Perahu Kecil Itu Pun Karam

PERAHU KECIL ITU PUN KARAM

Entah mengapa malam terdengar menakutkan,

ia menjerit panjang, melolong tak terpejam,

bahkan deburan ombak itu pun riuh menertawakan.

Sungguh kasihan.

Sementara tubuhnya penuh luka,

saat senja merobek jingga dan membalut malam menjadi hitam-legam

kurasa kini hatinya sudah tak bernyawa.

Ia menyeretnya kesana-kemari,

berharap ada yang mengobati,

namun hanya hampa yang ia temui.

Haruskah ia tenggelam?—bersama bahtera yang kini telah karam.

**

Aku berdiri. Di depan sebuah kantor properti, kukuatkan diriku untuk melangkah masuk ke dalam nya. Di bagian depan aku bertemu dengan seorang front officer, aku bertanya padanya dimana ruangan sang manajer?. Namun dia meminta bukti janji temuku dengan sang manajer. Aku menatapnya tajam, kukatakan padanya bahwa aku adalah istrinya, dan anak yang kutuntun ini adalah anaknya, tapi dia tak mempercayaiku, serta dia mengatakan bahwa bosnya tersebut sudah mempunyai seorang istri dan itu bukan aku, lalu dia memperhatikan penampilanku dan anakku yang lusuh, dan memandang remeh kami berdua. Dari sinilah aku berontak, aku berteriak sekeras-kerasnya memanggil nama si manajer seperti orang kerasukan.

Akhirnya sang manager pun keluar dari ruangannya dan sangat terkejut melihat aku datang membawa Firdaus, ia terlihat gugup dan pucat pasi, namun aku menatapnya tajam dan dingin,

"Kenapa? Kau terkejut aku datang kesini? Aku lebih terkejut melihatmu bisa menjadi seorang manajer dan hidup enak dengan keadaan seperti ini! kali ini siapa lagi wanita yang kau nikahi? Apakah dia seorang konglomerat hingga dia bisa membelimu!!?."

Aku meracau, emosiku sudah tak terkontrol, aku terbakar oleh amarah. Dia membelalakan matanya, wajahnya merah padam menahan malu dan amarah karena kejadian ini ditonton oleh semua mata yang ada disana. Lalu tiba-tiba dia berteriak kepada salah seorang karyawan,

"Kenapa kamu membiarkan orang gila ini masuk kedalam kantor kita?? Usir dia!"

Tiba-tiba tangan mereka mencengkram kuat tubuh dan tanganku, berusaha mendorongku keluar,

"Hai Farhaaaan!" dengan lantang aku berteriak. "Baik kalau memang kamu menganggap aku gila, akan aku bunuh anak semata wayangmu ini".

Aku yang sudah kesetanan menarik Firdaus anakku yang paling berharga ke jalan raya tepat didepan kantornya, Firdaus hanya bisa menangis ketakutan melihat ibunya sudah berubah menjadi seorang iblis, kulihat dikejauhan sebuah truk sedang melintas dari arah kananku, secara tiba-tiba kulemparkan tubuh kecil Firdaus ke tengah jalan, aku berdiri mematung menyaksikan anakku, hartaku yang paling berharga jatuh terhempas ditengah jalan raya dan ia menangis ketakutan.

Seketika pikiranku kosong, nyawaku seperti terbang melayang, pandanganku buram, aku hanya bisa mendengar suara orang-orang ramai berteriak histeris, aku seperti tidak bisa mengingat apa yang sedang terjadi, lalu aku tersadar karena tangisan anakku Firdaus, sebuah tangisan yang sangat kukenal, tangisan yang membuatku rela begadang setiap malam saat ia masih bayi, bahkan aku mempertaruhkan jiwa dan ragaku agar aku bisa mendengar suara tangisan itu,

"hhhh" napasku menderu, dadaku bedegup sangat kencang, tubuhku seperti mati rasa.

aku mendengar mendengar suara ban mobil bermuatan besar itu bedenyit sangat keras dan melihatnya berhenti di depan tubuh mungil anakku yang sedang menangis, namun ternyata di sana pun ada seseorang yang sedang mendekapnya erat, ia duduk membungkuk tepat di depan roda truk yang nyaris menggilasnya.

