"STOP! STOP! STOP!"
Amran merentangkan kedua tangannya di tengah parkiran, tepat saat motor Revanberada di hadapannya.
"Minggir, Ran! Mau mati muda apa gimana?!" seru Bayu menyuruh Amran untuk menepi.
"Emang udah edyan kok si, Amar" kata Bondan sengaja memelesetkan nama Amran.
"Icikiwiiirrr! Si bos pagi-pagi udah bawa bididiri nich!" Amran menatap gadis yang ada di belakang Aires. Siapa lagi kalau bukan Aeelin.
Kalau saja pagi tadi Revan tidak membuat kericuhan di rumah Ailen, sudah pasti Aeelin tidak akan berangkat bersama Aires. Menyebalkan sekali. Mood Aeelin sudah dibuat hancur bahkan sebelum ia bangun tidur.
Menyadari jika Revan sudah menghentikan motornya, Aeelin buru-buru turun dan bergegas pergi dari hadapan Aires.
"Mau kemana?" tanya Revan dengan satu tangan menarik rambut Aeelin yang dikucir kuda.
"Apaan sih? Jangan ngerusak rambut gue dong!" omel Aeelin karena ulah Revan membuat rambutnya menjadi berantakan.
"Pagi-pagi kok udah marah-marah. Pengin cepet tua apa gimana?" Revan masih menahan satu tangan Aeelin supaya tidak kabur.
"Gue ada piket, Revan. Bisa dimarahin Kayla kalo telat," jawab Aeelin. "Udah kan tanyanya? Gue pergi dulu."
Aeelin kembali melangkahkan kakinya namun lagi-lagi dihentikan oleh Revan. Membuat Aeelin mendengus kesal.
"Apalagi sih, Revan? Kan gue udah bilang kalo ada piket di kelas, jadi gue harus—"
"Mau piket pake helm kayak gini?" tanya Revan melirik helm hitam yang masih dipakai oleh Aeelin.
"Betah banget pake helm punya gue?"
Aeelin berdecak kesal. Malu! Aeelin benar-benar malu. Bagaimana bisa ia lupa kalau belum melepaskan helm milik Revan.
"Nih gue balikin. Bau banget tau helm lo. Dasar jorok!" ejek Aeelin kemudian berlari pergi dari Aires.
Melihat tingkah konyol Aeelin membuat Revan terkekeh pelan. Masih sama seperti dulu. Aeelin yang ceroboh dan keras kepala.
"Nyebut Van nyebut! Hihh! Lo kesambet apa pagi-pagi udah merenges kayak gitu?" Amran bergidik ngeri melihat Revan yang masih senyum-senyum tidak jelas.
"Apaan sih! Ganggu banget!" ujar Revan garang.
"Gitu lah kalo udah dimabuk cinta. Jadi mirip kayak orang gilaaa!" seru Bondan ikut menimbrung.
"Mirip sama lo," Fathur yang baru datang langsung ikut memberi komentar.
"Lebih parah Bondan malah. Kalo bucin sampe salto-salto nggak jelas," kekeh Bayu segera mendapat pukulan dari Bondan.
"Udah jadi balikan?" tanya Fathur pada Revan.
"Nggak perlu," kata Revan setelah turun dari motornya.
"Kok enggak sih? Katanya masih suka sama Aeelin, malah nggak diajak balikan," heran Bondan.
"Ngapain balikan kalo emang masih berstatus pacarana," sahut Revan.
"Balikan itu cuma buat pasangan yang udah pernah putus. Kalo gue sama Aeelin kan nggak kayak gitu."
"Tapi kan kalian berdua udah pisah dua tahun. Nggak saling ngasih kabar juga," ujar Bayu menanggapi.
"Nggak ngasih kabar bukan berarti putus, kan?" tanya Revan menatap ke arah teman-temannya.
"Masih belum bisa menang ngelawan keras kepalanya Revan," kata Fathur sekilas melirik teman-temannya kemudian berlalu pergi ke kelasnya terlebih dulu.
"Kalo patur dah ngomong gitu, gue si anak kecebong bisa apa?" Amran tampak mendesah pelan.
"Perasaan kecebong tuh anak kodok. Terus anaknya kecebong namanya apaan?" tanya Bondang kebingungan.
"Mana saya tau. Saya kan ikan," sahut Amran santai.
"Huuuu! Dasar gebleg banget punya otak," Bayu menggelengkan kepalanya setelah mendengar jawaban konyol Amran.
"Gue duluan. Kalian di sini aja nggak papa," pamit Revan hendak menyusul Fathur ke kelas.
"Kenapa kita harus di sini, Van?" tanya Amran.
