Langit Biru

LANGIT BIRU

Kukira aku sudah mati tenggelam

bersama perahuku yang telah karam,

namun ternyata aku masih bertahan diatas puing-puing tajam.

Kulihat badai sudah pergi,

Dan gelombang pun membawa tubuhku ke tepi,

Aku berbaring di atas pasir yang sepi,

Menatap hamparan langit biru yang berempati.

**

"Selamat pagi, Bu Farah", dr. Niken menyapaku. "Pagi dokter Niken." Sahutku.

"Bagaimana kabar Ibu hari ini?" lanjutnya lagi. Aku tersenyum manis sambil merapikan jilbabku yang dibelai angin, "Seperti yang dokter Niken lihat, saya sangat baik dok, alhamdulillah."

"Ibu masih lanjut menulis?"

"Ya dok, saya masih harus menyelesaikan novel saya sebelum saya keluar dari Rumah Sakt ini." Jawabku sambil tertawa kecil.

"Oke deh, kalau begitu saya ga mau ganggu Bu Farah, saya mau lanjut visit yang lain dulu ya.." dr. Niken sedikit mengajakku bercanda sebelum akhirnya dia pergi membiarkanku sendiri di taman kecil ini untuk menyelesaikan proyek tulisanku.

Ya, seperti inilah kegiatanku kini, selama masa observasi ini, aku menyibukkan diriku dengan menulis, aku suka menulis sejak aku masih duduk dibangku sekolah dasar, aku pernah menjadi juara 1 dalam lomba menulis cerpen tingkat nasional saat aku duduk di bangku MTs (Madrasah Tsanawiyah), bisa dibilang, aku sudah mencetak banyak prestasi dalam bidang kepenulisan, namun semua itu terhenti saat aku menikah, karena kesulitan ekonomi, aku harus menjual komputerku dan juga pikiranku saat itu tak bisa fokus untuk menulis.

Kini aku memberanikan diri untuk menulis lagi, kali ini aku sedang menggarap sebuah novel yang alur ceritanya kuangkat dari kisah hidupku sendiri.

Oh ya, karena kamar rawatku sudah dipindahkan ke unit observasi, kini aku bisa melakukan apapun sendiri, namun tetap saja setiap harinya para dokter juga perawat yang bekerja disini selalu 'menyempatkan' diri untuk mengunjungiku dan mengajakku berdialog, karena dengan hal itulah mereka bisa melihat sejauh mana perkembanganku.

Ini sudah 3 bulan sejak aku di observasi. Sore ini, perawat memberitahukanku bahwa ada sebuah paket untukku di lobby Rumah Sakit, aku sudah bisa menebak siapa pengirimnya, aku setengah berlari menuju lobby, dan saat sampai di lobby, aku sangat terkejut melihat sebuah wajah yang sangat tidak asing bagiku selama beberapa tahun belakangan ini, ternyata pria tersebut adalah sang pengantar paket.

Pria itu memiliki mata yang teduh seteduh hatinya, badannya tinggi besar, kuperkirakan tingginya sekitar 180-183 cm, ia mengenakan kemeja biru tua bergaris hitam dan celana hitam panjang,

Kutatap wajahnya lekat, baru kali ini aku benar-benar menatap wajahnya, kulitnya putih bersih, alisnya tebal dan rapih, kumis dan janggutnya dibiarkan tumbuh tipis, kulihat senyumnya mengembang, membuat wajahnya terlihat semakin menawan,

"Assalamu'alaikum, Ibu Farah, apa kabar?" suara bariton itu tiba-tiba membuyarkan lamunanku, suara yang sudah cukup lama tak kudengar lagi.

"Emmm, saya baik, alhamdulillah, Dokter sendiri bagaimana kabarnya?" balasku salah tingkah, sambil mencoba menundukkan pandanganku.

"Seperti yang Ibu lihat kondisi saya sangat baik, alhamdulillah. Saya sangat senang sekali mendengar kabar pulihnya Bu Farah, Firdaus pun demikian, saya ada keperluan sehingga saya pulang lebih awal ke Indonesia, dan Firdaus meminta saya untuk menyampaikan paket ini pada Bu Farah," kata-katanya sungguh bersahaja, membuatku memalingkan muka kesana kemari.

"Ternyata dalam balutan hijab, Bu Farah terlihat menjadi semakin cantik, eh mohon maaf apabila kata-kata saya.." kalimat yang keluar dari mulutnya ini membuatku terdiam dan semakin salah tingkah, aaah apa yang terjadi dengan diriku, kenapa dadaku malah berdetak tak karuan? Kulihat wajahnya sekilas, terlihat kikuk dan memerah, ia pun sepertinya salah tingkah menahan malu. "Tidak..ti..tidak kok Dok, tidak apa-apa, terima kasih." tepisku, berusaha mencairkan suasana.

"Oh ya Dok, terima kasih atas semuanya, terima kasih sudah menjaga dan membesarkan Firdaus, sehingga kini dia tumbuh dengan sangat baik. Saya tidak bisa membalas apa-apa, kecuali doa semoga Allah yang membalas semua kebaikan dokter." Mataku mulai sedikit berkaca-kaca.

