Bab 4 - Aku, Manusia Serigala.

Bulan bersinar terang. Mengubah langit hitam menjadi kelabu.

Saat itu, tanda ini bersinar dan mengubahku.

Atau malah menunjukkan jati diriku?

***

Arrio semakin bimbang. Kepalanya berteriak. Menolak semua kenyataan yang dia lihat saat ini. Tapi hatinya justru semakin meyakini, bahwa semua ini adalah benar. Semakin Arrio berusaha mengabaikan fakta itu, semakin hatinya bergejolak. Dan saat itu pula, kakinya seolah ingin lari dari tempatnya berada saat ini. Menuju hutan, tempat yang dikatakan oleh pria asing itu sebelumnya.

"Aaarrghhh!" teriakan Arrio tak tertahan.

Dia mengunci pintu kamarnya rapat – rapat. Dan membuka jendela kamarnya lebar – lebar. Angin malam yang berhembus kencang, seolah mengajak Arrio untuk bergabung ikut serta. Saat itu, Arrio sudah ada di muka jendela dan bersiap keluar.

Apapun yang akan dia hadapi dan temui. Hanya satu yang dia harus lakukan saat ini. Yaitu membuktikannya secara langsung.

Dan dengan keyakinan dihatinya yang mulai bersorak. Arrio melompat keluar jendela dan berlari menuju hutan di pinggiran kota, yang letaknya memang tak terlalu jauh dari rumah panti asuhan tempatnya tinggal. Kakinya melangkah cepat. Sampai Arrio pun merasa terkejut dengan kemampuan berlarinya saat ini.

Bulan yang bersinar terang, masih tertutupi sebagian oleh awan kelabu di atas langit.

Namun saat Arrio mulai masuk ke dalam hutan. Terengah – engah dan merasa kelelahan. Awan kelabu itu mendadak bergeser tertiup angin. Yang membuat bulan itu sepenuhnya utuh terlihat bersinar di atas langit. Bulan besar berwarna putih, yang menarik perhatian Arrio seketika.

"Aaargghh!" teriak Arrio.

Punggungnya panas dan sakit. Tepat di bagian tanda lahir yang selama ini tersembunyi di belakang tubuhnya. Pria itu menggeliat kesakitan dan berusaha membuka baju yang dia pakai, karena tak tahan dengan rasa perih dan terbakar di punggungnya sekarang.

Tanda itu bersinar ketika cahaya bulan menimpanya. Sinar terang yang membuat Arrio semakin merasa kesakitan.

Dan saat itu pula. Semua perubahan itu muncul dan terjadi.

Sekujur tubuh pria itu mulai ditumbuhi bulu – bulu tebal yang tajam seperti anjing. Telinganya juga mulai berubah menjadi runcing. Bahkan wajah Arrio saat ini pun sudah mulai berubah layaknya serigala yang memiliki moncong besar, juga gigi taring tajam. Semua perubahan tak berhenti di sana. Karena tangan pria itu berubah bentuk dan tubuhnya mulai membungkuk. Hingga berubah postur layaknya seekor anjing serigala.

Kini pandangan mata Arrio juga langsung berubah. Dia yang awalnya sulit melihat di waktu gelap dan di tengah hutan. Justru bisa melihat dengan jelas, menggunakan mata serigalanya sekarang.

Lenguhan nafas Arrio yang terkejut dan sisa rasa sakit yang dia rasakan terdengar. Seolah memanggil kawanan binatang lain untuk menatap padanya.

"Kau adalah manusia serigala…" suara itu terdengar lagi.

Arrio berbalik dan menemukan pria asing itu sudah berdiri tepat di hadapannya.

"Katakan apa saja yang kau mau. Aku bisa memahami bahasamu," ucapnya kemudian.

Arrio bingung. Ketika dia mencoba memanggil si pria. Bukan suaranya yang keluar, melainkan justru sebuah lolongan pendek dan kecil. Dan ketika dia mencoba berteriak kencang untuk bisa memanggil pria itu sekali lagi, yang keluar dari mulutnya hanya sebuah lolongan panjang yang membuat semua binatang disekitarnya ketakutan.

"Kau memanggilku." Pria itu tersenyum. "Berulang kali," katanya lagi.

Pria itu kembali berjalan mendekat. Dan kali ini dia sedikit menundukkan tubuhnya. Tangannya terulur untuk mengelus kepala Arrio yang sudah berubah menjadi serigala besar.

Nyaman dan tenang. Itu yang dirasakan Arrio saat ini.

"Kau bisa berubah kapan pun. Kalau kau bisa mengendalikan dirimu sendiri…" bisik pria itu. "Kalau kamu… mau mengetahui cara untuk melakukannya," kata pria itu lagi, "ikuti langkahku tanpa banyak bicara dan bertanya."

**

Arrio benar – benar menuruti pria asing itu. Dia merasa terkejut sekaligus putus asa dan bingung. Tidak mungkin juga untuknya bisa kembali ke rumah dalam kondisi yang seperti ini. Apalagi jika harus melewati pemukiman penduduk. Pasti akan terjadi keributan besar.

Tapi langkah kaki si pria asing justru masuk lebih dalam ke tengah hutan yang jauh lebih gelap. Di sini, cahaya bulan sudah semakin menipis dan hampir tak terlihat lagi. Langit malam di tempat ini, sudah tertutupi oleh rindangnya pepohonan yang menjulang hampir menyentuh bulan itu sendiri.

Hingga kedua mata besae Arrio menangkap sebuah gubuk di tengah hutan yang diterangi cahaya dari lentera api, yang kemudian menjadi tempat tujuan pria tersebut.

