"HUWWWAAAA MASA TADI FATHUR SENYUM SAMA GUE COBA?!"
Lula yang baru saja masuk ke kelasnya sudah heboh sendiri. Membuat seisi kelas menggelengkan kepala. Sudah begitu paham dengan sikap alay Lula yang mandarah daging.
"Nggak mungkin banget Fathur senyum," kata Gina menanggapi.
"Pagi tadi dia lagi badmood. Bohong banget kalo tiba-tiba Fathur senyum sama lo," Kayla ikut berujar membuat Lula mencebikkan bibirnya.
"Lo diem dulu deh, Kay. Ganggu suasana hati gue aja ih. Kan gue lagi berimajinasi tau!" kesal Lula sambil mendudukkan dirinya di atas kursi.
"Sadar diri, La. Fathur yang bening kayak gitu seleranya juga pasti bening. Kayak Aeelin gitu loh," Gina menunjukka Aeelin yang duduk di sebelah Kayla.
"Muka pas-pasan itu … yaudah yang sabar aja, La. Jangan tinggi harapan takutnya nanti malah dijatuhkan."
"Ih, Gina apaan sih? Nggak suka banget lihat gue bahagia," Lula semakin kesal karena tanggapan temannya.
"Bukannya nggak suka. Justru gue itu perhatian sama lo. Biar elonya nggak sakit hati di kemudian hari," sahut Gina membenarkan ucapannya.
"Emang Fathur belum pernah pacaran, Kay?" tanya Aeelin mulai berbicara.
"Setau gue belum. Anak kaku kayak kanebo kering gitu mana bisa pacaran," jawab Kayla sedikit mengejek sepupunya.
"Bisa-bisa aja. Orang Revan yang kayak patung aja bisa kok. Ya kali Fathur enggak. Mereka kan sikapnya sebelas dua belas," ujar Gina ikut menanggapi.
"Oh ya! Revan benaran pacaran sama lo, Ay?" tanya Lula yang kemarin sempat ketinggalan berita.
"Serius lo itu cewek yang ditunggu-tunggu sama Revan? Lah, pantes aja Revan bertahan. Orang ceweknya secantik elu."
Aeelin menggeleng pelan. "Enggak kok. Gue biasa-biasa aja. Dan itu semua cuma masa lalu."
"Jangan gitu, Ay. Kan, kemarin lo udah sepakat sama gue buat ngomong baik-baik sama Revan," kata Gina.
"Iya loh. Jangan ngelepas cowok kayak Revan gitu aja. Sayang banget," Kayla ikut menyahut.
"Kalo gue jadi Aeelin, udah gue kekep si Revan biar nggak kabur dari gue," ujar Lula.
"Susah tau mau ngobrol serius sama Revan," kata Aeelin. "Gue-nya juga nggak pernah bisa tenang kalo deketan sama dia."
"Itu tandanya cinta, Aeelin" ujar Kayla langsung menanggapi. "Lo masih suka sama Revan. Begitu pun sebaliknya."
"Coba deh lo singkirin dulu rasa bersalah lo itu. Pasti sisanya yang ada dalam hati lo itu lo masih sayang sama Revan, kan?" tanya Gina.
"Kalo masih sayang ya dipertahankan, Aeelin. Jangan malah dibuang-buang," kata Lula dalam mode serius.
"Tapi kalo lo mau ngebuang juga gapapa sih. Gue siap memungut cogan macam Revan kok," gurau Lula seketika mendapat tatapan tajam dari Gina dan Kayla.
"Menurut kalian, gue masih pantas buat jadi pacarnya Revan? Setelah apa yang udah gue lakuin ke dia," tanya Aeelin meminta pendapat.
"Lah, gue belum bener-bener tau masalah kalian apa. Tapi menurut gue ya masih pantas-pantas aja kok," sahut Kayla.
"Ntar malem deh atau kapan pas ada waktu buat main bareng, bakal gue certain. Kalo mood gue lagi baik juga," kekeh Aeelin.
"Alaaah! Dipantes-pantesin aja sih, Ai. Lo pantes kok sama Revan. Sama-sama cakep. Mendingan elo yang jadi ceweknya Revan daripada si Onta—"
Braakkk!
"Woles woyyy! Jangan ngegas!" teriak Gina melihat kedatangan Camelia dan kedua teman menornya.
"Lo pikir itu pintu karet yang gabakal putus apa? Mau lo ganti rugi kalo pintu kelas gue rusak? Ngotak dikit dong, lo punya punya otak apa enggak?" ujar Lula ikut menimpali.