Ternyata rasa itu masih ada dalam hatinya, ia rela mati demi anaknya, untung saja truk itu berhenti, jika tidak…mereka berdua pastilah sudah tak bernyawa, aku berlari menghampiri anakku, kulihat Firdaus menangis dalam dekapannya,

dan ketika aku hendak meraih anakku, Farhan mendorongku hingga aku jatuh tersungkur, lalu dia berteriak ke semua orang yang mengerumuni kami, "Bawa perempuan gila ini ke kantor polisi, dia sudah berusaha membunuh anaknya sendiri!"

Aku menganga, mataku terbelalak. Aku merasakan racun amarah ini semakin menjalar ke seluruh rongga tubuhku. Terdengar beberapa orang sibuk menghubungi polisi dan ambulan, pikiranku kembali melayang-layang, teringat saat bagaimana dia berjuang untuk mendapatkan hatiku, lalu berjuang untuk menikahiku, saat itu dia berkata bahwa akan membahagiakanku selamanya, akan menyayangiku dengan sepenuh hati, serta berjanji takkan pernah membuatku menangis, tapi justru kini dia adalah musuh terbesarku, orang yang paling membenciku, dan tak ingin melihatku ada didunia ini.

Otakku terasa kosong, seketika semua memori itu seperti tercabut sampai ke akar-akarnya.

Aku tersenyum menyeringai, sepertinya iblis merasukiku lagi, lalu entah dapat kekuatan dari mana aku menubruknya dan mencekiknya sekuat tenaga, mataku semakin membelalak, napasku tersengal, "Ini semua salah kamu Farhan, ini semua karena kamuuuu! Kamu memang pantas mati, kamu yang sudah membangun bahtera ini, dan kamu sendiri pula yang menenggelamkannya." Suaraku berat dan parau, seluruh tubuhku gemetar karena amarah, sedih dan luka yang bercampur menjadi satu, kulihat ia berusaha menarik tanganku dari lehernya namun tenagaku ternyata jauh lebih kuat, wajahnya memerah karena mulai kehabisan napas, orang-orang yang berada di sekitar kami pun berusaha menarikku,

dan tak berapa lama terdengar suara sirine mobil polisi,

mereka menarikku sekuat tenaga dan memborgol tanganku, aku masih meracau, juga menghentak-hentakan kakiku saat polisi itu membawaku pergi, jilbabku sudah tak karuan, dan seolah aku sudah tak perduli,

mataku sempat melirik Firdaus yang menangis sambil berlari berusaha untuk mengejarku.

Namun aku terus digiring oleh para polisi itu, meninggalkan langkah-langkah kecilnya yang terus berusaha mengejarku, air mataku tak terasa menetes, tetapi aku hanya diam menyaksikan anak semata wayangku berlari memanggilku.

Semua rasionalitasku hilang, apakah aku benar-benar sudah gila?

**

Kini hari-hariku hanya duduk termenung di balik jeruji besi, aku yang tak tahu kapan bisa keluar dari sini, atau mungkin aku akan berada disini seumur hidupku, aku tak pernah berbicara dengan siapapun, terkadang aku menangis tiba-tiba, mengingat semua yang sudah ku lakukan, mengingat semua usahaku untuk mempertahankan rumah tanggaku, tapi ternyata mempertahankan sebuah rumah tangga yang sakit adalah jauh lebih menyakitkan daripada harus mengakhirinya, aku menangis menyesali semua kebodohanku, dan tak jarang tiba-tiba aku pun tertawa, sepertinya karena setan sedang memujiku tindakanku.

Berbulan-bulan aku seperti itu, hingga akhirnya aku dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa, karena menurut mereka aku adalah orang gila.

Ya, mungkin memang benar bahwa aku sudah gila.

Aku sudah tak bisa mengingat ini hari apa, tanggal berapa, bulan apa, atau tahun keberapa,

bahkan aku sudah tidak bisa mengingat namaku, dan siapa diriku.

setiap hari yang kulakukan hanya tertawa, menangis, dan meracau.

Allah, maafkan aku,

karena aku tak mampu menyelamatkan bahtera kami yang kini berakhir karam, hingga kami semua tenggelam.

***