BAB 6 NASI GORENG

"Mau mampir kemana dulu, Ay?"

Setelah selesai melakukan pemotretan, Aeelin dan manegernya sedang berada di jalan menuju ke apartemen Aeelin. Ia memang belum sempat pulang ke rumah karena harus menyelesaikan pekerjaannya dulu.

"Beli nasi goreng dulu ya? Laper banget," kata Aeelin sambil mengelus-elus perutnya yang rata.

"Udah jam dua belas lebih. Masih berani makan?" tanya Mbak Mel—manager Aeelin.

"Iyaa Mba. Laper banget tau. Dari pagi sampai sore sekolah terus malamnya kerja. Jadi gampang lapar," jawab Aeelin memelas.

"Yaudah. Tapi besok-besok kamu harus lebih rajin olahraga lagi. Deal?"

"Deal!"

Aeelin tersenyum senang setelahnya. Akhir-akhir ini Aeelin sering merasa lapar di jam-jam yang tidak tepat. Kadang saat ia tidak sengaja terbangun malam atau dini hari, di saat itulah perut Aeelin merasa keroncongan. Apa ada yang sama dengan Aeelin?

"Di sini gimana, Ay?" tanya Mba Mel saat menghentikan mobil di depan pedagang yang menjual nasi goreng dan sejenisnya.

"Gapapa, Mbak. Aku turun dulu," kata Aeelin sambil mengalungkan sling bag miliknya.

"Mbak Mel mau nitip apa?" Aeelin balik bertanya.

"Teh anget aja," jawab Mbak Mel yang diangguki oleh Aeelin.

Kalau untuk urusan makanan, Aeelin akan turun tangan sendiri. Ia lebih suka membuat makanan atau membelinya sendiri tanpa menitipkannya pada orang lain. Jadi jangan salah paham dulu kenapa baru saja Aeelin yang turun dan justru menawari managernya mau beli apa.

"Pesen apa, Neng?" sapa penjual nasi goreng menatap sekilas ke arah Aeelin.

"Sebentar, Mas. Mau pilih-pilih dulu." jawab Aeelin.

Kedua mata Aeelin menelusuri menu yang terpampang jelas di spanduk yang menutupi lesehan tersebut.

"Nasi goreng ayam, nasi goreng telur, nasi goreng babat, bakmi goreng, bakmi rebus, kwetiaw goreng, kwetiaw rebus, capcay …"

Aeelin mengeja satu persatu menu yang tersedia di warung tersebut. Tadi saat di mobil Aeelin berencana untuk membeli nasi goreng. Tapi setelah berada di sini, kenapa Aeelin jadi bingung dan ingin memesan semua makanan?

"Jadi pesen yang mana, Neng?" tanya sang penjual setelah mengantarkan pesanan pada pembeli yang makan di tempat.

"Sebentar mas sebentar," Aeelin menunduk sopan karena ia belum dapat menyebutkan menu yang akan ia pesan.

Sekitar tiga menit Aeelin berpusing-pusing dengan otaknya, akhirnya ia memutuskan untuk memesan menu yang sudah sejak awal ia rencanakan.

"Mas saya pesan—"

"Nasi goreng ayam dua, telur tiga, bakmi kuah empat, goreng satu. Teh anget tawar lima yang manis lima. Makanannya pedes semua."

"Siap Mas!"

Aeelin melongo sempurna melihat laki-laki yang kini sedang berdiri di sebelahnya. Awalnya Aeelin kaget dengan kedatangan makhluk bernama Revan tersebut, Namun rasa kagetnya segera beralih menjadi sebuah kekesalan.

Plak!

Tanpa menunggu waktu lama, Aeelin memukul keras lengan Revan. Membuat Revan menoleh dengan tatapan tajam yang biasa membuat nyali orang menciut. Namun tidak untuk Aeelin.

"Berani mukul gue?" tanya Revan tanpa mengubah ekspresinya.

"Berani lah. Lo pikir lo itu siapa woiii!" seru Aeelin. "Gue yang ke sini dulu, kenapa lo main serobot aja? Nggak sopan banget!"

Aeelin berdecak kesal setelah berhasil memarahi Revan. Gara-gara Revan, Aeelin harus menunggu pesanan Revan yang bejibun, baru ia bisa mendapatkan pesanannya.

"Ngapain keluar malem?" tanya Revan masih setia menatap gadis di sebelahnya.

"Bukan urusan lo."

"Jawab yang bener kalo ditanya."

"Habis kerja. Puas lo!" kesal Aeelin karena sikap Revan.

Revan tersenyum miring. "Kerja apa? Jadi wanita malam?"

Mata Aeelin mendelik sempurna. "Jangan asal ngomong kalo nggak tau. Lo pikir gue cewek apaan?"

"Salah?" tanya Revan enteng. "Lo pulang kerja dini hari. Berarti pekerjaan lo emang jadi wanita malam, kan? Kerja apalagi yang ngebuat karyawannya pulang selarut ini."

Aeelin yakin Revan masih ingat pekerjaan yang sebenarnya Aeelin lakukan. Hanya saja, Revan sengaja memancing emosi Aeelin dengan ucapannya tadi.

"Gausah segitunya ngelihatin gue. Entar baper, takutnya nggak ada yang mau tanggung jawab," kekeh Revan.

"Siapa juga yang ngelihatin lo. Geer banget!" balas Aeelin lalu mengalihkan tatapannya dari Revan.

"Bohong kok dipelihara," Revan kembali menyindir.

"Gue nggak lagi bohong. Nggak usah sok tau banget bisa nggak?"

"Enggak," jawab Revan.

