Bab 9 - Pekerjaan Baru

Nafasmu. Aroma tubuhmu. Semua tentangmu.

Aku akan mencari semua tentangmu.

Atau aku akan menemukanmu, tanpa harus mencari keberadaanmu?

***

"Namamu Arrio?" tanya Arra tak percaya. "Namamu mirip sekali dengan nama panggilanku," gumam gadis itu kemudian. "Oh ya, namanya Arrio. Apa kau masih punya kamar kosong?" tanya gadis itu sekali lagi.

Pria yang warna rambutnya sudah berubah menjadi putih dan keabu – abuan itu kemudian mengalihkan pandangannya pada Arrio. Dengan sudut mata yang terlihat menelisik, dia kemudian tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Tentu ada. Masih ada dua kamar kosong di sini. Kau sangat beruntung," ujar si pria yang kemudian mengulurkan tangannya di hadapan Arrio. "Aku Harbert. Kau pasti bukan orang Yunani," tebaknya.

"Benar. Dia memang dari London." Arra yang memberikan jawaban sebelum Arrio membuka mulutnya.

Pria bernama Harbert itu langsung memberikan sebuah kunci yang digantungannya terdapat papan kecil yang bertuliskan nomor kamar yang akan dia tempati sementara waktu. Arrio hanya melirik sekilas. Dan mengikuti langkah Harbert tanpa menoleh pada Arra sekali lagi. Dan melewati gadis itu begitu saja.

"Kau tidak mau mengucapkan apa pun padaku?" tanya Arra.

Seringaian kecil terlihat di sudut bibir Arrio. Ternyata memang sama saja, dia dengan gadis lainnya yang pernah ditemui oleh Arrio.

Tapi tidak! Begitu Arrio berbalik dan membuat keduanya saling bertemu mata, detak jantung Arrio rasanya berhenti sesaat. Lututnya lemas dan sebuah bayangan aneh muncul ketika pria itu menatap lurus ke kedua mata Arra yang terlihat jelas.

Nafas Arrio rasanya tercekat di tenggorokan.

"Halo?" Arra mengayunkan tangannya di depan mata Arrio sambil memanggil pemuda tersebut. "Kau kenapa? Apa kau baik – baik saja? Halo?" tanya Arra sekali lagi.

Arrio yang tersadar, langsung menundukkan pandangannya. Kenapa dia baru merasakan hal ini sekarang, bukan saat pertama kali bertemu dengan gadis itu? Dan apa semua ini? Kenapa ini semua terjadi padanya?

"Aku… kelelahan…" ucap Arrio dengan suara tercekat.

Arra hanya bisa diam dan menganggukkan kepala. "Ya sudah kalau begitu." Gadis itu kemudian berbalik dan pergi meninggalkan Arrio begitu saja.

Sementara Harbert memandangi keduanya dengan penuh pertanyaan.

"Terima kasih sudah mengantar aku sampai ke sini," ucap Arrio, masih dengan kepala yang menunduk.

Arra mengguratkan senyum tipis di wajahnya, dia memutar tubuh dan memandang Arrio dengan mata yang berbinar. "Sama – sama! Oh ya, kau bisa datang ke kafe ku besok untuk sarapan. Masih hafal tempatnya, kan?" ucap gadis itu.

Hanya lirikan singkan dan anggukan samar yang diberikan oleh Arrio sebagai jawaban. Namun Arra sudah terlanjur senang. Dia mengira, Arrio memang akann menerima tawaran baiknya tadi. Gadis itu ikut mengangguk dan berpamitan dengan Harbert sebelum akhirnya keluar dari motel tersebut dengan setengah berlari.

**

"Maaf aku harus bertanya padamu," kata Arrio sebelum Harbert meninggalkan kamarnya. "Tapi apa kau tahu, tempat yang bisa aku sewa bulanan atau per tahun sebagai tempat tinggal? A-aku rasa… aku akan menetap di tempat ini cukup lama," ungkap Arrio.

Harbert menunjukkan ekspresi terkejut, tapi sekaligus dia menarik nafas dan memandangi Arrio. "Jadi kau bukan turis. Melainkan pendatang baru yang akan memulai hidup di kota ini juga?" tanya Harbert lagi.

Arrio menganggukkan kepala. "Besok juga aku sepertinya harus mencari pekerjaan. Meskipun aku masih punya uang, tapi--"

"Aku mengerti." Harbert mengangguk dan tersenyum. "Kalau kau mau, kau bisa menyewa kamar ini per bulan atau per tahun."

Mata Arrio membulat seketika. Dia menatap kamar yang ukurannya cukup besar tersebut. Ada satu ranjang berukuran single yang dilengkapi bantal, guling, bahkan selimut tebal. Di sudut ruangannya, ada sebuah meja dan kursi serta lampu yang temaram menyinari meja tersebut. Juga sebuah kamar mandi yang lengkap dengan showernya.

Fasilitas lain, ada sebuah televisi berukuran kecil yang terpasang dan entah berfungsi atau tidak karena usianya yang terlihat cukup tua.

"Kau yakin mau menyewakan tempat ini padaku dan di bayar setiap bulan?" tanya Arrio tak percaya.

"Hmm… tak masalah. Aku tinggal sendirian di sini. Kadang, ada kalanya aku benar – benar sendirian karena tidak ada tamu yang datang untuk aku layani dan memberikanku kegiatan. Jadi aku rasa, bukan hal buruk untuk memberikanmu kamar ini dan menyewakannya sekaligus…" ungkap Harbert.

