Lautan Gelap

LAUTAN GELAP

Angkasa berteriak,

beriak di laut dalam,

gelap-pekat,

dilahap malam,

tenggelam,

dalam dendam,

di sekujur luka yang terbungkam

Mungkin sudah bertahun-tahun aku di Rumah Sakit ini, aku tak bisa mengingatnya, yang ku ingat bahwa aku sudah melewati beribu malam dan siang di kamar berukuran 3x3 ini.

Hingga suatu saat di sore hari datang seorang anak laki-laki masuk ke kamar rawatku, entah berapa usianya, dia memakai seragam sekolah putih-abu, wajahnya teduh dan menenangkan, dia menghampiriku dengan lemah lembut, menyisiri rambutku yang sudah lama tak terbalut jilbab dan tak terurus.

Dia juga menyuapiku makanan yang ia bawa.

Aku benar-benar tak mengenalnya. Namun anak itu sangat baik padaku, ia tak pernah banyak berbicara, hanya menatapku sambil sesekali kulihat ia menghapus air matanya yang menetes. Aku hanya menatapnya dalam. Dan saat suara adzan maghrib berkumandang ia pamit kepadaku untuk pulang, anak itu selalu mencium tangan dan keningku sebelum ia pergi meninggalkanku.

***

Entah sudah kali keberapa anak itu datang menemuiku, dan ia selalu melakukan hal yang sama, terkadang ia membacakan sebuah buku untukku, atau menyanyikan sebuah lagu pengantar tidur yang sepertinya aku pernah mendengarnya, juga ia memberikanku alat tulis dan beberapa lembar kertas kosong, dia bilang jika aku merasa bosan aku boleh menulis atau menggambar apapun di kertas itu. Dan seperti biasa aku tak pernah merespon apapun yang ia katakan. Aku hanya selalu menatap wajahnya, wajah yang sepertinya kukenal.

Namun tanpa sadar, semua kertas kosong yang ia berikan kepadaku sudah habis terisi gambar dan coretan-coretan tulisanku, aku pun tak tahu apa yang kugambar dan kutulis.

Hingga suatu saat anak itu tak pernah datang lagi. Dan entah mengapa aku merasa kalau aku sangat merindukan kehadirannya.

Setiap kali perawat datang, aku selalu bertanya, apakah anak itu datang hari ini? dan sudah berapa lama ia tidak datang? Perawat selalu menjawab pertanyaanku dengan sabar, meski pertanyaan itu kutanya berulang kali dan mungkin setiap hari, hingga di suatu saat perawat itu bilang sudah 2 bulan dia tidak datang. Meski aku tak mengerti jawaban apa yang disampaikan oleh perawat itu, tapi aku tak pernah bosan untuk bertanya.

Aku juga meminta dibawakan beberapa lembar kertas kepada perawat tersebut, dan setiap kali kertas-kertas kosong itu habis, ia selalu membawakan beberapa lembar kertas lagi untukku, karena katanya aku sangat suka menulis dan menggambar, dan dia bilang bahwa hasil gambarku cukup bagus, walaupun aku tak tahu apa yang kutulis dan kugambar.

***

Pagi hari ini, entah di bulan dan tahun keberapa sejak aku menjadi penghuni kamar ini, aku berdiri mematung, membuang pandanganku ke luar jendela, aku sudah mandi dan sarapan pagi, aku melihat sebuah taman kecil, disana duduk seorang ibu bersama seorang anak laki-laki kecil memakai topi dan sedang memakan es krim, lalu entah kenapa es krim anak itu tiba-tiba terjatuh ke tanah kemudian ia menangis memangil ibunya,

tiba-tiba saja air mataku menetes, dan secara refleks bibirku bergerak mengucapkan sebuah nama "Firdaus", hingga akhirnya aku menangis sangat histeris yang membuat semua perawat yang berjaga berdatangan, lalu aku berteriak kepada mereka, "itu anakku…itu anakku," sambil menunjuk anak kecil yang berada di taman, para perawat itu tak memperdulikan perkataanku, karena aku terus meronta yang membuat mereka terpaksa mengikat kedua tanganku di sisi kanan dan kiri ranjangku, juga memberikanku obat penenang, dan tak lama aku pun tertidur.

