Prolog

"Mempertahankan sebuah rumah tangga yang sakit adalah lebih menyakitkan daripada mengakhirinya"

Pernikahan. Dulu aku menganggapnya adalah suatu impian yang sangat istimewa, layaknya kisah cinta Romeo dan Juliet. Namun setelah aku memasuki gerbangnya dan menapaki setiap anak tangganya, yang kudapati hanyalah sebuah kekecewaan dan rasa sakit yang begitu menghujam.

Aku tidak pernah mengutuk pernikahan! Kuakui bahwa ini semua adalah salahku.

Salahku yang begitu mempercayainya.

Salahku yang terlalu tinggi menggantungkan harap padanya.

Salahku yang mencintainya terlalu dalam.

Dan ketika aku tahu bahwa dia hanya memanfaatkanku, aku pun terjatuh dalam jurang keterpurukan.

###

"Kreeet…kreeeet…"

Pintu kayu di kamarku yang dibiarkan terbuka, tertiup angin, membuyarkan lamunanku, aku menatap sekeliling, 12 tahun aku berada di kamar ini, dinding dan atapnya sudah lapuk dimakan waktu, angin membelai jilbabku yang terjulur rapih, kutatap wajahku di cermin, kini aku sudah kembali menjadi seperti aku yang dulu, tak ada lagi beban ataupun masa lalu yang menghantuiku.

Aku hanya mampir saja ketempat ini—karena kebetulan kami melewatinya, dan dahulu suamiku pernah menjadi dokter disini, dokter yang merawatku.

"ibu…"

Seorang anak laki-laki yang kini sudah dewasa berdiri didepan pintu sambil tersenyum manis ke arahku,

"Ayah sudah menunggu didepan", tutupnya.

Aku membalas senyumanya dan menghampirinya, "Ayo." Jawabku.

Kami berdua bergandengan tangan menuju ke luar gedung ini, --Rumah Sakit Jiwa Harapan, sebuah plang berdiri kokoh di depan gerbangnya, juga seorang laki-laki berhati malaikat melambaikan tangannya kearah kami berdua sambil tersenyum.

"Aku tidak pernah mengutuk pernikahan, karena kini pernikahan adalah seperti sebuah nyanyian indah yang selalu memenuhi jiwaku."

###