"Sama-sama geblegnya biar bisa ngobrol lebih lama," jawab Revan enteng kemudian berlalu pergi dari parkiran.
Suara makian dari teman-temannya sama sekali tidak dihiraukan Revan. Sambil berjalan ke kelasnya, Revan menyempatkan diri untuk mengecek pesan yang masuk di ponselnya. Satu nama familiar yang berada di urutan lima belas membuat Revansegera membuka isi pesan dari orang tersebut.
David Abraham: pulang sekolah ada waktu ga bang?
***
"ADUHHH! ADUHH! SAKIT KAK TELINGA AKU! DUHH DUHH DUHH!"
Aeelin sama sekali tidak menggubris keluhan yang dirasakan David—adik kandungnya. Ia masih menjewer telinga David di hadapan teman-temannya.
"Udah jewernya, Ai. Telinga David udah merah gitu," kata Gina merasa tidak tega.
"Bodoamat! Biarin dia tau rasa. Siapa suruh ngerjain kakaknya sendiri," maki Aeelin dengan wajah merah padam.
"Ngerjain apaan sih, Kak? Maksudnya kaak tuh … aduh aduh … ini lepasin dulu dong Kaaakk," pinta David tampak memohon.
Setelah memelintir sekali lagi telinga adiknya, akhirnya Aeelin melepaskan tangannya dari telingan David. Membuat David akhirnya dapat bernapas lega.
"Gimana Vid rasanya dijewer sama kakak sendiri? Manteb nggak? Masih mau nambah lagi apa enggak?" tanya Lula tanpa dosa.
"Yang ngotak dong Lul kalo nanyaaa," sungut David.
"Biasa aja sih mukanya. Lo kalo sama kita-kita kok kejem gitu," heran Lula.
"Pas sama Revan dan kawan-kawan lo sopan banget. Tapi pas sama gue atau temen gue yang lain? Belagunya minta ampun!"
"Karena Revan cowoknya Aeelin. Kakaknya si David. Harus jaga image dong di depan kakak ipar," kata Gina dibalas tatapan tajam oleh Aeelin.
"Buruan deh selesaiin urusan kalian. Gue saksikan sambil tiduran," Kayla yang baru saja selesai merekap presensi anggota OSIS terlihat meletakkan kepalanya di atas meja.
"Sumpah! Kakak nyesel banget nurutin permintaan kamu buat balik ke sini," kata Aeelin memulai pembicaraan dengan adiknya.
"Kesel apa kesel? Paling juga kakak berbunga-bungan karna bisa ketemu sama Bang Revan lagi. Iya, kan?" tebak David segera mendapat pukulan dari kakaknya.
"Kenapa kamu nggak bilang kalo Revan sekolah di sini? Segaja nyuruh kakak satu sekolah sama dia?" tanya Aeelin.
"Harusnya kakak itu bilang makasih sama aku, karena udah mempersatukan kakak sama cinta pertama kakak. Bukannya malah marah-marah gini," balas David masih belum kapok setelah disiksa Aeelin.
"Makasih-makasih pala lo peang!" maki Aeelin dengan napas yang mulai tak teratur.
"Kan Kakak pernah bilang sama kamu, kalo kakak mau ngelupain diaaa, David. Paham nggak sih sama omongan kakak?"
David menggeleng. "Yang keluar dari mulut kakak sama yang ada di dalam hati, kan, beda."
"Sok tau banget!" tandan Aeelin.
"Bukan sok tau, tapi emang David tau," sahut David santai.
"Terima aja apa susahnya sih, Kak. Itung-itung bantuin David meminimalisir jumlah siswa nakal di Andalas."
"Lo ngatain Revan dkk nakal?" tanya Kayla dengan sorot mata tajam yang sangat terlihat.
"Emang nakal, kan? Apalagi si—"
"Siapa?" Kayla langsung menyahut. "Mikir dulu kalo ngomong. Nggak tau alasannya itu gausah sok menghakimi."
Malas mendengar balasan dari David, Kayla langsung beranjak pergi dari ruang OSIS. Disusul oleh Gina dan juga Lula.
"Kamu apain temen kakak?" tanya Aeelin.
"Lah. David enggak ngapa-ngapain kok. Kakak tadi lihat sendiri kalo Kayla tiba-tiba marah nggak jelas gitu," sahut David yang kini sudah kembali duduk.
"Pake hati kalo ngomong sama cewek. Kelamaan single ngebuat hati kamu jadi mati sih," Aeelin berucap sambil menatap wajah adiknya.
"Mager main hati. Ujung-ujungnya sakit hati," balas David cuek.
"Sok benget. Tau kalo main hati bakalan sakit hati, tapi malah nyuruh kakak balikan sama Revan. Otak kamu ada dimana, David Abraham?" heran Aeelin.
