Uluran tangan yang memberikan bantuan itu datang.
Senyuman hangat itu hadir.
Di sini. Di tempat ini. Aku memulai takdirku yang baru
***
"Apa kau sudah lelah tinggal di sini?" tanya Margareth sambil menopang kepalanya dengan kedua tangan di atas meja.
Wanita itu menatap lurus ke arah Arrio yang duduk tepat di hadapannya. Di sisi sebelahnya, ada Aiden yang juga menyimak obrolan mereka dengan tak kalah serius. Dari raut wajah Aiden, sepertinya pemuda itu punya jutaan pertanyaan yang ingin dia sampaikan pada Arrio. Tapi semuanya tertahan di ujung bibirnya sendiri.
"Bukan soal lelah, Bu. Aku hanya ingin mencari pengalaman baru di luar sana. Selama ini, duniaku hanya di rumah ini dan di tempat Brandon membuka klub nya. Tidak ada lagi," jelas Arrio yang juga mengelak tuduhan dari Margareth.
"Aku tahu tapi…" Margareth masih terlihat bingung dengan permintaan Arrio yang satu ini. "menurutku ini sangat mendadak Arrio. Kau tidak pernah membicarakan apa pun dengan kami. Lalu tiba – tiba, kau mau pergi jauh seperti ini. Dan tanpa memberi tahu, ke mana kau akan pergi?" tanya Margareth lagi.
"Maafkan aku, Bu. Tapi aku sebenarnya, sudah memikirkan ini dari jauh – jauh hari. Untuk alasan kenapa aku tak bisa memberitahukan ke mana aku akan pergi. Itu karena aku tak mau kau khawatir. Dan aku juga, masih belum memutuskan dengan benar, akan ke mana aku untuk pertama kalinya," ucap Arrio.
Margareth semakin penasaran. Dia menatap Arrio dengan pandangan menelisik dan penuh tanya. Seolah tak percaya dengan alasan yang diberikan oleh si pemuda kepada dirinya saat ini. Margareth terus saja menghela nafas panjang, selama perbincangan mereka.
Aiden yang sejak tadi diam. Akhirnya ikut bicara. Tapi apa yang terlontar dari bibirnya saat ini, sangat mengejutkan Arrio dan Margareth sekaligus.
"Biarkan saja dia pergi, Bu. Memang laki – laki itu ditakdirkan untuk memperjuangkan hidupnya sendiri, bukan? Aku juga pasti akan melakukan hal yang sama dengan Arrio, suatu saat nanti." Aiden memilih untuk memihak pada Arrio.
Margareth langsung menegakkan punggungnya dan berganti menatap sang anak.
"Aku yakin kamu sudah memikirkan ini sejak lama. Aku juga paham, kalau kau pasti ingin pergi dari sini suatu saat nanti. Meski aku sempat terkejut karena waktunya yang begitu tiba – tiba. Tapi aku paham dengan keinginanmu, Arrio," ucap Aiden.
Tak pernah dia sangkay bahwa Aiden akan memberikan dukungannya dengan cara seperti ini. Dan pemikiran Aiden yang menurut Arrio sangat dewasa.
"Sudah 20 tahun kan, Bu… Arrio bersama dengan kita. Sekarang waktunya kita harus membiarkan dia untuk mengejar impian dan takdirnya sendiri. Meski pun, kalau memang kamu ingin tetap kembali ke rumah setelah perjalanan jauh itu. Kamu akan selalu diterima di tempat ini. Benar, kan, Bu?" tanya Aiden meminta persetujuan dari Margareth.
Tidak ada yang bisa dikatakan lagi oleh Margareth sekarang. Dalam benaknya memang, dia sudah bisa memprediksi ini akan terjadi. Tapi memang benar yang diucapkan Aiden barusan, ini sangat mendadak hingga rasanya Margareth belum siap melepaskan pemuda yang sudah sangat dia sayangi seperti putra kandungnya sendiri itu. Membayangkan Arrio yang berada di luar sana sendirian dan tak memiliki tempat tinggal yang jelas, membuat Margareth selalu khawatir dan ketakutan.
"Kalau memang itu sudah jadi keputusanmu. Aku akan menerimanya. Tapi…" Margareth kembali mengehla nafas panjang dan berkata, "ingatlah kalau kau masih punya rumah dan keluarga di tempat ini. Aku juga akan selalu mengosongkan kamarmu. Jadi kapan pun kau ingin pulang dan kembali ke rumah. Pulanglah ke tempat ini. Kami semua akan dengan senang hati menerima mu di sini…" tukas Margareth akhirnya.
Arrio merasa lega. Setelah perjuangan dan mengumpulkan keberanian beberapa hari ini untuk meminta ijin, akhirnya dia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Meski tanpa ijin dari Margareth pun Arrio bisa tetap berangkat. Tapi ijin dan doa dari Margareth yang sudah seperti ibu bagi Arrio, jelas membuat pemuda itu jauh lebih tenang.
Pemuda itu mengutas senyum dan mengucapkan terima kasih. Tak lupa, dia juga memeluk erat Margareth yang tak mampu lagi membendung air mata kala mendekap Arrio dalam pelukan hangatnya untuk yang terakhir kali. Dia harus sangat berterima kasih pada Margareth dan berjanji tak akan pernah melupakan wanita itu, juga semua orang yang ada di panti asuhan ini.
Setelah memeluk Margareth, Arrio juga memeluk Aiden yang ikut meneteskan air mata. Mereka memang sering berdebat, Arrio juga seringkali merasa terganggu dengan ocehan Aiden yang cerewetnya mirip dengan seorang wanita. Tapi dalam hatinya, Arrio juga sangat senang karena bisa memiliki saudara seperti Aiden.