Arrio akhirnya paham kenapa Harbert melakukan itu. Dia butuh Arrio yang bisa menemaninya mengobrol atau berkegiatan sehari – hari.

"Kalau begitu, berapa uang sewa tiap bulan yang harus ku bayar padamu?" tanya Arrio.

"Tergantung dari pekerjaan apa yang kau dapatkan dan berapa gajimu. Aku hanya akan meminta jatah sedikit dari gaji yang kau punya. Bagaimana?"

Terdengar aneh di telinga Arrio. Tapi cukup masuk akal dan agaknya tak terlalu memberatkan Arrio saat ini. Lagipula dia tak mungkin bisa menemukan tempat lain yang bisa di jadikan tempat tinggal selain tempat ini, meski entah untuk berapa lama.

"A-aku… mungkin saja pindah dari tempat ini suatu saat."

"Aku tahu. Selama itu belum terjadi, tinggal saja di sini…" ucap Harbert.

Ada sedikit perasaan aneh pada diri Arrio. Kenapa semua orang di tempat ini terkesan sangat baik hati pada dirinya? Seperti hal nya gadis tadi yang mau mengantarkannya ke tempat ini. Seolah bukan hanya memberitahu tempat menginap saja, namun dia juga menunjukkan tempat yang bisa dijadikan tempat tinggal sementara pemuda itu.

"Iya. Aku mengerti. Terima kasih banyak," ucap Arrio dengan senyum lebar.

"Setelah kau selesai beres – beres dan mandi. Turunlah untuk makan malam. Sekalian aku akan memberitahukanmu beberapa hal soal tempat ini," ucap Harbert.

**

Arra berjalan ringan setelah selesai mengantarkan pesanannya kepada istri Aldrich. Beruntung dia tak terlambat karena wanita itu baru saja pulang dari belanja bulanan di salah satu supermarket bersama anak tunggalnya tadi. Kedatangan Arra pun di sambut hangat dan sempat diajak oleh Monica, istri Aldrich itu untuk minum teh sebelum pergi.

Tapi rasa lelah membuat Arra menolak hal tersebut. Dia memilih untuk langsung pulang dan ingin beristirahat setelah seharian ini sibuk di kafe.

Dia juga ingat kalau besok subuh, dirinya harus pergi ke pasar dan membeli beberapa bahan untuk mengisi stok kafe yang habis lebih cepat dari waktu biasanya.

Sambil melangkahkan kaki, Arra sempat membelokkan langkah dan menatap jalanan lurus yang mengarah pada Motel milik Harbert tadi. Jujur saja dia sangat penasaran dengan sosok Arrio yang rasanya tak terlalu asing bagi Arra. Seperti gadis itu pernah melihat sosoknya entah di mana. Dan bagaimana.

Sempat akan melangkahkan kakinya menuju motel. Arra sekali lagi mengurungkan niatnya dan beralih kembali menyusuri jalan pulang yang sudah cukup gelap.

**

"Jadi kau berasal dari London?" tanya Harbert sambil menyantap makan malamnya bersama Arrio.

Menu kali ini sangat sederhana. Hanya nasi dan telur mata sapi yang diberi taburan bubuk cabai juga kecap manis di atas telur itu. Tapi factor lapar dan kelelahan, membuat makanan yang dibuat Harbert secara mendadak itu terasa begitu lezat di lidah Arrio.

Pemuda itu menganggukkan kepalanya dan menyuapkan lagi nasi juga telur mata sapinya itu.

"Aku tak menyangka kalau orang London juga menyukai menu ini," ucap Harbert.

"Kau memasaknya sendiri?" tanya Arrio balik.

Harbert mengangguk. "Ya. Menu paling praktis dan cepat. Tapi penemu resepnya bukan aku. Melainkan Arra, gadis yang mengantarmu ke sini tadi…" ujar pria paruh baya tersebut kepada Arrio.

Mendengar nama Arra lagi malam ini, membuat Arrio hampir tersedak dan langsung batu – batuk, lalu meneguk minumannya dengan cepat.

"Dia mengajarkan banyak hal padaku saat aku memutuskan membuka motel ini kembali. Termasuk… menu yang satu ini." Harbert menambahkan, "katanya… menu ini bisa dibuat dengan cepat, kalau sewaktu – waktu ada tamu yang harus menginap di tempat ini dan aku belum punya bahan makanan komplit yang bisa aku masak untuk disajikan pada tamuku," ucapnya.

Arrio hanya diam dan mendengarkan dengan seksama semua cerita Harbert.

"Kau tinggal sendirian? Di mana anak – anakmu?" pertanyaan tak sopan itu meluncur dari bibir Arrio, karena saat berkeliling tadi, dia sempat melihat beberapa pigura foto yang menunjukkan sosok Harbert dengan beberapa orang anak.

Bahkan di tempat ini juga ada beberapa barang seperti skateboard dan papan selancar yang diyakini Arrio bukanlan milik Harbert. Melainkan milik putranya.

"Dia sudah pergi jauh." Harbert menjawab sambil memandang lurus pada jendela yang mengarah tepat ke pelabuhan. "Mungkin sudah lima tahun?" hitung Harbert. "Kamar yang kau tempati itu, dulunya adalah kamar milik anakku. Aku sengaja tak menyewakannya dan kadang menempati kamar itu untuk mengenang keberadaannya…."

Arrio menelan ludah dan melihat betapa kesedihan dan rasa sakit terlihat sangat jelas dari sorot mata pria yang pantas menjadi ayahnya tersebut.

***