"Diem kalian! Gue nggak ada urusan sama kalian berdua," tegas Camelia sambil berjalan mendekati Aeelin.
Sambil di depan Aeelin, Camelia berhenti. Terlihat jelas jika Camelia tidak menyukai kehadiran Aeelin di SMA Andalas. Lebih tepatnya, Camelia tidak suka Aeelin kembali ada di kehidupan Revan.
"Masih punya muka buat balik ke Revan?" sinis Camelia. "Emang dasar cewek murahan yang nggak tau malu ya lo."
Aeelin terdiam. Camelia sama halnya dengan Gina. Dulu mereka bertiga satu sekolah saat SMP. Cameli menjadi tetangga Revan sejak kecil, dan sudah lama menyukai Revan. Tapi di tahun terakhir mereka SMP, Revan menyatakan cinta pada Aeelin. Membuat Camelia marah dan semakin membenci Aeelin.
Dan soal kejadian malam itu, Camelia juga mengetahuinya. Hampir semua teman SMP tahu apa yang terjadi antara Revan dan Aeelin. Oleh sebab itu, Camelia berani merendahkan keberadaan Aeelin saat ini.
"Lupa sama perbuatan busuk lo, Ai?" tanya Camelia terkesan sinis.
"Lo udah buat Revan celaka! Lo cuma mentingin diri lo sendiri. Lo bahkan pergi di saat Revan bener-bener butuhin lo. Itu yang namanya pacar? Ha?!" Camelia mulai meninggikan suaranya.
"Lo itu udah baik-baik jauh dari Revan, ngapain lo balik ke sini lagi? Mau buat Revan celaka? Mau ngerusak kebahagian Revan juga?"
Aeelin meremas seragamnya kuat-kuat. Dadanya terasa sakit mendapat hinaan sepeti itu dari Camelia. Terlebih Aeelin tidak bisa menolak semuanya. Ia memang jahat. Ia memang tidak pantas menjadi pacar Revan.
"Jawab pertanyaan gue. Lo tuli? Bisu? Atau lo nggak bisa—"
"CUKUP!"
Kini Aeelin sudah berdiri. Membalas tatapan Cameli dengan wajah yang sudah merah padam.
"Apa lagi yang mau lo rendahin dari gue?" tanya Aeelin. "Gue murahan? Jahat, udah ninggalin pacar sendiri di saat dia lagi butuhin gue? Gue buruk dan nggak pantas buat Revan. Dan lo mau gue jauhin Revan karena lo suka sama dia. Itu yang lo mau dari gue? Ada lagi nggak?!"
"Asal lo tau, Lia. Sedekat apapun lo sama Revan, lo nggak ada hak buat ikut campur urusan gue sama dia. Selagi niat lo buruk, selamanya lo nggak bakal mampu buat ngedapatin keinginan lo. Ngerti?"
Selesai meluapkan uneg-unegnya di hadapan Camelia, Aeelin bergegas pergi dari kelasnya. Berlari tanpa tau arah mana yang akan ia tuju.
Aeelin sadar, sekuat apapun ia menahan beban yang ia miliki, suatu saat Aeelin pasti akan jatuh. Karena Aeelin tetaplah perempuan biasa seperti diluaran sana. Lemah, rapuh, dan sangat membutuhkan tempat untuk berteduh.
***
Berdiam diri dalam tempat yang sunyi. Menjadi kebiasaan Aeelin ketika sedang banyak masalah yang ia pikirkan. Seperti yang sedang Aeelin lakukan saat ini. Memilih lapangan outdoor sekolah sebagai tempat untuk menenangkan hati dan pikirannya.
"Gue udah kembali ke Indonesia. Semua itu sudah menjadi keputusan gue. Jadi mau tidak mau gue harus menerima semua resiko yang kemungkinan terjadi."
Aeelin berbicara dengan dirinya sendiri. Sesekali perempuan itu memakan cilok goreng yang ia beli di kantin. Tidak hanya itu saja, Aeelin juga membawa minuman dingin untuk menemaninya berdiam diri.
"Revan itu ganteng. Pantas saja susah untuk dilupakan," gumam Aeelin tanpa sadar memuji ketampanan Revan.
Tapi memang faktanya seperti itu. Aeelin sendiri belum sepenuhnya melupakan Revan. Tentang perasaannya pada Revan. Dan tentang segala hal yang berkaitan dengan Revan. Semuanya tidak mudah untuk Aeelin lupakan.
***