Mansion Grahem
Apa yang dikatakan Kenzo cukup membuat Gera terdiam, mematung.
Menatap tidak percaya akan apa yang baru saja didengar. Ia tidak salah mendengar 'kan, kalau sang paman baru saja mengingatkan dirinya akan perasaan kepada Arrata.
Ia tahu dengan sangat, bahkan tidak perlu diperluas seperti ini, dimana decihan turut didengarnya juga.
Ini sudah keterlaluan, menurutnya Kenzo sudah sangat jauh dari sikap biasa.
Sementara itu, Kenzo yang hanya mendapati keterdiaman melirik sinis dan memilih meninggalkan sang ponakan yang bergeming.
Namun, baru saja hendak melangkah dan meninggalkan tempat mereka bertemu, tangannya dicekal dan dibawa kembali berhadapan.
"Apa maksudmu? Kenapa kau mengira seakan aku menusukmu dari berlakang, Kenzo? Kau kira aku akan mengkhianati perasaan yang kalian miliki?" tanya Gera menuntut.
Sudut matanya melirik tajam, dimana rahang ikut mengeras dengan gigi yang ditahan agar tidak bergemalut.
"Jangan munafik, jika kau memang ingin bersamanya, maka jangan libatkan aku seakan kau memberikan dia harapan palsu agar bisa bersamaku. Perasaan kami? Apa yang kau tahu tentang perasaanku? Aku sama sekali tidak peduli dengan perasaan dia."
"Tapi setidaknya kau hadir di acara yang penting baginya! Apa kau tahu, dia sedih dan kecewa karena apa yang ingin diperlihatkan kepadamu justru sia-sia," tukas Gera, kembali kesal saat ingat ekspresi yang ditampilkan Arrata setelah acara selesai.
Namun sayang, bukannya Kenzo menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya, ia justru memperkeruh suasana dengan ucapan memprovokasi.
"Apakah aku dibutuhkan di sana?"
"Apa! Kau, bagaimana kau bisa memikirkan hal itu?" tanya Gera tidak percaya.
"Sudahlah, aku datang atau tidak sekali lagi itu bukan urusanmu, urus saja diri sendiri dan mulai saat ini jangan ganggu aku. Kau paham!?"
Bersamaan dengan ucapan itu, Kenzo melepas paksa cekalan erat Gera. Meski harus merasa sakit, tapi ia tidak peduli dan benar-benar meninggalkan sang ponakan yang tidak mencegahnya lagi.
Ya, Gera memilih membiarkan Kenzo pergi, bukan karena ia tidak mampu, tapi ia merasa jika ini bukan hanya hal sepele.
Ia merasa, perubahan ini bukan hal yang wajar lagi. Namun, karena apa dan kenapa?
Semua ini masih menjadi misteri baginya, di saat ia sendiri masih belum percaya dengan apa yang didengarnya.
Padahal, ia sama sekali tidak memiliki niatan untuk mengkhianati perasaan Kenzo kepada Arrata, tapi kenapa sang paman seakan menuduhnya diam-diam memiliki hubungan dengan sepupunya sendiri?
Gera tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia juga tidak mungkin menjauhi Arrata, jika dugaannya benar kalau Kenzo salah paham dengannya.
Apakah ada gosip yang menyebar dan membicarakannya dengan Arrata tanpa sepengetahuannya?
Shit! Aku harus mencari tahu.
Dengan begitu, Gera memilih memasuki kamar, setelah akhirnya mendengar suara debaman dari arah kamar sang paman.
Sementara itu, Kenzo yang masuk tampak meletakkan tas kerja di meja. Ia jalan menuju ranjang sambil melepas simpul dasi, duduk di tepi sana dengan gemuruh marah menguasai hati.
Ia tidak tahu, kenapa rasanya sangat kesal dengan ucapan yang dikatakan Gera.
Merasa bodoh, karena baru ini merasakan kemunafikan yang ia pikir dari dulu seharusnya disadari.
Antara keduanya sangat dekat, bahkan sering jalan bersama dan berpelukan, bukan tidak mungkin ada sesuatu yang tidak diketahuinya, terjadi di belakang punggung.
Bisa saja saat tampak mendukung, ternyata keduanya sama-sama mengulas senyum mengejek, menganggapnya bodoh, karena naif menganggap Arrata yang manja kepadanya adalah karena mencintainya.