Keesokan paginya, seorang dokter yang biasa menanganiku datang dan mengajakku berbicara,

"Sudah hampir 12 tahun ibu berada disini, baru kali ini ibu berbicara tentang anak ibu," dokter itu tersenyum dan melanjutkan perkataannya, "perawat mengatakan pada saya, bahwa kemarin ibu menyebut kata 'anakku' sambil menunjuk ke luar jendela, apakah ibu melihat seorang anak di luar sana?".

Aku mengangguk dengan cepat, lalu aku memberikan selembar kertas yang kusimpan di bawah bantal kepadanya, didalamnya ada sebuah gambar seorang anak laki-laki berusia 4 tahunan dan memakai sebuah topi, dokter itu terkejut melihat aku bisa menggambar dengan sangat baik.

"Apakah ini ibu yang menggambar?".

Aku memajukan wajahku ke arahnya dan menatap wajah dokter itu sangat lekat, lalu dengan cepat aku mengangguk,

dokter itu bertanya lagi, "siapa anak ini?".

"Anakku," sahutku cepat.

"Siapa nama anak ibu?".

Aku menarik kepalaku sedikit ke belakang diikuti bola mataku yang melirik ke kanan dan ke kiri tanda aku sedang berpikir, lalu aku menggelengkan kepala ke arahnya.

Dokter itu membuang nafasnya, dan tak lama, setelah ia rasa cukup berbicara denganku, ia pergi sambil menyerahkan sebuah amplop kepada seorang perawat yang biasa merawatku, lalu mereka membicarakan sesuatu yang tidak kumengerti di luar ruangan.

Aku seolah tak perduli dengan apa yang disampaikan oleh dokter itu, aku sibuk menatap keluar jendela.

***

Tahun ini,

musim gugur datang lebih awal.

Lampion di sebelah gedung tua itu kian meredup,

Semuanya gelap—bahkan lebih gelap dari bayangan.

Terasa dingin—hingga sulit bernapas.

Tak seperti biasanya,

musim gugur tahun ini seperti raga tanpa nyawa,

terdengar nyanyian sendu entah dari mana,

ah! apa itu hanya desiran hati?

***

Pagi ini aku mendapat sebuah surat, perawat yang mengantarkan surat itu pun membacakan surat tersebut untukku.

"Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Ibu, bagaimana kabarmu hari ini? Apakah rambutmu sudah tersisir rapih? Siapa yang menyuapimu makan saat aku tak datang? Atau membacakan cerita untukmu, atau menghapus air matamu yang sesekali menetes saat kau menatap wajahku.

Ibu, aku merasakan lukamu, aku pun terluka sama sepertimu, tapi aku mencoba untuk kuat dan bangkit disaat aku benar-benar terpuruk, karena kau pergi meninggalkanku saat itu, saat aku berlari hendak mengejarmu sambil menangis dan terus memanggilmu, namun saat itu kau sedikit pun tak menoleh ke arahku, Laki-laki yang sangat kau benci itu, dialah yang menyelamatkanku saat kau hendak menghilangkanku dari dunia ini, Ibu tahukah engkau? Jika aku mengingat semua itu, aku sangat membencimu, sampai saat kutulis surat ini, aku tak tahu mengapa kau tega melakukan hal itu kepadaku, karena bagiku, kau adalah satu-satunya orang yang kupercaya dan kusayangi, namun jika aku mengingat kembali saat-saat indah bersamamu sebelum hari itu maka hilanglah seluruh rasa benciku padamu. Kenapa kau tega mengorbankanku demi laki-laki yang katamu sangat kau benci? Apakah kau tidak benar-benar mencintaiku?

Laki-laki yang sangat kau benci itu adalah seorang laki-laki yang kupanggil ayah, sejak hari itu aku tinggal bersamanya dan bersama seorang wanita yang tak pernah menganggap aku adalah anak ayah, dia selalu menghinaku dan mengusirku jika ayah tak ada, hingga saat aku berusia 8 tahun, aku melarikan diri dari rumah wanita itu, aku mencarimu kemana-mana, hingga aku menjadi gelandangan, tidur di emperan toko, makan dari sisa makanan orang lain yang sudah dibuang, juga menjadi pemulung, pengemis dan pengamen agar aku bisa terus menyambung hidupku. Dan sejak saat itu ayah tak pernah mencariku. Mungkin kau benar, bahwa ia tak layak menjadi ayahku.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan seseorang yang mau mengulurkan tangannya untukku, Dia adalah seorang dokter relawan yang selalu peduli akan nasib anak-anak gelandangan, dia selalu menyempatkan datang ke sebuah pemukiman kumuh di bawah kolong jembatan, tempat dimana aku dan teman-temanku tinggal. Dia sering mengajak kami mengobrol, bercerita, dan menggali informasi tentang asal-usul kami, hingga ia menawarkanku untuk melanjutkan sekolah, dan tinggal di rumahnya bersama dengan teman-temanku yang lain, dengan berjanji padaku bahwa ia akan mencari dimana ibuku berada.

