Tidak usah mencari aku. Tidak usah menunggu aku.
Karena nanti, Takdir yang akan mempertemukan kita berdua.
Bagaimana cara mengetahuinya?
Tanyakan itu pada hatimu. Dan kedua mata kita, akan saling bertemu…
***
"Kau benar – benar mau berhenti dari sini?" tanya Brandon kepada Arrio.
Pria yang sudah beberapa tahun ini menjadi sahabatnya tersebut menganggukkan kepala. Hari ini dia membulatkan tekad untuk mengajukan surat pengunduran diri pada Brandon. Setelah mengambil sebuah keputusan besar.
"Memangnya kau mau pergi ke mana. Sampai harus berhenti bekerja?" tanya pria itu lagi, "apa tidak bisa… kalau kamu mengambil cuti saja? Kau cuma mau berlibur, kan?" katanya lagi.
Arrio menatap Brandon yang terlihat kecewa dengan keputusan yang diambil Arrio.
"Masalahnya, aku belum tahu kapan aku bisa kembali lagi ke sini. Aku tidak mau menyulitkanmu dengan bertahan di tempat ini tanpa kepastian…" jawab Arrio.
"Kalau masalahnya seperti itu, kau tidak perlu mengundurkan diri." Brandon lalu menyobek surat dan amplop yang diberikan oleh Arrio kepada dirinya. "Ambil cuti saja. Berapa bulan pun tak masalah. Aku tak mau kehilangan pegawai terbaikku dan sahabatku yang paling baik juga sepertimu. Atau… kalau kau mau, kau bisa mengambil cuti satu tahun penuh," kata Brandon dengan sangat yakin pada keputusan sepihaknya.
"Brandon… aku--" Arrio tak percaya.
"Kau bagian dari tempat ini, Arrio! Kau sudah ada di sini sejak tempat ini belum jadi apa – apa. Jadi mana mungkin aku akan melepaskanmu begitu saja?" ungkap Brandon.
"Sudah ku katakan padamu, kalau aku tidak mau membuatmu kesulitan," ujar Arrio lagi.
Brandon menghela nafas, dia berjalan ke arah Arrio. Dia menepuk pundak pria tersebut sambil berkata kembali, "apa pun alasan kau mau pergi ke Pieras…"
"Piraeus. Nama kotanya, Piraeus…" sela Arrio mengkoreksi ucapan Brandon yang kurang tepat sambil mengulas senyum tipis.
"Iya, itu namanya. Apa pun alasanmu untuk itu. Aku akan tetap pada keputusanku. Tempat ini juga rumahmu, Arrio. Aku dan semua yang ada di sini adalah keluargamu juga. Bukan hanya anak – anak di panti asuhan. Jadi kamu tidak boleh meninggalkan kami begitu saja. Dan aku tidak menerima penolakan lagi. Kau harus menerima keputusanku ini," tegas Brandon.
Arrio kalah. Dia merasa terharu juga mendengar penuturan Brandon yang sudah menganggap dirinya sebagai keluarga. Jika boleh jujur, memang Arrio juga merasa cukup berat untuk meninggalkan pekerjaannya di London ini. Karena tidak ada pekerjaan yang lebih nyaman daripada ini. Terlebih untuk meninggalkan rekan – rekan kerja dan anak – anak panti asuhan yang selama ini sudah mengisi hari – hari Arrio.
Tapi sekali lagi. Tekad Arrio sudah sangat bulat. Dia sudah mengambil keputusan dan menyatakan keputusan itu kepada Howard juga. Bahwa dia tidak akan lari begitu saja dari takdir yang selama ini tersimpan. Dan Arrio akan segera pergi ke kota Piraeus di negeri Yunani. Selain untuk mengetahui lebih dalam kota kelahiran dan asal dari kedua orang tuanya. Dia juga ingin mencari tahu soal sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang sudah membuatnya terpisah ruang dan waktu dengan kedua orang tuanya sampai detik ini.
**
Arrio tertidur di atas ranjang. Angin sejuk yang masuk melalui jendela seperti memberikan sebuah belaian lembut yang membuat tidur pemuda itu semakin lelap seiring berjalannya waktu. Sementara dia semakin lelap, di luar sana Howard tengah sibuk membersihkan ikan hasil tangkapannya setelah menyiapkan api unggun di depan gubuk kecilnya. Dirinya tak percaya bahwa waktu akan sesingkat ini.
Howard pikir, Arrio akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengambil keputusan besar ini. Mengingat bahwa hal ini juga akan sangat berpengaruh dengan seluruh kehidupan sang pemuda selama ini. Tapi di sisi yang lain, Howard juga merasa lega. Karena ini berarti bahwa Arrio sudah menerima kenyataan tentang identitas yang sesungguhnya dari dirinya sendiri, juga keluarganya.
Yah… memang, setelah mengalami sendiri perubahan yang Arrio rasakan malam itu. Rasanya justru aneh, kalau Arrio masih menyangkal kenyataan bahwa dia adalah seorang keturunan Manusia Serigala.
Api unggun yang mulai membesar dan menghangatkan sekitarnya, menjadi tanda bahwa dia siap digunakan. Bersamaan dengan ikan yang telah selesai dibersihkan oleh Howard.
Howard ingin mematangkan satu ekor ikan lebih dulu, sebelum membangunkan Arrio.
