Ketika rahasia besar terungkap.
Saat tabir kelam terbuka.
Haruskah aku lari dan menutup mata?
Atau mendekat dan menghadapinya?
***
Bola itu terus menggelinding menjauh ke dalam semak. Entah sampai mana, karena Arrio cukup sulit menemukan bola itu berhenti. Dia melihat terus ke langkah kakinya sendiri. Demi menemukan jejak bola itu sekarang. Tapi justru bukan itulah yang ditemukan oleh Arrio saat ini.
Pria itu malah melihat seseorang yang berdiri di hadapannya sambil membawa bola milik mereka di tangan kanannya. Seorang pria yang sudah cukup berumur dan sepertinya sebaya dengan Margareth, jika Arrio tidak salah menebak usianya.
"Terima kasih sudah mengambilkan bola kami," kata Arrio dan ingin mengambil bola itu dari tangan si pria.
Tapi pria itu justru melangkah mundur. Membuat Arrio bingung dan mengernyitkan keningnya. Semakin Arrio melangkah maju dann mendekati pria tersebut. Lagi – lagi pria tersebut melangkah menjauh dan berusaha menghindari Arrio. Tidak berlari. Hanya melangkah sesuai dengan gerakan Arrio sebelumnya. Dua langkah maju dari Arrio. Maka dia pun akan mundur dua langkah juga. Begitu seterusnya, sampai Arrio merasa sedang dipermainkan oleh pria asing itu.
"Jangan main – main. Kalau kamu mau bergabung main bola dengan kami. Katakan saja," ucap Arrio.
Tapi pria itu hanya mengulas senyum tipis dari sudut bibirnya yang terangkat. Dan kembali melangkah mundur terus menerus.
Hingga tanpa sadar, si pria telah membawa Arrio masuk ke dalam sebuah tempat yang dipenuhi pepohonan. Tempat yang mirip seperti sebuah hutan dan tidak ada satu manusia pun yang ada di sana. Sepi, sunyi dan hanya tiupan angin yang terdengar dari telinga Arrio.
Pemuda itu tak sadar bahwa dia sedang dibawa ke dunia lain yang tak pernah dibayangkan. Sebuah dunia yang berada jauh dari taman kota, tempatnya melakukan piknik bersama anak – anak lain dan Margareth. Melewati pintu waktu yang tak pernah terjamah.
Langkah pria asing tersebut berhenti. Seketika dia menyadari sudah mendapatkan yang dirinya mau. Membawa Arrio ke tempat ini.
Senyum di wajahnya semakin jelas terlihat. Seiring cahaya matahari yang semakin memudar dan perlahan menghilang ditelan kabut hitam. Cuaca hangat cenderung panas yang sebelumnya dirasakan, kini berganti menjadi dingin yang menusuk tulang. Angin pun bertiup tak kalah kencang, seolah ingin menerbangkan semua pohon di hutan itu. Agar tercabut dari akarnya. Bola di tangan kanannya terjatuh. Kembali menggelinding menjauh dari jangkauan siapa pun. Termasuk pemuda yang berdiri tertegun di hadapannya saat ini.
Tidak ada pancaran rasa takut dari sorot mata Arrio saat melihat semua kejadian aneh di sekelilingnya sekarang. Terkejut dan bingung. Hanya itu yang bisa menggambarkan bagaimana Arrio merasakan hati dan pikirannya saat ini. Dirinya terus bertanya – tanya, soal apa yang sebenarnya tengah terjadi saat ini. Di mana dia, dan siapa pria di hadapannya sekarang. Juga kenapa dia bisa terseret ke tempat mengerikan ini.
"Sudah ku duga…" suara berat pria itu terdengar.
Senyuman itu masih saja tersungging di bibirnya yang terlihat cukup lebar.
"Kau tidak merasa takut dengan semua yang aku tunjukkan di sini…" katanya lagi.
Arrio benar – benar gila. Entah apa yang dipikiran pria itu saat ini sampai dia justru berkata dengan lantang kepada orang asing itu.
"Apa yang membuat aku harus takut pada manusia seperti dirimu?" tanyanya.
Pria itu lantas tertawa keras. Tawanya begitu menggelegar hingga suaranya menggema ke seluruh sudut hutan. Melewati batang – batang pohon yang kokoh dan besar. Menggaung seperti auman singa yang mampu membuat bulu kuduk Arrio cukup merinding, sejujurnya.
Mencoba tetap tenang dan waras, Arrio mengabaikan semua perasaan tersebut.
"Jelas saja kalau kau tak merasakan ketakutan yang seharusnya dirasakan oleh setiap orang. Seperti mereka yang pernah bertemu langsung denganku. Sebab…" pria itu diam sejenak dan menyeringai, lalu kembali berkata, "sebab kau sama seperti diriku… kau adalah manusia serigala. Hahaha…" tawanya kembali terdengar.
Prok prok prok!
Arrio bertepuk tangan dan tertawa nyinyir di hadapan pria asing itu.
"Terima kasih banyak untuk pertunjukkan sulapnya. Tapi aku harus segera kembali ke keluargaku di sana." Arrio kemudian langsung berbalik badan dan melangkah menjauhi pria asing itu tanpa menunggu lama.
Walaupun Arrio sendiri tidak yakin dia bisa kembali. Karena tidak tahu di mana dia saat ini. Setelah pria asing itu dengan kurangajar nya membawa dia ke tempat ini. Tapi Arrio sudah bertekad, dia sudah malas mengikuti permainan si pria asing. Dan tiba – tiba merasa rindu dengan keluarganya.
