Perahu Kecil Yang Goyah

"Mempertahankan sebuah rumah tangga yang sakit adalah lebih menyakitkan daripada mengakhirinya"

Pernikahan. Dulu aku menganggapnya adalah suatu impian yang sangat istimewa, layaknya kisah cinta Romeo dan Juliet. Namun setelah aku memasuki gerbangnya dan menapaki setiap anak tangganya, yang kudapati hanyalah sebuah kekecewaan dan rasa sakit yang begitu menghujam.

Aku tidak pernah mengutuk pernikahan! Kuakui bahwa ini semua adalah salahku.

Salahku yang begitu mempercayainya.

Salahku yang terlalu tinggi menggantungkan harap padanya.

Salahku yang mencintainya terlalu dalam.

Dan ketika aku tahu bahwa dia hanya memanfaatkanku, aku pun terjatuh dalam jurang keterpurukan.

###

"Kreeet…kreeeet…"

Pintu kayu di kamarku yang dibiarkan terbuka, tertiup angin, membuyarkan lamunanku, aku menatap sekeliling, 12 tahun aku berada di kamar ini, dinding dan atapnya sudah lapuk dimakan waktu, angin membelai jilbabku yang terjulur rapih, kutatap wajahku di cermin, kini aku sudah kembali menjadi seperti aku yang dulu, tak ada lagi beban ataupun masa lalu yang menghantuiku.

Aku hanya mampir saja ketempat ini—karena kebetulan kami melewatinya, dan dahulu suamiku pernah menjadi dokter disini, dokter yang merawatku.

"ibu…"

Seorang anak laki-laki yang kini sudah dewasa berdiri didepan pintu sambil tersenyum manis ke arahku,

"Ayah sudah menunggu didepan", tutupnya.

Aku membalas senyumanya dan menghampirinya, "Ayo." Jawabku.

Kami berdua bergandengan tangan menuju ke luar gedung ini, --Rumah Sakit Jiwa Harapan, sebuah plang berdiri kokoh di depan gerbangnya, juga seorang laki-laki berhati malaikat melambaikan tangannya kearah kami berdua sambil tersenyum.

"Aku tidak pernah mengutuk pernikahan, karena kini pernikahan adalah seperti sebuah nyanyian indah yang selalu memenuhi jiwaku."

###

Flashback…

PERAHU KECIL YANG GOYAH

01 Mei 1996

Rona bahagia terpancar di wajahku kala ia mengucapkan ijab-qabul di hadapan semua yang hadir. Gamis putih sederhana dengan jilbab terjulur rapih dan dibubuhi ronce melati, aku menjadi pengantin yang sangat bahagia. Tidak perlu waktu lama bagiku untuk dapat menerimanya menjadi partner hidup di sepanjang sisa usiaku, setelah menjalani proses ta'aruf sekitar 1 bulan lebih, kami merasa mantap untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Awal kehidupan rumah tangga kami memang sangat sederhana, tak punya rumah, bahkan dia dipecat dari pekerjaannya tepat di hari ketiga setelah pernikahan kami. Dan aku pun menguatkannya.

Sejak awal pernikahan, dia sudah menunjukan sikap buruknya, jika marah padaku, ia akan mengeluarkan kata-kata kasar untuk mencaciku, awalnya aku terkejut, tapi aku mencoba untuk memaafkan, dan kupikir segala hal buruk dalam dirinya akan hilang seiring berjalannya waktu selama kami bersama, namun ternyata aku salah.

Selama 1 bulan lamanya kami menumpang di rumah orang tuaku di Sragen, tepat di awal bulan baru, dia mendapat tawaran mengajar di sebuah pondok pesantren di kota Jogja, kami pun bergegas berangkat kesana. Dia mulai menapaki karir disana dengan gaji perbulan Rp. 500.000,00, kami mendapat fasilitas sebuah rumah sederhana dan sebuah sepeda onthel untuk dia gunakan sebagai alat transportasi ketika hendak berangkat mengajar. Ya, dia adalah seorang guru di sebuah pondok pesantren. Meski kami menjumpai banyak kerikil kecil diawal perjalanan kami, namun aku dan dia berusaha bersabar dan menerima keadaan masing-masing. Selang 1 bulan kami disana, kami mendapat amanah pertama kami, buah cinta kami yang dititipkan-Nya di rahimku.

Di kehamilan pertamaku ini, aku mengalami banyak keluhan fisik, mulai dari hyperemesis hingga berat badan yang turun secara total, tubuhku bagaikan tulang terbungkus kulit, aku tak dapat memakan apapun, semua makanan yang masuk pasti kumuntahkan kembali. rutinitasku setiap harinya hanyalah bedrest.