Dan dia segera mengambil beberapa bumbu dasar, untuk memberikan sedikut rasa pada ikan yang akan dibakar. Tapi wangi dari ikan yang dibakar oleh Howard rupanya membuat Arrio terbangun dari tidurnya.
Pemuda itu tiba – tiba muncul dari dalam rumah dengan wajah yang masih lemas sambil mengusak matanya sendiri dengan tangan.
"Sudah bangun kamu?" tanya Howard.
"Kau sudah duluan membakar ikannya, tanpa aku," protes Arrio.
Howard tertawa, "aku baru akan membangunkanmu setelah satu ikan matang. Supaya kau bisa langsung mencicipi ikannya setelah bangun tidur," ucapnya.
Arrio tersenyum. Dia duduk di sebelah Howard dan mulai menghangatkan tubuhnya. Tak berselang lama, ikan pertama yang dibakar oleh Howard pun matang dan sesuai janji, pria itu memberikannya langsung kepada Arrio untuk yang pertama kali.
"Aku yakin kau belum pernah merasakan ikan bakar yang baru saja di tangkap dan di masak di hari yang sama," ucap Howard.
Sambil menerima ikan itu, Arrio kemudian berkata, "aku akan mencari mereka. Dan mencari tahu, kenapa mereka melakukan itu pada orang tuaku…" ucapnya.
Howard hanya mengulas senyum dan menganggukkan kepala.
"Aku tahu hari ini akan datang. Makanya aku sudah mempersiapkan semua yang kau butuhkan. Kalau sewaktu – waktu, kau memang harus pergi ke tempat itu." Howard menimpali, "Piraeus…."
**
---Piraeus, Yunani---
Sebuah kota indah yang dijuluki sebagai salah satu kota Pelabuhan di Yunani, sekaligus kota tempat banyak seniman besar lahir. Pelukis, penyair, penyanyi, bahkan actor theater juga ada di sana. Kota itu memang memiliki pelabuhan indah. Letaknya tepat di sebelah selatan Kota Attena yang sangat terkenal.
Kota yang sebelumnya menjadi Pelabuhan dari Angkatan Laut Negara Yunani ini, sekarang berubah menjadi kota Pelabuhan yang banyak dikunjungi wisatawan. Baik asing maupun domestik. Tentunya, daya tarik pantai dan pelabuhan indahnya lah yang menjadi hal utama yang selalu dicari oleh para wisatawan tersebut.
Tepat di pelabuhan Mikrolimano, yang memiliki bentuk oval sempurna itu. Di antara banyaknya gudang ikan dan restoran yang berjajar menawarkan banyak hal untuk dinikmati. Di salah satu kafe yang cukup ramai meski berukuran agak kecil, terlihat seorang gadis yang sangat sibuk dengan semua pesanan dari para pelanggannya.
Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Waktunya makan siang yang berarti juga, akan ada ledakan pengunjung di jam – jam penting seperti sekarang.
"Meja 4, satu tuna dan satu beer berukuran besar!" teriaknya pada pegawainya yang berada di dapur.
Arra.
Nama yang tertera di tanda pengenal yang tertempel di dada sebelah kanan gadis itu menunjukkan identitasnya.
Beberapa orang yang datang, rupanya adalah pelanggan tetap. Yang sudah sangat sering menghabiskan sebagian waktu mereka di kafe tersebut. Oleh sebab itu, biasanya Arra hanya akan mendapat pesanan dengan kata – kata 'seperti biasa' dari beberapa orang.
Dan tanpa bertanya lagi, Arra akan menuliskan pesanan tersbeut untuk segera di proses oleh pegawainya yang lain.
Kesibukan itu baru akan berhenti dua jam setelah jam makan siang berakhir. Kebanyakan pelanggan Arra juga adalah pegawai dari pabrik ikan yang ada di sekitar tempat itu. Selain turis asing dan domestik yang juga sering mampir ke sana.
"Hari ini kafenya sangat ramai. Kau pasti menyukai situasi ini," kata Aldrich, salah satu pelanggan tetap di kafe Arra.
Dengan senyuman gadis itu menjawab, "tidak mungkin aku tidak senang. Apa kau mau menu yang seperti biasanya?" tanya Arra balik.
Aldrich mengangguk. "Oh ya, istriku pesan menu yang biasanya untuk makan malam. Bisa nanti kau antarkan juga? Aku harus lembur hari ini," pinta Aldrich.
"Oke. Akan aku antarkan nanti. Setelah kafe ini tutup jam 8 malam," jawab Arra.
Aldrich tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Dia juga mengucapkan terima kasih pada Arra, sebelum gadis itu akhirnya pergi masuk kembali ke dalam dapur untuk memeriksa setiap pesanan yang masuk. Apakah sudah selesai diproses atau belum.
**
Tepat pukul delapan malam. Arra akhirnya menutup kafe dan mengunci pintunya dengan gembok besar. Sambil mengunci pintu, gadis itu melihat ke sekelilingnya yang sudah mulai sepi. Dia bisa saja membuka kafenya lebih malam lagi, tapi dia ingat pesan sang ibu untuk tak terlalu malam membuka kafe, demi keamanannya sendiri.
Kala gadis itu akan berbalik dan mengantarkan pesanan. Dia dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang sangat asing.
"Maaf, apa ada penginapan di sini yang harganya cukup murah?" tanya pria asing itu.
***