Akhirnya aku menerima tawarannya untuk bersekolah, di rumah itu aku belajar banyak hal, aku dan teman-temanku diajari sholat, membaca al-Quraan, adab-adab, dan masih banyak lagi, namun setiap kali berjumpa dengannya pula, aku selalu menagih janjinya, dia bilang belum saatnya, dan selalu seperti itu jawabannya, sampai aku sempat berpikir bahwa dia membohongiku.

Ibu, hampir di setiap malam aku bermimpi tentangmu, dan menangis seorang diri disaat terjaga, Aku begitu merindukanmu. Namun disaat itu juga aku bergegas mengambil air wudhu dan sholat 2 raka'at, mendoakan kebaikan untukmu juga ayah, karena kata dia kalau aku menjadi anak yang sholeh, maka Allah akan mempertemukanku denganmu.

Hingga di suatu hari, saat aku sudah menginjak bangku SMA, dokter itu mengatakan bahwa dia akan mempertemukan aku dengan ibuku, aku sangat senang mendengarnya, aku benar-benar tak sabar menunggu hari itu tiba.

Dan ternyata dia benar-benar memenuhi janjinya padaku bu, ia mempertemukanku padamu.

Hari itu, dengan perasaan gugup aku mengikuti langkahnya, menyusuri setiap lorong rumah sakit, melewati puluhan kamar rawat, lalu langkahku terhenti ketika dia menghentikan langkahnya, kami berdiri di depan sebuah kamar rawat, yang di dalamnya ada seorang wanita, rambutnya sedikit tidak rapih, wanita itu duduk menghadap ke sebuah jendela, mata sayunya membuang pandang kearah luar,

Aku dan dokter itu saling berpandangan, Laki-laki itu menyuruhku masuk ke dalam kamar itu, dengan perlahan, dan memberanikan diri, aku masuk ke dalam dan kuperhatikan wajah wanita itu dengan seksama, sepasang mata yang sangat kukenal, mata yang dahulu selalu terjaga saat aku sakit, dan selalu membuat hatiku teduh saat memandangnya.

Entah kekuatan apa yang mendorongku, seketika kakiku melangkah menuju wanita itu, aku mendekatinya, dan memanggilnya ibu.

Kau menoleh ke arahku, menatapku lekat dan dalam, lalu tiba-tiba kulihat air matamu menetes, meski kau tak mengatakan apapun, tapi aku yakin kau mengenaliku. Aku menangis bu melihat kondisimu, ingin rasanya aku memelukmu dan membawamu pergi dari rumah sakit itu.

Sejak hari itu, aku rutin mengunjungimu, menyuapimu, membacakan cerita untukmu, menyisir rambutmu dan menyanyikan lagu yang sering kau nyanyikan untukku dikala aku hendak tertidur.

Ibu, apa kau ingin tahu, siapa laki-laki berhati malaikat itu? Dia adalah dokter ahli jiwa di sebuah Rumah Sakit Jiwa di kota ini.

Dan ternyata, dialah dokter yang merawatmu selama ini.

Dia kini sudah mengangkatku menjadi anaknya, si kecil Firdaus berusia 4 tahun yang hari itu kau tinggalkan, kini sudah tumbuh dengan sangat baik, Ayah angkatku benar-benar membesarkanku seperti anaknya sendiri, meski ia tak mempunyai anak dari istrinya yang sudah lama meninggal. Dia adalah orang yang sangat baik, bu. Sehingga kau tak perlu mengkhawatirkan keadaanku.

Kini aku sedang fokus pada ujianku, sehingga maaf jika sudah lama aku tak mengunjungimu lagi, aku akan sering mengirimimu surat agar kau tak pernah merasa kesepian, juga agar ingatanmu segera pulih kembali,

Aku selalu berdoa untuk kesembuhanmu dan berharap suatu saat nanti kita akan berjalan bersama sambil bergandengan tangan. Aku sangat menyayangimu ibu.