Ia tersenyum, "Tidak perlu berterima kasih Bu, Firdaus kini juga anak saya, Allah lah yang menjaganya Bu, dengan penjagaan terbaiknya, saya hanya seseorang yang ditunjuk Allah untuk membersamainya, Firdaus memang anak yang baik dan, sholeh, dan saya yakin itu semua adalah berkat didikan seorang Ibu yang baik." meneteslah air mataku mendengar jawabannya.

"Hem...baiklah Bu, saya pamit dulu, Assalamu'alaikum."

Beliau pun mencoba menutup percakapan kami agar aku tidak terlalu terhanyut dalam suasana dan berlalu dari hadapanku setelah aku menjawab salamnya.

Aku bergegas masuk ke dalam dan membuka paket besar dari anakku. Setelah kubuka, ternyata isinya adalah foto-foto Firdaus dan dr. Adam selama di Belanda, makanan, hijab, telepon genggam, dan sebuah surat. Firdaus dan dr. Adam pindah ke Belanda untuk melanjutkan sekolah mereka berdua. Kulihat foto-foto mereka, Anakku, sudah tumbuh besar, wajahnya menjadi terlihat sedikit berbeda dengan janggut yang dibiarkan tumbuh. Aku merindukannya. Kubaca isi surat yang Ia tulis,

Assalamu'alaikum, wr. wb

Ibu bagaimana kabarmu? Aku sangaaaaat merindukanmu, aku membeli sebuah telepon seluler dari hasil uang tabunganku untukmu, agar aku bisa menghubungimu kapan saja tanpa harus kirim surat lagi, karena kau tahu kan kalau surat itu akan lama sampainya, dibalik sampul box paketnya ada sebuah simcard yang ayah belikan di Indonesia untukmu, masukanlah simcardnya lalu aktifkan handphone nya, dan kirimi aku pesan di nomor ini +3132xxxxxxx, kemudian aku akan menghubungimu.

Firdaus

Aku segera melepas sampul box paket ini untuk mencari simcard yang dimaksud, dan setelah menemukannya aku mengikuti petunjuk yang disampaikan anakku, lalu aku mengiriminya pesan, dan selang 15 menit ada panggilan masuk dari nomor tersebut, aku segera menjawabnya,

"Assalamu'alaikum," ucapku membuka percakapan.

"Wa'alaikumusalam, ibu…" jawab sebuah suara di seberang sana, suaranya terdengar agak berbeda dari suara anak yang dulu sering menemuiku, sekarang terdengar agak berat, seperti suara seorang laki-laki dewasa. Aku terdiam beberapa detik, hingga membuat pemilik suara di seberang sana melanjutkan perkataannya,

"Bagaimana kabarmu ibu? Ini aku Firdaus, anakmu. Aku dengar kalau sekarang ibu sedang aktif menulis ya?"

Aku menjawabnya dengan sangat ragu-ragu dan canggung, "Ya Nak, alhamdulillah kondisi ibu sangat baik. Ya, betul.. Ibu sedang mencoba menulis sebuah buku" Kalian tahu bagaimana rasanya berbicara pada seseorang yang sudah sangat lama sekali tidak berjumpa dengan kita meskipun orang itu adalah keluarga kita sendiri, apalagi kini dia sudah sangat berubah, dia adalah seorang laki-laki dewasa. "Lalu bagaimana kabarmu Nak, Ibu...merindukanmu, kapan kamu akan kembali?"

"Insya Allah 2 bulan lagi aky memasuki liburan semester, dan aku akan pulang saat itu untuk bertemu dengan Ibu, insyaa Allah, doakan yang terbaik ya Bu untuk aku disini.." Kami berdua tiba-tiba saja terhanyut dalam obrolan yang panjang, kesana-kemari, membahas hal apapun kecuali masa lalu yang pahit, seolah dia tak ingin membuka kembali luka ibunya. Tak terasa sudah 2 jam kami becakap-cakap, dan adzan maghrib pun berkumandang, aku izin pamit pada anakku, Ia pun demikian, Ia bilang bahwa sebentar lagi adalah waktu dzuhur disana. Setelah kami mengucapkan salam, aku menutup teleponnya.

Allah,

sungguh betapa baiknya Engkau kepadaku, ribuan karunia-Mu, Kau limpahkan padaku, sungguh tak pantas rasanya bagiku untuk meminta apa-apa lagi dari-Mu,

Terima kasih Yaa Allah atas semua curahan kasih dan sayang-Mu untukku dan anakku.

Aku menangis dalam sujudku, bersyukur karena Allah senantiasa menyayangiku. Tak pernah Dia berpaling dariku meski aku melakukan kesalahan berulang kali, Dia tetap mencintaiku.

---

Dibawah langit biru yang menengadah,

Aku bersimpuh, Pada-Mu Yang Maha Indah.

***