"Lo ngapain ke sini sih? Ngerusak suasana banget," bukannya Aeelin tidak suka melihat kedatangan Revan, hanya saja Aeelin masih gugup jika harus berhadapan dengan orang yang sudah lama tidak ia temui.

"Nggak suka lihat gue di sini?" tanya Revan dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya.

Aeelin menggeleng cepat. Ia tidak boleh terlena begitu saja hanya karena mendengar suara Revan. Mulai saat ini Aeelin harus lebih kebal dari pada dulu.

"Yaudah. Kalo gitu gue balik dulu," Revan hendak pergi dari hadapan Aeelin menuju ke arah teman-temannya yang sedang duduk di atas motor.

"Tunggu dulu!" seru Aeelin tanpa sengaja memegang pergelangan tangan Revan. Membuat Revan sempat terkejut namun dengan cepat kembali menormalkan wajahnya.

"Pesenan lo belum kelar. Mau lo tinggal gitu aja?" tanya Aeelin membuang jauh rasa ego yang awalnya ingin ia pertahankan.

"Biar temen gue yang ngambil," Revan menunjuk teman-temannya. Beberapa di antara mereka ada yang melambaikan tangan ke arah Aeelin sambil tersenyum.

"Masih ada lagi? Kalo nggak, gue mau pergi," pamit Revan kembali melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi dicegah oleh Aeelin.

Satu tangan Aeelin memegang ujung lengan jaket yang dipakai Revan, menariknya perlahan dan membuat Revan kembali berdiri di sampingnya.

"Udah di sini aja," kata Aeelin dengan suara pelan.

Kali ini Revan tidak bisa menahan senyum di wajahnya. Melihat tingkah lucu Aeelin selalu berhasil menggetarkan hati Revan. Sekali pun Revan tidak bisa menolak permintaan dari gadis di sampingnya ini.

"Kangen sama gue, hmm?" tanya Revan terdengar seperti bisikan karena ia berbicara di depan telinga Aeelin.

"Nggak!" elak Aeelin. "Gausah kepedean."

"Yakin nggak kangen sama gue?" Revan kembali bertanya.

"Yakin lah. Ngapain juga kangen sama lo," ujar Aeelin percaya diri.

"Kalo enggak, kenapa betah banget pegang tangan gue?"

Mendengan pertanyaan Revan membuat Aeelin menoleh ke bawah. Menyadari kondisi yang ada, Aeelin buru-buru melepaskan tangannya dari tangan Revan. Membuang muka dan bertindak seolah tidak terjadi apa-apa.

"Bodoh bodoh bodoh! Malu-maluin banget sih, Ai!" kesal Aeelin dalam hati.

"Biasanya juga malu-maluin," kata Revan sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Lo pake dukun ya?" tuduh Aeelin. "Jauhan sana! Gue nggak mau deket-deket sama orang kayak lo!"

Revan tersenyum miring. "Tadi nyuruh deket, sekarang minta jauhan. Labil banget jadi cewek."

"Masalah buat lo? Kalo nggak suka, yaudah nggak usah deket-deket sama gue," tandas Aeelin.

"Suka Aeelin suka," kata Revan. "Gue suka semua hal tentang lo. Tanpa terkecuali."

Aeelin bergidik ngeri mendengar ucapan Revan. "Geli tau dengernya. Mulut lo nggak cocok buat ngomong kayak gitu, Van"

"Terus cocoknya buat ngomong apa?" tanya Revan sok polos.

"Diem aja. Apa yang lo omongin cuma buat gue jantungan," balas Aeelin galak.

"Bilang aja baper," ejek Revan.

"Siapa yang baper? Orang nggak ada yang baper kok."

"Oohh."

Hening. Keduanya kembali terdiam. Hanya terdengar suara penjual nasi goreng yang sibuk mengaduk nasi di dalam wajan panas.

"Ay," panggil Revan pelan.

Percobaan pertama, Aeelin masih diam. Enggan menjawab panggilan dari Revan untuk beberapa alasan.

"Aeelin," Revan kembali memanggil dengan nama yang lebih panjang.

Barang kali Aeelin akan memabalasnya jika Revan memanggilnya dengan suara yang lebih lembut. Namun kenyataannya, Aeelin tetap diam dan masih memalingkan wajahnya.

"Aeelin Auristela!"

"Apaa?!"

"Happy second anniversary, sweety"

Aeelin terdiam di tempat. Dadanya terasa sesak mendengar suara Revan yang begitu dekat dengannya. Bukan bukan. Bukan itu alasannya.

Aeelin merasa apa yang baru saja dikatakan oleh Revan terdengar sangat putus asa. Sepertinya Revan sudah lama memendam kata-kata tersebut di dalam hatinya. Tentu saja Aeelin sangat senang mendengarnya.

Namun di sisi lain, Aeelin belum bisa melupakan kesalahan yang sudah ia lakukan pada Revan dua tahun silam. Sampai saat ini Aeelin masih terus menyalahkan dirinya sendiri. Aeelin belum bisa memaafkan perbuatannya dulu.

"Gu—gue pulang dulu. Keburu subuh," Aeelin bergegas pergi dari hadapan Revan. Segera masuk ke dalam mobil dan menyuruh Mbak Mel untuk melajukan mobilnya secepat mungkin.

Revan tersenyum singkat melihat kepergian Aeelin. Sejak pagi tadi melihat gadis tersebut, Revan menebak jika Aeelin belum siap untuk bertemu dengannya. Ada dua kemungkinan, Aeelin belum siapa atau justru memang tidak ingin bertemu dengan Revan.

"What is mine. Will forever be mine."

***