Lalu setelah beberapa bulan kami mengabdi di pondok pesantren tersebut, dia mulai memikirkan bahwa dia ingin mencari pekerjaan baru, karena dengan gaji segitu dia merasa kurang cukup apalagi beberapa bulan lagi akan ada anak, dan pastinya biaya pengeluaran akan bertambah, sehingga ia mulai menghubungi teman-temannya yang

###

20 Agustus 1996

*sebuah panggilan telepon masuk*

Ia menjawab panggilan tersebut dengan serius, terdengar suara seorang wanita berusia sekitar 40-an di seberang sana, rupanya wanita tersebut menawarkan dia sebuah pekerjaan sebagai seorang guru di pondok pesantren yang wanita itu kelola di kota Pekanbaru dengan gaji yang lebih menjajikan. Tanpa berfikir panjang dan berdiskusi lagi denganku ia memenuhi tawaran tersebut.

###

13 September 1996

Kami berdua tiba di bandara internasional Pekanbaru, sebuah mobil menjemput kami, kemudian mobil itu pun melaju membawa kami melewati begitu banyak pemandangan indah hingga kami sampai ke tujuan kami, Pondok Pesantren Putri An-Nuur. Disini, dia mengajar Bahasa arab tingkat SMA/MA (Madrasah 'Aaliyah).

Karena disini merupakan pondok pesantren putri, otomatis seluruh santrinya adalah perempuan.

Aku pun disini mendapat tugas sebagai wali asrama. Seorang wali asrama adalah yang bertanggung jawab atas seluruh keadaan asrama dan kegiatan santri di asrama dalam 24 jam. Dan aku berusaha untuk menyanggupinya. Di usia kehamilanku yang sudah masuk trimester kedua ini, alhamdulillah hyperemesisku sudah mulai hilang, kondisi fisikku pun berangsur membaik, namun aku tak pernah tahu, dan memang tak kan ada yang pernah tahu tentang segala ketetapan yang telah digariskan atas diri setiap hamba. Disinilah awal mula dari kehancuran rumah tanggaku. Dan aku tak kan pernah melupakan setiap rasa sakit dihatiku ini karena perbuatannya.

###

05 November 1996

Hari ini adalah jadwalku untuk memantau semua santri yang tengah bergotong royong merapihkan seluruh ruang di asrama, aku masuk ke setiap ruangan yang ada, memantau apakah ada yang terlewat untuk dibersihkan atau tidak, kemudian masuk ke setiap kamar santri, dan mengecek lemari mereka satu persatu, karena ternyata masih banyak saja santri yang membawa handphone diam-diam, di sebuah lemari aku menemukan beberapa "surat cinta", setelah aku bertanya milik siapa surat tersebut kemudian aku menyitanya. Kata-kata yang tertulis didalamnya bak pujangga yang sedang dimabuk cinta, penuh dengan gombalan! Ah siapa perduli, fase ini memang fasenya para remaja untuk merasakan jatuh cinta. Kubawa surat-surat tersebut kerumah, kusimpan dalam laci lemariku.

Selang 1 minggu kemudian, ketika aku hendak mengambil buku kas asrama di laci lemari, aku baru sadar kalau surat-surat santri yang kusita tidak ada disana, kucari disetiap sudut rumahku, tetap tidak menemukannya, sampai akhirnya aku bertanya pada suamiku, dan dengan cueknya dia menjawab tidak tahu.

###

15 November 1996

Aku mulai curiga dengan gelagat suamiku yang selalu begadang hingga lewat tengah malam, padahal yang ia lakukan hanya main handphone di ruang tamu, bahkan tak jarang ia sampai tertidur disana hingga pagi. Aku memang tak pernah memeriksa handphone suamiku, karena kupikir aku percaya padanya, hingga suatu pagi, ketika ia sedang mandi, aku buru-buru mengambil handphonenya dan ingin tahu apa yang ada di dalamnya, aku membuka sms-nya, namun semua isi kotak masuknya dihapus, lalu riwayat panggilannya,--dihapus juga, kemudian aku membuka galeri foto, kulihat isi galerinya perlahan, ada banyak foto disana, foto-foto aku dan suamiku, foto keluarga suamiku, foto pemandangan… lalu aku terkejut ketika melihat sebuah foto seorang anak remaja,--yang sangat kukenal! Didalam foto, remaja itu tersenyum sangat manis dalam balutan hijab warna merah muda,--terlihat sangat begitu cantik! Nafasku mulai memburu, tanganku gemetar saat kugulirkan lagi isi galeri tersebut, terlihat ada beberapa foto anak remaja tadi tanpa mengenakan hijab, rambutnya terurai melewati bahu dalam beberapa pose yang memikat. Namun begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, aku bergegas meletakkan handphonenya ke posisi semula, nafasku masih tidak teratur, dadaku terasa begitu sesak, namun kuambil nafas panjang dan mencoba untuk tenang, aku harus mendapatkan bukti lebih tentang spekulasi yang memenuhi isi kepalaku.

