Mansion Grahem
Malam harinya....
Kenzo pulang dari kantor tepat pukul delapan malam, sebenarnya dari pukul lima sore ia sudah diperbolehkan pulang karena pekerjaan pun selesai.
Namun, Kenzo memutuskan untuk menghabiskan waktu lebih lama di meja kerjanya dan mempelajari beberapa laporan, yang berhubungan dengan kunjungan besok bersama beberapa anggota ke lapangan, tepatnya ke sebuah pabrik pembuatan alat berat.
Besok akan ada asisten kepala lapangan yang ikut dalam kunjungan, jadi ia harus benar-benar paham dengan apa yang akan ditemuinya, mengambil hati supaya ia bisa mendekati para pentinggi perusahaan.
Ia harus segera mendapatkan orang yang bisa mendukung, agar pencarian informasi juga berlangsung cepat.
Brakh!
Suara debaman pintu menggema di bagasi sunyi mansion, Kenzo menyimpan kontak mobil ke dalam tas kerja dan berjalan santai menuju dalam sambil sesekali melirik ke sekitar.
Suasana halaman yang luas, benar-benar sepi meski sesekali terlihat penjaga berlalu lalang.
Sampai di dalam, ia melirik sekitar dengan bola mata bergulir pelan dan menghela napas kecil, saat tidak menemukan eksistensi seorang pun di ruang tamu yang dilaluinya.
Ia lanjut menuju anak tangga, hendak menaikinya dan harus rela berhenti karena suara interupsi di belakang yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Kenzo! Kamu baru pulang?"
Kenzo sontak menoleh dan mendapati kakak iparnya berjalan dari arah pintu kamar utama, dengan tatapan masih seperti dulu saat ia sendiri menatap tanpa ekspresi.
Ya, masih hangat sama sekali tidak berubah, membuatnya muak karena pria dewasa di sana masih saja bersikap demi kian.
Apakah mereka kira dirinya masih anak kecil, jadi bisa mempermainkan perasaan dan diam saja ketika sang mama jelas menjadi korban?
Tidak, Kenzo tidak akan diam dan menerima begitu saja seperti dulu saat tidak tahu apa-apa.
Namun, ia tidak serta merta memperlihatkan rasa di hati, ia menyimpan rapi dengan wajah yang dibuat biasa, tidak menampilkan hal berlebih bahkan sekalipun itu rasa benci.
"Ya, ada laporan yang harus diperiksa."
"Begitu! Ah..., benar juga. Aku mendapat laporan tentang kinerjamu beberapa hari ini. Benar apa yang kuprediksi, kalau kamu pasti bisa mau dimanapun kamu ditempatkan, aku bangga denganmu, Kenzo."
Pujian dari sang ipar—Samuel tidak lantas membuat Kenzo berpuas diri. Dulu, mungkin ia akan mengulas senyum senang, tapi saat ini jangan harap. Hatinya justru membenci, saat merasa sikap yang dilihatnya ini hanya sebuah kamuflase dan pencitraan diri, agar ia tetap menjadi Kenzo yang puas hanya dengan sebuah pujian.
Yang ia butuhkan saat ini adalah kebenaran, serta haknya yang masih dikuasai oleh pria di depannya.
"Terima kasih," sahut Kenzo apa adanya, masih menatap Sam dengan ekspresi dibuat sebiasa mungkin.
"Baiklah, kamu pasti lelah dengan hari ini, apalagi besok ada kunjungan lapangan. Istirahatlah, jadi besok tetap segar," ujar Sam tidak ambil pusing, menganggap jawaban adik iparnya yang terdengar tidak peduli hanya karena lelah selepas bekerja.
"Iya, aku duluan." Kenzo kembali membalas singkat dan apa adanya.
Ia membalik tubuh hendak menaiki anak tangga, sebelum akhirnya kembali berhenti dan tetap membelakangi Sam, ketika kalimat lanjutan yang terasa aneh terdengar.
Seakan ada makna tersirat, yang membuatnya justru penasaran.
"Oh ya, Kenzo. Saat semua urusan selesai nanti, ada yang harus kita bicarakan dan ini penting. Nanti kuberitahu jika waktunya sampai, jadi tunggu dengan sabar ya. Oke?"
Penjelasan tidak terbuka membuat Kenzo terdiam, kembali bertanya-tanya dalam hati tentang maksud pria di belakang sana, sebelum akhirnya memilih untuk melanjutkan langkah menaiki tangga.
"Ya, tentu saja."
Samuel hanya bisa melihat punggung berlapis kemeja bergaris sang adik dengan hati gamang.