"Aku titip Ibu padamu. Beri aku kabar, kalau terjadi sesuatu di sini…" bisik Arrio.
Ucapan itu membuat Aiden mengulas senyum. Jika memang demikian, artinya Arrio hanya akan memberitahukan padanya soal ke mana tujuannya kali ini.
Aiden pun langsung mengangguk dan menepuk punggung Arrio beberapa kali.
**
Arrio pikir, meninggalkan orang – orang di sana akan sangat mudah. Mengingat bagaimana dia tak pernah punya ikatan yang terlalu kuat dengan orang – orang di kehidupannya kali ini. Margareth, Aiden, bahkan Brandon.
Tapi perkiraan Arrio rupanya salah besar. Karena saat akhirnya memutuskan untuk pergi dari sini. Arrio baru sadar bahwa orang – orang disekitarnya selama ini sangatlah baik dan memperhatikan Arrio. Dia tak pernah sendirian. Bahkan Brandon yang terlihat culas, pelit dan kejam saja, bisa memeluknya dengan erat dan memberikan uang pesangon dalam jumlah yang sangat besar.
Langkah kaki Arrio kini mulai manapaki satu demi satu jalanan kota Piraeus. Malam sudah semakin larut dan masih banyak kehidupan di sini. Tapi Arrio yang belum tahu arah tujuannya, jelas harus segera menemukan tempat berteduh untuk sementara waktu. Selagi dia menemukan tempat tinggal baru dengan biaya yang masuk akal.
Saat itu, hampir semua orang yang ada di sekelilingnya terlihat sibuk. Hingga membuat pria itu enggan untuk bertanya langsung pada mereka. Sampai kemudian, seorang gadis yang tengah sibuk menutup pintu menarik perhatian Arrio yang langsung mendekat.
"Maaf, apa kau tahu di mana penginapan yang murah di sekitar sini?" tanya Arrio.
Mungkin kedatangannya yang mendadak, cukup membuat gadis itu terkejut. Karena terlihat sekali kalau gadis itu membulatkan matanya yang sudah cukup bulat dan membuatnya menutup mulut dengan kedua tangannya sekaligus.
"H-ha? A-apa?" tanyanya dengan suara agak bingung.
"Penginapan murah. Di sekitar sini," ulang Arrio.
Tanda pengenal yang menempel di dada gadis itu dibaca sekilas oleh Arrio. Terlihat nama 'Arra' tertulis jelas di sana.
"Apa kau turis?" tanya gadis itu.
Arrio menggaruk kepalanya dan mengangguk samar. Dia sendiri bingung menjelaskan keberadaannya di sini.
"Uhm…" terlihat gadis itu sekali lagi celingukan ke kanan dan kiri.
Sepertinya dia berusaha menemukan apa yang dicari oleh Arrio saat ini.
"Kau bisa ikut denganku. Nanti ku tunjukkan sambil jalan," ucapnya kemudian.
"Kenapa tidak memberitahu arahnya saja?" tanya Arrio balik.
Arra menghela nafas dan berkacak pinggang. "Kau bertanya padaku, bukan? Artinya kau tidak tahu daerah ini dengan baik. Kalau aku hanya menunjukkan arah. Aku rasa kau pasti akan tersesat untuk yang kedua kalinya," omel gadis itu. "Tapi kalau kau tidak mau ikut denganku, ya sudah! Bukan urusanku juga, mau kau tersesat atau tidak."
Sangat tidak ramah. Baik, tapi tidak ramah.
Itu adalah kesan yang pertama kali didapatkan oleh Arrio setelah mendengar ocehan dari gadis tersebut kepada dirinya.
"Baiklah, aku akan mengikutimu." Arrio menurut. Dia sudah cukup lelah kalau hanya untuk berdebat dengan gadis asing yang bahkan baru saja dia temui.
Arra, gadis itu. Kemudian memasukkan kuncinya ke dalam tas, sebelum berjalan ke arah kiri. Yang berarti Arrio juga harus mengulang rute sebelum dia sampai ke tempat ini.
"Kau turis dari mana?" tanya Arra menggunakan bahasa inggris.
"London," jawab Arrio singkat.
"London? Maksudmu London yang itu? Kotanya Ratu Elizabeth?" tanya Arra balik dengan suara yang sangat antusias.
Pria itu menganggukkan kepala. Dan melirik Arra sekilas.
"Pantas aja bahasa inggrismu sangat bagus," puji Arra.
Langkah gadis itu tiba – tiba terhenti di sebuah rumah yang terlihat memasang lampu warna warni yang berkelip di bagian depan. Ada sebuah tulisan di papan kecil yang di pasang tepat di ujung rumah tersebut. 'Motel Mikrolimano', Arrio jadi bertanya – tanya kenapa dia tak bisa melihat tanda motel tersebut saat tadi melewati rumah ini barusan.
"Kita sudah sampai. Ayo masuk. Kalau kau beruntung, pasti masih ada kamar yang tersisa di dalam sini," kata Arra yang mengajaknya dengan lebih ramah daripada tadi.
Arrio memang tak membawa banyak barang. Dia hanya bawa satu koper dan satu tas ransel besar yang berisi pakaian dan beberapa dokumen penting.
"Arra! Apa yang membawamu ke sini, cantik?" tanya pria yang berusia sekitar 70 tahunan dan muncul dari balik pintu dapur.
"Ada yang mencari penginapan. Apa kau masih punya kamar kosong? Tuan…" Arra memutar tubuhnya dan menatap Arrio untuk menanyakan nama pria tersebut dengan isyarat mata.
"Arrio."
***