Universitas negeri kota B
Gera saat ini sedang mengurus surat magang dari kampus, karena kurang dari satu bulan ia akan memulai magangnya untuk kelulusan gelar sarjana.
Tidak terasa sudah tiga tahun ia menimba ilmu di universitas ini, memiliki teman diskusi yang berbeda dengan teman pada umumnya dan tentunya bisa bersama dua kesayangan selama berkuliah.
Hanya tinggal si cinta dalam hati, yang masih harus menempuh pendidikan beberapa tahun lagi untuk bisa wisuda sepertinya dan Kenzo.
Ah....
Ngomong-ngomong tentang Kenzo, ia semakin jarang bertegur sapa dengan paman kesayangan tersebut.
Banyak sekali yang membuatnya mengernyit atau kadang ingin menegur, kala mendapati perlakuan berbeda dari pria tinggi, yang dulu selalu memasang senyum hangat untuknya.
Ya..., apalagi akhir-akhir ini ia mendapati sang mama yang muram, ketika menatap punggung sang paman saat berlalu meninggalkan mansion.
Gera maklum dengan itu, karena Kenzo adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki dari mendiang kakek.
"Gerald Grahem, ini berkasnya. Semoga lancar magangnya!"
"Hm. Terimakasih Ibu Bernanda, kalau begitu saya permisi," sahut Gera menerima apa yang diulurkan seorang administrasi kampus kepadanya.
"Iya, silakan."
Setelah mengangguk kecil, Gera meninggalkan ruangan administrasi dan berjalan menyusuri koridor kampus.
Di perjalanan menuju suatu tempat, ia yang menatap lurus tidak menyadari, jika ada seseorang yang berlari dari lorong sebelah kiri.
Kejadiannya juga sangat cepat dan itu pun karena ada suara teriakan yang memintanya minggir, kemudian hal yang seperti di film-film terjadi, Gera yang menoleh seketika melebarkan bola mata, saat seorang wanita kini hanya berjarak satu jengkal darinya.
Huwoo!
Brugh!
"Aww...."
Suara ringisan si wanita yang ada di atasnya, membuat Gera membuka mata dan mendapati wajah dengan mata melotot ketika bersitatap dengannya.
Sungguh, Gera tidak tahu kalau ada wanita yang memiliki bola mata jernih layaknya berlian hijau, yang kini berkedip-kedip setelah melotot kepadanya.
Hingga akhirnya ia tersadar dan segera menatap tajam, si wanita yang segera beranjak dari tubuhnya sambil menatap galak alih-alih takut seperti wanita lainnya.
"Bisakah kamu menyingkir dari tubuhku? Apa kamu sengaja melakukan ini? Tidak sadarkah kalau berat badanmu seperti gajah, heum?"
Dingin dan datar dengan sindiran yang sangat tajam. Namun Gera tidak sadar, jika ia sudah mengeluarkan kalimat paling panjang dari biasanya, hanya untuk seorang wanita yang kini justru membalas dengan umpatan.
"Huh! Suruh siapa tidak menyingkir saat kubilang menyingkir? Dasar pria kejam, seenaknya saja mengatakan kalau aku berat. Dasar brengsek! Jangan sampai aku bertemu denganmu lagi."
"Apa-
"Sudah ah! Aku harus cepat-cepat ke ruangan administrasi, akh! Sial sekali bertemu pria tampan bermulut pedas sepertimu, benar-benar sial!"
Setelah menyela cepat apa yang ingin diucapkan Gera, si wanita kembali berlari dan meninggalkanny yang hanya bisa menganga, sama sekali tidak menyangka karena ditinggalkan begitu saja.
Ini pertama kalinya, selain Ara, ada seorang wanita yang mengabaikan ketampanannya, meski hanya untuk bersemu seperti wanita lain saat menatapnya.
Suara gerutuan yang semakin menjauh, membuatnya mengerutkan kening dan ikut berbalik sambil memikirkan apa yang terlintas di otak.
Kenapa rasanya senang, ketika ada wanita yang tidak terpesona akan ketampanannya?
Gera dengan cepat menggeleng, berusaha melupakan dan kembali berjalan menuju tempat dimana kesayangannya berada.
Ia ada janji dengan Ara, untuk menjadi model dan setelahnya bisa menemui sang papa untuk menyerahkan surat megang.
"Lupakan wanita itu. Wanita ceroboh yang berani-beraninya memanggilmu pria kejam dan pria tampan bermulut peda- eh! Tunggu dulu, dia bilang aku tampan?"
Gera sempat terdiam, sebelum akhirnya kembali menggelengkan kepala dan mengumpat.
"Sial! Benar-benar harus dilupakan, semoga saja tidak bertemu dengan wanita ceroboh itu lagi."
Untuk terakhir kalinya Gera menggerutu, hal yang baru ini dilakukan olehnya hanya karena seorang wanita.
Ia menambah laju langkah, hingga akhirnya sampai di depan ruang ganti dengan sepupu tercinta, yang keluar dari sana dan menatapnya dengan wajah lega.
Apakah aku telat?
Gera hanya bertanya dalam hati dan dalam pada dirinya sendiri. Namun untung, sepupunya tercinta tidak marah dan justru menatap penuh syukur.
"Ah! Cintaku, akhirnya datang juga. Ayo buruan Sayang, kamu membuat jantungku berdebar karena menunggumu. Kupikir kamu tidak akan datang, tapi untunglah kamu memenuhi janji dan menyelamatkanku. Aku janji setelah ini akan menuruti apapun keinginanmu."
Tanpa jeda dan panjang layaknya kereta, Gera hanya bisa menghela napas sabar menghadapi kenyataan dalam hidupnya. Bagaimana bisa ia mencintai wanita cerewet, tapi anehnya bisa anggun dan kalem disaat-saat tertentu?