Anakmu,

Firdaus

***

Aku mendengarkannya membacakan surat itu dengan seksama, tak terasa air mataku menetes.

Tiba-tiba, otakku seperti memutar sebuah video yang bisa kusaksikan dengan mataku sendiri, entah darimana asalnya, mataku terbelalak lebar menyaksikan seluruh rangkaian video itu,

video itu memutar segalanya, aku melihat diriku sendiri dengan pakaian terbalut rapih, wajah yang teduh, tertawa bersama teman-temanku di bangku sebuah kampus terkenal di kota Solo, lalu seketika video itu seperti menarik diriku kuat ke suatu momen dimana aku sedang memakai gaun pengantin sederhana dan mendengar seorang laki-laki dengan lantang mengucap ijab dan qabul atas namaku saat usiaku baru menginjak 22 tahun, hingga tiba-tiba aku melahirkan seorang bayi laki-laki, lalu bayi itu tumbuh dengan baik.

Aku bisa melihat segalanya dengan jelas, bahkan segala tangisan juga amarahku semuanya dapat kulihat, hingga klimaksnya aku melempar anak laki-laki yang begitu berharga bagiku ke tengah jalan raya, dimana tiba-tiba video itu berhenti dan suara ban mobil berukuran besar yang di rem mendadak berdenyit sangat jelas di telingaku lalu disusul suara jerit tangis anak yang kulempar itu, seketika tubuhku gemetar hebat, jantungku berdegup tak karuan, mataku terbelalak, kepalaku sakit, aku merasakan aliran deras darahku di seluruh syarafku

Aku bangkit dari dudukku, berkata pada perawat yang membacakan surat untukku, "suster, saya ingat semuanya, suster! anak saya Firdaus, saya harus mencari anak saya suster, saya harus pergi sekarang."

Suster itu terkejut dengan responku, "ibu ingat semuanya?? Tenang bu, kita harus bertemu dokter terlebih dahulu untuk mengobservasi kondisi ibu."

Dia menggenggam kedua tanganku erat, namun aku berusaha melepaskannya, "Saya harus mencari dan menemukan Firdaus anak saya susteeeer…!!!" aku berteriak keras, lalu aku menangis sesegukan,

Apa yang aku lakukan disini? Kenapa aku meninggalkan Firdaus sendirian diluar sana?

aku menangis sejadi-jadinya, dan perawat tadi bergegas keluar dari kamarku tanpa lupa mengunci pintu. Aku menangis sejadi-jadinya, kepalaku sakit sekali.

Keesokan harinya suster tadi pun datang bersama dengan seorang dokter wanita, kulirik nama yang tertera di jas putihnya, dr. Niken Wahyu, ternyata dokter yang biasa merawatku—yang tidak pernah kutahu namanya, sudah tidak lagi bekerja di Rumah Sakit Jiwa ini sejak seminggu yang lalu, saat ia memberikan sebuah surat ke perawat hari itu adalah saat terakhir ia berada disini.

Aku dan dr. Niken berdialog banyak.

Dia memberikanku banyak sekali pertanyaan, juga memberitahuku tentang segala pesan yang dr. Adam titipkan kepadanya.

Aku menunduk, menangis saat mendengar dr. Niken berkata bahwa dr. Adam lah yang mengasuh Firdaus selama 13 tahun belakangan ini,

dr. Niken memelukku, dan mengatakan padaku bahwa seluruh ingatanku telah pulih, namun aku masih harus menjalani perawatan hingga aku benar-benar dinyatakan sehat dan normal kembali, juga statusku sebagai tahanan sudah dicabut sejak 5 tahun yang lalu sejak aku divonis sebagai orang gila.

Tak lama, kamarku pun dipindahkan ke kamar observasi dekat paviliun dan taman kecil yang biasa kupandangi, alhamdulillah, aku lebih merasa tenang dan nyaman disini, dr. Niken memberikanku sebuah buku kosong yang tebal, beliau bilang kalau hobiku adalah menulis dan menggambar, maka aku dimintanya untuk membuat sebuah cerita yang kualami sendiri, dan aku pun mulai menulisnya.

***