Tapi sekali lagi, si pria menghalangi jalannya dengan muncul tiba – tiba di hadapan Arrio yang entah dari mana.
"Kau sudah membaca suratku. Jadi seharusnya kau sudah tahu bahwa mereka bukanlah keluargamu yang sesungguhnya," katanya dengan suara yang lebih serius.
Sekarang, ekspresi si pria terlihat lebih tenang dan sungguh – sungguh. Kini dia tahu, bahwa Arrio bukan orang yang mudah dipermainkan.
"Jadi kamu, orang iseng yang mengirimkan itu padaku?" tanya Arrio lagi.
"Apa kamu tidak mau tahu soal keluargamu yang sesungguhnya?" tanya si pria itu lagi. "Apa kau benar – benar sudah menganggap mereka yang duduk di sana itu sebagai keluargamu?" katanya lagi.
Arrio diam dan tak menunjukkan ekspresi apa pun.
"Malam nanti. Menjelang tengah malam. Pergilah ke hutan yang ada di pinggiran kota. Maka kamu akan mengerti semuanya," ujar si pria yang kemudian menghilang dari hadapan Arrio dalam sekejap.
Bukan sihir. Tapi gerakannya sangat cepat hingga Arrio sulit melihat ke mana pria itu pergi. Dan seketika setelah dia menghilang, Arrio seperti terlempar lagi ke tempat sebelumnya dia menghilang. Bahkan bola yang sebelumnya menggelinding entah ke mana, sekarang pun sudah ada tepat di bawah kaki pemuda itu.
Satu hal yang Arrio tahu dari semua ini. Bahwa pria itu bukan orang sembarangan.
**
Malam menjelang dan waktu semakin berputar. Arrio tak bisa tidur sekarang, meski tubuhnya terasa sangat lelah setelah melakukan piknik bersama dengan anak – anak panti asuhan. Tapi matanya bahkan sulit terpejam. Entah karena Arrio yang terbiasa berkegiatan di malam hari. Atau memang karena pikirannya yang tengah kacau saat ini.
Tapi jam dinding yang menunjukkan waktu, seolah menarik Arrio untuk terus memperhatikan setiap gerakan jarumnya.
Sudah hampir tengah malam. Seperti yang dikatakan oleh pria tadi. Waktunya tinggal beberapa menit, tapi Arrio belum memutuskan apakah harus pergi atau tidak. Dan saat keyakinannya mulai goyah, saat itu pula jendela kamar Arrio terbuka bersamaan dengan terpaan angin besar yang memasuki ruangan melalui jendela.
Sekelebat bayangan terus menerus lewat di hadapan Arrio.
Pria itu lagi!
"Aku tahu kau tidak akan mau datang dengan keinginanmu sendiri." Pria itu kembali berkata dengan suara lantangnya.
"Aku tidak perlu bertemu dengan siapa pun. Aku juga tidak perlu mengetahui apa pun. Dan aku tidak ingin melakukan semua itu," tegas Arrio.
"Hahahaha…" tawa keras pria itu kembali terdengar.
Membuat Arrio menjadi semakin muak dengan permainan ini.
"Aku adalah ornag yang membawamu ke tempat ini. Karena permintaan orang tuamu dulu. Dan aku datang ke sini, supaya kau bisa membalaskan dendam kedua orang tuamu yang tewas 20 tahun lalu…" kata pria tersebut.
"Mereka menyuruhmu membuangku ke tempat ini. Lalu aku harus membalaskan dendam mereka, tanpa tahu alasannya?" tanya Arrio.
"Mereka tidak membuangmu. Mereka terpaksa meminta aku untuk membawamu ke tempat ini. Karena itu adalah jalan satu – satunya, agar kau tetap hidup. Mereka… melindungimu sampai akhir nafas. Dari kekejaman keluarga itu," kata si pria lagi.
"Aku tidak akan percaya begitu saja dengan ucapanmu."
Pria itu lalu tersenyum dan masuk ke dalam kamar Arrio dengan paksa. Dan berjalan mendekati Arrio lagi.
"Di belakang punggungmu. Di sebelah kanan. Ada sebuah tanda," ungkap pria itu mengejutkan Arrio.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Kenapa aku bisa mengetahui itu, kalau aku membohongimu? Sementara tanda lahirmu itu, hampir tak terlihat jika dipandang dari mata orang awam yang lain?" katanya lagi dengan sangat meyakinkan.
Arrio menghela nafas dan menatap lagi pria itu dengan sangat tajam.
"Berikan bukti konkritnya ke hadapanku. Soal aku percaya atau tidak. Itu adalah urusanku sendiri. Tapi kau tidak boleh macam – macam. Kalau aku tahu, semua yang kamu katakan tadi hanya tipuan. Maka kamu akan langsung berhadapan denganku," jawab Arrio.
"Untuk apa aku membawakan bukti padamu. Kalau kamu sendiri, adalah bukti yang selama ini kamu cari?" kata si pria. "Makanya aku katakan tadi, bahwa kau harus datang ke hutan kota malam ini. Agar kamu bisa membuktikan sendiri, apa yang aku ucapkan."
Setelah berkata demikian. Lagi – lagi pria itu menghilang dari pandangan Arrio. Meninggalkan sebuah pertanyaan dibenak si pria.
"Apa aku harus melakukan yang dikatakannya?" batin Arrio kemudian.
***