang kesannya jadi kaya terpaksa?" Arum semakin heran.
"Apaan sih enggak jelas banget kamu nih! Aku bahkan udah ngajakin kamu nikah loh, Ay, tapi kamu yang enggak mau! Sekarang kamu bilang aku enggak ada waktu dan kurang perhatian? Enggak bisa ngaca dulu kamu? Ah, enggak tahu lah. Aku males ngomong sama kamu!" Viki menutup teleponnya sepihak.
Arum masih tertegun menatap layar ponsel di hadapannya. Kenapa sekarang Viki jadi kaya gini siih? Aku enggak paham lagi sama dia. Kalau pas baik, bisa manis banget sikapnya. Kalau udah kumat emosionalnya, bisa babak belur akunya. Apa aku harus putus sama dia?
Arum bisa merasakan perubahan sikap Viki beberapa bulan belakangan ini. Viki jadi mudah marah, berkata kasar, bahkan kadang bisa memukulnya. Mereka masih rutin berkomunikasi, tapi Viki mulai jarang menemaninya pulang. Dia lebih sering pergi bersama teman-temannya atau menghabiskan waktu di kos saja. Dia baru akan datang kalau membutuhkan sesuatu, apalagi uang.
Arum sebenarnya pernah mencoba putus beberapa kali, tapi kekasihnya itu selalu menolak. Kalau sudah terdesak begitu, dia akan minta maaf, bahkan menangis, kadang dia justru akan marah besar, mengucapkan semua kata kasar dari mulutnya, bahkan pernah menampar Arum dengan alasan menyadarkannya agar tidak lagi bicara sembarangan, juga mengancam akan datang dan bicara pada mama Arum. Akhirnya terpaksa mengalah karena Viki benar-benar tak ingin pisah.
Pikirannya jadi menerawang pada kejadian beberapa saat lalu saat Viki salah paham dan cemburu karena mengetahui ada seseorang mantan pacar Arum yang kembali menghubunginya. Hanya saling mengirim pesan biasa. Saling bertanya kabar. Masih di dalam mobil Viki yang saat itu memang belum diambil oleh leasing. Mereka sedang berada di sebuah area parkir SPBU karena Arum mencari toilet.
"Siapa ini Delon?" tanya Viki kala itu melihat riwayat pesan Arum di ponselnya.
"Itu temen aku dulu di kampus," jawab Arum seadanya.
"Temen apa temen? Akrab banget!" curiga Viki.
"Gimana sih? Ya emang temen kok," jawab Arum melihat tidak ada yang salah dengan itu.
"Kamu enggak usah aneh-aneh ya, Ay! Jangan coba macem-macem sama si Delon ini!" bentak Viki tiba-tiba.
"Aneh-aneh apaan sih? Kan kamu bisa liat sendiri kita cuman say hello aja tanya kabar," bela Arum yang memang benar.
"Halaaah! Ya awalnya pasti begini, Ay. Ujung-ujungnya itu loh! Awas aja pokoknya kalo kamu berani selingkuh di belakang aku!" Viki mengancam lagi.
"Astaga… Aku enggak ada apa-apa sama dia! Kok kamu bisa jauh banget ngomongin selingkuh! Hmh, iya lupa. Udah pengalaman ya soalnya? Sama Retta kapan itu juga gini kan ya? Awalnya tanya-tanya kerjaan, eh ujungnya…" Arum membalikkan keadaan.
"Sialan kamu Arum!"
Plaakk! Satu pukulan keras melayang ke pipi kiri Arum.
"Apa-apaan sih kamu, Vik!" Arum mencoba membalas tapi tentu saja setomboy-tomboynya Arum, kekuatannya jauh di bawah Viki yang segera menangkap tangan dan mendorong tubuh Arum menjauh.
Bruukk! Arum menatap jendela mobil di sisinya.
"Ngapain kamu ungkit-ungkit Retta? Aku ngomongin cowok ini! Enggak usah kamu ngalihin topik pembicaraan, Brengsek!" Viki marah besar saat itu.
Arum urung membalas. Hanya bisa meringis kesakitan. Pipinya panas, tangannya sakit, punggungnya juga. Arum hanya bisa menahan tangis saat itu. Hatinya terasa sangat sakit. Kenapa pria yang dulu dipujanya sekarang memperlakukan dia semena-mena. Sampai titik ini pun Arum amsih diam dan menyimpan sendiri semua lukanya. Selain alasan pengalaman pahit, tentu saja ini juga ketakutan Arum sehingga belum mau menerima pinangan Viki untuk menikah. Sikapnya yang emosional, suka melakukan kekerasan, juga pengalaman perselingkuhan yang pernah terjadi.
Ya Tuhan… Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku cuman bisa berharap Kau memberikan hamba kekuatan, memberi hamba kesabaran seluas-luasnya, juga maaf yang selebar-lebarnya. Mungkin ini caranya supaya aku bisa belajar jadi perempuan yang lebih kuat. Mungkin ini memang takdir yang harus aku jalani.
Doanya malam itu sebelum kembali menangis dalam diam.