Aku menghampirinya, mencoba tersenyum manis dan bersikap sewajarnya, lalu aku berkata dengan pelan padanya, "boleh pinjam hp nya untuk kirim sms? Hp ku kehabisan pulsa." Dia melirikku sekilas lalu berkata tidak boleh karena katanya sedang terburu-buru sudah terlambat masuk kelas.

Rasa penasaranku semakin menjadi, aku harus bertemu dengan anak itu!

Kucari anak itu di asrama, dan aku menariknya ke sebuah ruangan kosong untuk bicara empat mata dengannya.

Kulihat tangannya gemetar, raut wajahnya menampakan rasa takut padahal aku belum mengajaknya bicara sepatah kata pun. Aku mengatur napasku, kuajak dia bicara pelan-pelan dari hati ke hati, dan sampailah aku menamparnya dengan pertanyaanku, "kamu sudah berapa lama berhubungan dengan ustadz?",

"maksudnya apa dzah? Ana gak ngerti." Jawabnya dengan suara parau.

huft…kupalingkan wajahku sejenak, kutarik napas panjang dan membuangnya.

"ustadzah, kemarin melihat foto-foto kamu di hp nya ustadz."

Dia tampak sangat terkejut dan ketakutan, "mm..sa..saya..saya..mm.."

"kenapa? kamu kaget? sekali lagi ustadzah tanya, ada hubungan apa antara kamu sama suami ustadzah!?" tanyaku sedikit membentak.

Tapi bukan jawaban yang kudapatkan, ia justru malah menangis sekeras-kerasnya, meraung-raung, hingga seluruh orang di asrama menghampiri kami berdua, "Li maa dza yaa ustadzah Farah?" (ada apa ustadzah Farah?)" tanya ustadzah Salamah yang ikut datang menghampiri kami.

Aku tersenyum kecut, "maa fii musykillah yaa ustadzah" (tidak ada masalah apa-apa, ustadzah).

Namun anak itu terus meraung-raung, dan aku pun beranjak pergi meninggalkan kerumunan itu.

Ah..napasku terasa tercekat, dadaku sesak, pikiranku berjejal dipenuhi beribu tanya.

###

Jika cinta tak lagi menaungi dengan hijaunya,

Maka apa lagi yang kuharapkan?

Bahkan akupun tak pernah tahu,

Cinta seperti apa yang kau punya?

Sanggupkah ia menghalau badai?

Atau tetap kuat dan kokohkah ia

ketika kemarau menghampiri?

18 November 1996

Braaaaakk

Dia membanting kursi lipat yang ada di dekatnya.

"Hancur katamu!? Rumah tangga kita memang sudah hancur sejak dulu! Kamu ngomong apa sama Maura sampai dia pulang kerumahnya karena sakit, hah!? Kamu ga mikir apa, psikis dia bisa hancur karena kata-kata kamu!" matanya melotot, telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arahku, menusuk.

"Dari mana kamu tahu kalau aku bicara dengan dia!? Ternyata benar kan, kalau kamu selama ini memang selingkuh sama anak itu!! Dia ngadu apa sama kamu!?? Sahutku dengan teriakan, tapi dia justru malah mendorong tubuhku, hingga aku terpental ke atas ranjang. Perutku terasa sakit.

"Psikisnya?? Kamu mengkhawatirkan psikisnya!? Apa kamu sama sekali ga pernah mikirin psikisku?? Aku istri kamu dan saat ini sedang mengandung anak kamu!!!" tangisku pecah, air mataku berhamburan.

"Ok, besok kita urus perceraian, setelah itu silakan kamu pulang kerumah orang tuamu." Balasnya, kemudian pergi meninggalkanku yang merasa hancur di jiwa dan ragaku.

Aku duduk termenung diatas ranjang, air mataku tak berhenti mengalir, pikiranku melayang,

teringat semua kenangan, saat ia menghampiriku, mengajakku berkenalan, lalu mencoba mengambil hatiku, dan setelah aku memberikannya justru dia malah menghancurkannya dengan cara yang sangat kejam.