Istrinya memang menceritakan tentang perubahan Kenzo kepadanya dengan keluh kesah ikut didengarnya, tapi ia tidak mengerti perubahan seperti apa.
Ia dan Kenzo hanya bertemu saat pagi dan malam. Itu pun dulu, karena akhir-akhir pun ia jarang bertemu karena Kenzo menolak sarapan bersama.
Sedangkan di kantor hanya saat sedang melaporkan sesuatu, itu juga bersama kepala devisi saat meeting internal, jadi ia merasa tidak leluasa.
Dan saat ini ia mengerti maksud perkataan sang istri, tapi..., apa alasannya?
"Sepertinya ada yang salah, aku harus menyelidiki ini sebelum semakin menjadi," gumam Sam, masih menatap punggung Kenzo yang hilang di anak tangga atas sana.
Kembali pada Kenzo yang akhirnya sampai di lantai atas, menuju kamarnya yang berada di koridor kiri dan kebetulan berdekatan dengan ruang pribadi sang ponakan.
Baru saja ia berbelok ke koridor kamarnya berada, seorang pria muda terlihat berdiri menyandar dengan satu tangan masuk di saku celana. Wajahnya menengadah, sebelum akhirnya menoleh sambil membenarkan posisi menjadi tegak.
Kini, pria muda berwajah sama datar dengan pria di bawah menatap dingin, dan Kenzo balas tak kalah dingin, kala ingatan siang ini terlintas lagi di pelupuk mata, seakan mengejek dengan kecewa yang dirasakannya.
"Ada apa, Gerald?" tanya Kenzo tanpa nada berarti, membenarkan letak jas yang sengaja ditentengnya di lengan kiri.
"Kenapa?"
Sebelah alis Kenzo terangkat, mendengar pertanyaannya justru dibalas dengan sebuah pertanyaan singkat, yang sayangnya belum dimengerti olehnya.
"Ap-
"Kenapa denganmu? Apa yang salah denganmu akhir-akhir ini? Apa magang membuatmu sibuk sampai meluangkan waktu untuk kami berdua tidak bisa?"
Kenzo menelan kembali ucapannya, menatap wajah keruh sang keponakan masih dengan tanpa ekspresi. Sedangkan si pria—Gerald, kembali melanjutkan pertanyaannya dengan tangan mengepal di masing-masing sisi tubuh, menahan kesal.
"Aku tidak masalah dengan kesibukanmu, tapi apa perlu Ara juga merasakan perubahan dari kesibukan itu, huh?"
Kenzo yang mendengar penjelasan Gera akhirnya mengangguk, mengerti. Namun, ia tidak serta merta memperlihatkan rasa bersalah, justru kini menjawab dengan nada yang terdengar sekali main-main. "Oo..., tentang Ara ya," timpalnya datar, seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan wanita tersebut.
Padahal, di dalam hati ia sangat penasaran. Bukan apa, ia tahu jika sampai Gera turun tangan artinya di keponakan sudah mulai muak dengan sesuatu, tepatnya tingkahnya. Namun itu lebih baik, sehingga ia bisa berterus terang tanpa harus menahan diri dalam bersikap.
Gera yang mendengar nada santai dari Kenzo mengeraskan rahang. Ia maju dengan langkah lebar dan mencengkram kerah sang paman dengan sudut mata menatap tajam, tepat di mata cokelat bening seperti sang mama.
Grep!
"Kamu sudah gila, Ara menunggumu datang dan kamu hanya mengatakan hal 'Oo'? Apa maksudmu, hah! Apa rasa sukamu kepada Ara hanya palsu, begitu?"
Gera mendesis marah, menahan agar suaranya tidak terdengar sampai bawah. Ia masih tidak ingin orang tuanya tahu, tentang rasa muaknya kepada sang paman.
"Suka? Siapa kamu sampai mengira aku menyukainya? Naif sekali, jangan berpura-pura mendukung jika kamu sendiri diam-diam menginginkannya."
"Ap-
Pats!
Gera terdiam dan menelan kembali ucapannya, tidak mengerti dengan apa yang dikatakan sang paman.
"Menyingkir dari jalanku, sebaiknya urus saja urusanmu sendiri dan jangan mengganggu," tukas Kenzo setelah menyingkirkan tangan Gera di kerahnya. Ia berdiri di samping Gera yang masih terdiam, mencerna apa maksud ucapan sang paman, kemudian melanjutkan dengan bisikan mengejek.
"Aku tahu kamu pun mencintainya, tapi sayang sekali, selamanya cinta kalian tidak akan bisa bersatu. Karena cinta kalian terlarang, dengan hubungan darah sama yang mengikat, iya kan? Cih!"
Deg
Bersambung.