Persetan akan perasaan itu, ia harus melupakan dan fokus dengan apa yang seharusnya dilakukan dari dulu.
Simpul dasi yang terlepas dilemparnya masuk ke keranjang, menyusul kemeja hingga menampilkan dada bidang si empu kamar.
Tidak jauh seperti Gera yang memiliki tubuh atletis, maka Kenzo pun demikian meski tidak ada tato meski ukuran kecil.
Ia beranjak dari ranjang, jalan menuju kamar mandi dengan gemericik air yang terdengarlah setelahnya.
Kembali pada Gera yang saat ini duduk di depan layar laptop. Ia mulai mencari tahu dari media sosial di kampus, memastikan jika tidak ada visioner yang mengaitkannya dengan tuduhan sang paman.
Ia ingin memastikan dan membuktikan, jika ia tidak pernah sama sekali berniat mengkhianati sang paman.
Namun, sampai ia mencari ke setiap forum kampus, tidak ada gosip aneh kecuali pembicaraan mengenainya yang menjadi model.
Dimana ada fotonya bersama Arrata yang menerima penghargaan di panggung dan ia bersisihan dengan si sepupu, itu pun hanya berdiri tanpa ada perlakuan aneh sepanjang ia berada di sana.
Lalu, apa yang salah?
Ah! Gera benar-benar bingung, bahkan rasanya ia lebih memilih mengerjakan banyak tugas kampus atau kantor, dibandingkan dengan mencari tahu suasana hati sang paman.
"Atau aku biarkan dulu, mungkin saja ini karena melelahkan. Lalu soal ketidak hadirannya, bisa saja karena pekerjaannya menumpuk dan tidak bisa melihat. Aku seharusnya tidak ikut emosi seperti tadi, meskipun sudah keterlaluan dengan menuduhku yang tidak-tidak."
Sekali lagi Gera menghembuskan napas, mencoba untuk berpikir lebih jernih dan mematikan laptop.
"Besok aku harus berbicara lagi dengannya. Siapa tahu saja, dia lebih tenang dan benar-benar tidak dalam keadaan tertekan karena pekerjaan," lanjutnya memastikan.
Pada akhirnya, Gera memilih untuk menenangkan pikiran dan berusaha lebih tenang dengan tidak mengikuti emosi, andai kata nanti bisa berbicara dengan sang paman.
Malam yang dilalui Gera dan Kenzo tidak seindah dulu, dimana setiap kali kesempatan keduanya akan menghabiskan waktu bersama, tidak peduli sekalipun tidak memiliki tenaga karena aktivitas di luar rumah.
Langit malam yang pekat dihiasi lunar cantik menandakan cuaca cerah. Namun, itu sama sekali tidak cerah bagi keduanya yang berdiam diri di masing-masing kamar.
Bahkan kini, ketika akhirnya langit pekat digantikan dengan gradasi keunguan, ketika detik dan menit berubah menjadi jam yang menunujuk pergantian hari.
Ya, tidak terasa pagi dengan cepat menghampiri.
Terlihat Kenzo yang keluar dari kamar, lebih pagi ketimbang hari biasanya. Ia melewati kamar Gera, melirik sekilas dan benar-benar meninggalkan lantai dua menuju bawah.
Niatnya ingin menghindar, tapi ia lupa jika sang kakak bukan wanita yang malas dan bangun siang.
Karena, ia melihat sendiri, senyum hangat yang masih diulas sang kakak—Caitlyn, dengan pertanyaan bernada lembut seperti biasa.
"Kenzo, kakak siapkan bekal untuk siang ya, sudah berapa hari ini kamu selalu absen sadapan, jadi sebaiknya dibawa saja. Oke?"
"Tidak perlu."
"Tap-
"Aku bukan anak kecil yang harus diingatkan lagi, jadi mulai sekarang jangan pedulikan aku dan berhenti mengkhawatirkanku," sela Kenzo dingin.
Caitlyn menatap nanar, meski tetap berusaha untuk tetap mengulas senyum yang sangat dipaksakan. "Tapi Kenzo, aku tidak mungkin berhenti mengkhawatirkanmu."
Ck!
Kenzo hanya bisa berdecak, menggulirkan bola mata dan memastikan jika tidak ada orang di sekitarnya.
"Kenzo."
Bersambung.