"Arrio…" kata si pria itu. Berbalik dan menatap Arrio dengan wujud serigalanya. "Tenangkan dirimu. Kosongkan pikiranmu. Dan…" dia berjalan mendekati Arrio kemudian, "tekadkan dirimu untuk merubah bentuk sebagai manusia kembali. Bulatkan keyakinan dalam hatimu, bahwa kau ingin menjadi manusia lagi."

Arrio menuruti ucapan pria itu dan mulai mundur ke belakang. Dia berusaha tenang dan beberapa kali mendengus yang mengartikan bahwa dia mencoba tetap tenang. Sulit memang. Sangat. Tapi Arrio harus melakukannya untuk bisa kembali normal, jika ini adalah cara yang seharusnya. Pemuda itu lalu menyebutkan keinginannya untuk bisa menjadi manusia kembali di dalam hati. Berulang kali, hingga kemudian sebuah perubahan kembali dia rasakan. Tubuh Arrio mulai menegak kembali, bulu – bulu di sekujur badannya pun mulai menghilang sedikit bemi sedikit. Dan dia sudah kembali ke bentuk aslinya meski dalam kondisi yang cukup kacau. Celana panjang yang dia pakai robek sampai ke bagian lutut. Sementara bajunya sudah tak lagi menempel di tubuh, dan entah berada di mana.

Sebuah helaan nafas penuh kelegaan terdengar dari pria itu. Dia senang akhirnya bisa kembali lagi ke bentuk normalnya.

Pria asing yang sejak tadi menatap dan menemaninya itu kemudian mendekati Arrio lagi. "Kenalkan…" ujarnya sambil mengulurkan tangan. "Namaku Howard." Dia memperkenalkan diri.

Sempat ragu, Arrio akhirnya mau berjabat tangan dengan Howard dan langsung menarik tangannya kembali dengan cepat. Dia mundur ke belakang dan menatap Howard dengan perasaan tak karuan.

"Aku tak mau menyakiti siapa pun," ujarnya.

Rupanya Arrio masih ingat dengan bentuk serigalanya tadi. Yang mungkin sekali bisa menyakiti orang lain.

"Kau tidak akan menyakiti siapa pun, Arrio. Itu adalah bentuk alamimu. Dan bentuk itu, adalah pelindung bagi dirimu sendiri. Jadi kau tidak perlu khawatir…" katanya lagi.

Arrio mengernyitkan kening. "Kalau aku memang benar – benar seekor serigala. Lalu… siapa orang tuaku? Apa benar, kau mengenal mereka. Juga mengetahui alasan mereka membawaku ke tempat Margareth?" tanya Arrio lagi. Kini dengan raut wajah penasaran.

Howard tersenyum. Dia tahu pertanyaan ini akhirnya akan datang.

"Masuklah. Aku akan menceritakan semuanya padamu. Tempat ini, adalah tempat di mana aku selalu mengawasimu selama 20 tahun. Dan menyimpan semua hal, tentang kedua orang tuamu…" Howard mengajak Arrio masuk ke dalam gubuk itu.

Jika diperhatikan lebih dekat. Gubuk itu memang terlihat sudah agak usang termakan waktu. Tapi kondisinya cukup terawat dan sangat bersih, untuk ukuran gubuk tua yang terletak di tengah hutan gelap seperti ini.

**

Sementara di panti asuhan. Suara teriakan Arrio rupanya membangunkan Aiden yang memang tidur di kamar yang bersebelahan dengan pemuda itu.

Aiden segera menuju kamar Arrio dan mengetuk pintu beberapa kali. Yang tak mendapat jawaban apa pun sampai beberapa waktu. Dan panggilan Aiden yang berteriak cukup keras juga membangunkan Margareth dari tidurnya di lantai dua.

"Ada apa, Aiden?" tanya sang ibu.

"Aku mendengar dia berteriak. Tapi sekarang, aku justru tak mendengar apa pun. Dan tidak ada jawaban dari dalam sana." Aiden menjawab sambil menunjuk ke kamar Arrio yang terkunci rapat dari dalam.

Margareth maju dan mengetuk pintu kamar Arrio beberapa kali.

"Arrio! Apa kamu baik – baik saja?" teriak Margareth dari luar.

Cklek.

Pintu terbuka dan Arrio muncul dengan tanpa memakai baju dan memasang wajah ngantuknya di depan Margareth dan Aiden.

"Ada apa, Bu?" tanya Arrio lalu menguap lebar. Dia bahkan melirik Aiden sekilas yang terlihat bingung melihat penampakannya saat ini.

"Kamu baik – baik saja? Kata Aiden, kamu sempat berteriak tadi," tanya Margareth.

Arrio balik menatap Aiden dengan pandangan penasaran. "Tidak ada yang berteriak. Kenapa kamu mendengar hal itu?" tanyanya balik kepada Aiden.

"Harusnya aku yang bertanya padamu, bukan?" tanya Aiden lagi.

Margareth menghela nafas mendengar keributan dari dua pria muda di hadapannya kini. "Sudah. Sudah. Mungkin kamu sala dengar, Aiden. Kamu juga sedang setengah tertidur saat mendengarnya, kan? Mungkin itu suara orang lain." Margareth menyelesaikan kesalahpahamannya dengan berkata demikian.

Aiden menggaruk belakang kepalanya. "Aku jelas mendengarnya," kata pemuda itu lagi. Lalu memutas tubuh untuk kembali ke kamar.

Meski Aiden juga merasa belum yakin benar. Apa dia salah atau Arrio yang berbohong saat ini. Sementara itu Arrio langsung menutup pintu kamarnya dan berbalik, melihat Howard yang sejak tadi duduk di kursi belajarnya.

"Sandiwara yang bagus…" puji Howard.

***