Dan sialnya, ini yang justru semakin membuatku mencintaimu, Ara, batinnya.
"Ya Tuhan Ara, siapa juga yang mau mengingkari janji. Aku tadi-
"Tidak penting, yang saat ini harus kita lakukan adalah memakai baju yang kubuat dulu. Kamu tahu, setelah beberapa hari tidak melihat Kenzo, akhirnya aku berhasil memintanya untuk datang dan melihat pertunjukan ini."
Dalam waktu berdekatan Gera dua kali disela saat hendak mengatakan sesuatu. Ia merasa deja vu, hanya beda orang saja yang melakukan dengan satu kalimat yang membuatnya sadar diri.
Benar juga, Kenzo ya. Aku tahu dia pasti ingin dipuji oleh pamanku, batin Gera miris.
Dengan pasrah ia mengikuti Arrata, yang kini menariknya masuk dan membawanya ke sebuah ruangan yang sudah sepi.
Gera juga hanya pasrah saat Ara berhenti tiba-tiba, dengan tatapan mengisyaratkan agar ia diam.
"Kamu diam di sini, aku ambil bajunya dulu dan cepat lepas kemejamu. Oke!?"
Gera hanya bisa mengangguk, melihat punggung Arrata yang menjauh sambil menghela napas, tidak habis pikir.
Lalu Ara, ia mengambil sebuah kemeja dengan bahan sutera berwarna pastel. Sekilas memang hanya seperti kemeja biasa, tapi tentunya ada yang spesial dirancangannya ini.
Ia harus dapat nilai tinggi agar papanya tidak marah. Karena sang papa hanya memberikan kesempatan satu semester untuknya bersenang-senang, dengan mengambil jurusan desain fashion dan selanjutnya kembali ke desain interior untuk studi serius.
Ia menyukai fashion, jadi kedua orang tuanya memberikan satu semester cuma-cuma, dengan janji nilai tinggi.
Terkesan membuang waktu sih, tapi ia suka dengan apa yang dilakukannya saat ini.
Ara kembali melihat kemeja yang dirancangannya dengan anggukan yakin. Ia tidak sabar menerima pujian dari pria yang disukainya, apalagi sampai ia menerima nilai tinggi dan dipanggil ke panggung menerima penghargaan.
"Oke, pasti aku berhasil," gumamnya percaya diri.
Kembali ia menghampiri Gera yang memunggunginya, sempat tersipu karena melihat punggung berhiaskan tato sayap itu semakin kokoh. Padahal, saat mereka dulu kecil, ia yakin sepupunya tidak seseksi ini.
Jika Gera saja begini, bagaimana dengan Kenzo? Ah! Apa yang aku pikirkan, dasar mesum, batin Ara sambil menggelengkan kepala.
Ia berdiri di belakang punggung Gera, menepuk bahu lebar itu dengan sang sepupu yang menoleh ke arahnya, meski hanya kepala.
"Angkat tanganmu!" perintah Ara tanpa basa basi, tidak ingin ketahuan sempat tersipu dengan bentuk punggung di hadapannya.
Gera kembali menurut, hanya mengikuti apa yang diperintah Ara dan membalik tubuh saat sepupunya hendak memasukan kancing.
Bagian depan tubuh Gera kini terlihat, Ara sejenak memperhatikan dan mengangkat wajah, tersenyum menggoda dengan kerlingan mata jenaka.
"Aku yakin, wanita lainnya akan iri kepadaku kalau tahu aku melihat tubuh topless-mu, Gera."
Gera yang mendengar ucapan Ara hanya bergumam, menurunkan pandangannya dan melengos, saat menemukan hal terlarang di balik tank top yang dikenakan sepupunya.
"Hn."
"Oh iya, Gera. Kamu merasa tidak kalau Kenzo berubah? Aku merasa dia mencoba menjauhiku, bahkan saat berkirim pesan dia hanya membalas seadanya. Apakah magang memang menyita waktu seperti itu?"
Nada muram yang didengar Gera dari sang sepupu, membuat putra tunggal Grahem refleks mengepalkan tangan.
Ternyata bukan hanya ia dan keluarganya yang merasakan itu, tapi juga Ara, sepupunya yang sama sekali tidak memiliki salah.
Ya, apa salah Ara kepada pamannya.
Jika kepada keluarga dan dirinya, ia masih maklum karena sebuah keluarga terkadang ada salah paham. Namun Ara, kenapa diikutsertakan?
"Meskipun baru beberapa hari dari dia tidak menghabiskan waktu bersama kita, aku bisa merasakan ada perubahan darinya."
Ara kembali melanjutkan kalimatnya, kali ini ia sudah memasang semua kancing, sehingga ia bisa menatap wajah sepupunya yang juga sedang menatapnya.
"Gera, apakah aku bisa menggapainya? Tapi aku malu, jika sudah ada dihadapannya. Aku ingin bisa dengan bebas mengungkapkan isi hatiku, seperti kamu yang bebas memberi jalan untukku agar bisa mendekatinya. Tapi..., aku takut, jika cinta ini akan kalah dengan perubahan yang ditunjukkan olehnya. Gera, aku beruntung memilikimu, sungguh aku sangat mencintaimu."
Ara memeluk leher Gera, tanpa tahu jika pria yang dipeluknya sedang merasakan dilema, meski akhirnya tetap membalas pelukan disaksikan oleh seseorang yang baru saja tiba di pintu.
Ya, seseorang yang mengepalkan tangannya menahan kesal dan sialnya lagi-lagi hanya mendengar sepenggal kalimat, dari banyak yang diucapkan wanita di dalam sana.
"Sial!" umpatnya sebelum meninggalkan pintu ruang bersiap.
Bersambung.