Apa yang harus kulakukan? 3 bulan lagi aku akan melahirkan, tapi dia bilang akan menceraikanku demi anak itu? Aku disini sendiri, tanpa orang tua atau pun sanak saudara, apa yang harus kulakukan?

Aku bangkit dari dudukku, menyeka air mataku lalu pergi menemui mudir (pimpinan) ponpes.

"Assalaamu'alaikum," kuketuk pintu rumah mudir ponpes, dan tak lama pintu itu pun terbuka, "wa'alaikumussalaam..eh ustadzah Farah, silakan masuk." raut wajahnya sedikit berubah karena melihat mataku yang sembab.

"silakan duduk, ada apa ustadzah Farah?", istri mudir pun ikut menghampiri.

Aku bingung harus memulai dari mana, dan tiba-tiba tangisku pun pecah, istri mudir memberikanku beberapa tisu untuk menghapus air mataku dan mengusap-usap punggungku.

Kuceritakan semua yang terjadi tanpa ada yang kukurangi ataupun kutambah-tambahi.

Mereka berdua sangat terkejut mendengar semua ceritaku, kemudian istri mudir memelukku dan menguatkanku, dia berkata "kalau sampai ustadzah Farah cerai sama ustadz Farhan, Ummi akan tetap mempertahankan ustadzah Farah disini.

Setelah tenang, aku kembali kerumah, kubasuh tubuhku dengan air wudhu, kuambil mushafku dan kubaca ayat-ayat-Nya yang mampu menyejukkan hatiku,

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.." [Q.S. al-Baqoroh 155]

Aku merasa seperti ditampar membaca terjemahan ayat ini, mengapa aku tidak bisa untuk lebih bersabar? Padahal dunia dan seisinya hanyalah sementara, semua yang kumiliki sekarang akan sirna, dan aku pun akan kembali pada-Nya.

Biarlah semua ini mengalir sesuai dengan ketetapan-Nya, tugasku hanya ikhlas menjalani apa yang sudah dituliskan atasku.

Yaa Robb, ampuni segala kelalaianku, maafkan hatiku yang selama ini masih terpaut pada dunia, sehingga rasa sakit ini terasa begitu menusuk dada, ampuni aku.

Keesokan harinya, aku dengar kabar bahwa Maura dikeluarkan dari Ponpes, dan suamiku di panggil oleh mudir, sepulangnya kerumah, dia menemuiku dan menatapku bengis, "ngomong apa kamu sama mudir?! Enggak tahu malu, aib suami sendiri diumbar-umbar!!".

"Suami?? Siapa suamiku??? Bukankah kemarin kamu bilang akan mengurus perceraian hari ini!? Dan aku sudah mengiyakan, aku sudah ikhlas dan siap untuk berpisah dari kamu!" tepisku sambal menarik koper yang sudah kupersiapkan sejak tadi.

Aku menuju pintu, dengan perut besar aku membawa sebuah koper dan sebuah tas. Aku memang berniat untuk pergi. Ini bukan main-main ataupun sebuah gertakan. Namun sungguh tak kuduga, ketika aku menarik gagang pintu tiba-tiba dia memelukku dari belakang dan menangis, dia memelukku sangat erat hingga aku tak bisa melepaskan diri.

"maafkan aku, aku salah, aku khilaf, seharusnya aku gak ngelakuin hal itu, aku sudah melakukan kesalahan sama kamu," dia menarik tanganku dan berlutut, menangis sejadi-jadinya. Aku terkejut, karena baru kali ini aku melihatnya menangis.

"Aku gak bisa hidup tanpa kamu, jangan tinggalin aku." Lanjutnya lagi sambil terus menangis.

Air mataku pun mengalir, aku tak kuasa untuk membendungnya lagi, namun aku masih mematung tak bergeming.

apa yang harus kulakukan??

haruskah aku tetap pergi, meninggalkannya?

atau apakah aku harus memaafkannya?

dia yang sudah menghancurkan hatiku,

membuatku terpuruk,

namun entah mengapa aku begitu lemah saat melihatnya menangis,

aku..benci hatiku.

aku benci perasaanku padanya.

Aku menangis dan menunduk, merangkulnya.

Dia memelukku erat, sangat erat, dan berbisik "terima kasih sayang, aku janji gak akan melakukan hal seperti ini lagi."

Aku tenggelam dalam pelukannya dan berharap waktu bisa kuhentikan sejenak saja, aku ingin tetap seperti ini.

###