"Beda lagi ceritanya kalo sama Bang Revan."
"Kenapa? Jangan-jangan kamu neriama suap dari Revan, ya?" tuduh Aeelin. "Dibayar berapa sama Revan sampe kamu mohon-mohon ke kakak buat balik ke sini?"
"Enggak ada kakak. Aku emang punya inisiatif sendiri buat minta kakak balik ke Indo. Sueerrrr!" David mengacungkan dua jari tangannya.
Aeelin berdecak kesal. Tidak tau lagi harus memarahi adiknya dengan cara apa. Tanpa mengucapkan apa-apa, Aeelin berlalu begitu saja meninggalkan ruang OSIS.
Memastikan jika sang kakak sudah pergi, David mulai merogoh saku seragamnya. Mengecek apakah ada pesan masuk yang sejak tadi ia tunggu.
RevanDavendra: bisa.
***
"THAL! THAL! THAL! GUE IJIN BOLOS PIKET DONG! SEKALIII AJA DEHH. BOLEH YAAA BOLEHHH?"
"NGGAK! NGGAK BOLEH!"
Thalita dengan kasar melempar sapu kearah Amran. Membuat Amran otomatis membuang napas kasar.
"Mau ijin sekali doang kok gaboleh. Jahat banget elu, Thal" gumam Amran.
"Nggak ada yang bisa menjamin lo cuma ijin hari ini," kata Thalita.
"Ada kok, Thal" sahut Amran membuat satu alis Thalita terangkat.
"Tuh! Bondan yang jadi jaminannya," tunjuk Amran pada satu temannya yang sedang mengunyah permen karet.
"Kalo sampe gue bolos piket selain hari ini, lo sama Bondan pacaran deh. Gimana? Oke nggak tuh ide gue?"
"OGAH!!!"
Thalita dan Bondan menatap satu sama lain sebelum akhirnya mereka membuang muka ke arah lain.
"Gue doain deh kalian berdua berjodoh dunia akhirat."
"Lo ngomong sekali lagi, gue sumpel mulut lo pake kain pel. Mauu?!" ancam Thalita.
"Pake mulut lo aja gimana? Mau banget tuh gue," goda Amran.
"Yang bener kalo ngomong, Ran!" peringat Bondan.
"Hobinya Amran kan khilaf. Udah tiap-tiap detik kayak gitu terus. Menimbun dosa tiap hari," ujar Bayu setelah selesai menyalin pekerjaan milik Revan.
"Dari pada elu, hobi kok ngehina temen sendiri. Entar kena ajab baru tau rasa lo, Bay" sahut Amran.
"Emang sejak kapan kita temenan? Gue nggak ngerasa tuh punya temen kayak lo," sinis Bayu membuat Amran hendak memukul Bayu dengan sapu yang sedang ia pegang.
"Amran yang bener nyapunya!" seru Thalita garang.
Bayu tertawa lepas melihat wajah kusut Amran karena baru saja dimarahi oleh Thalita. Sebenarnya dibalik kegarangan Thalita, di aitu tipe cewek yang perhatian dan baik. Ditambah Thalita itu cantik, Bayu yakin banyak cowok yang menyukai Thalita.
"Gue duluan," pamit Revansudah berdiri dari duduknya.
"Markas?" tanya Fathur yang diangguki oleh Revan.
"Kita-kita nyusul habis Amran selesai piket gapapa kan, Van?" tanya Bayu.
Revan mengangguk. Kemudian ia segera keluar dari kelasnya menunju parkiran. Kira-kira butuh waktu sekitar dua puluh lima menit untuk sampai di lokasi markas Aligator. Tempatnya memang cukup jauh dari keramaian kota. Revan dan Fathur sengaja memilih tempat tersebut supaya tidak mudah ditemukan oleh lawan.
Sebelum Revan pergi ke markas, ia membelokkan motornya ke kanan untuk menuju ke rumah David. Sesuai isi pesan yang Revan terima, David menyuruh Revan untuk datang ke rumahnya setelah pulang sekolah.
"Langsung masuk, Bang!"
Baru saja mematikan mesin motornya, Revan sudah mendengar teriakan keras dari dalam rumah.
Revan berjalan memasuki rumah David seolah rumahnya sendiri. Mungkin ia sudah terbawa kebiasaan bersikap santai dimana pun tempatnya.
"Ada perlu apa?" tanya Revan to the point saat ia sudah duduk di hadapan David.
Cukup paham dengan sifat Revan yang tidak bisa diajak basa-basi, David sudah menyiapkan beberapa hal yang akan ia katakan pada Revan.
"Ada penyusup Kristal di Andalas, Bang" kata David mulai mengeluarkan suara.
"Devon yang ngasih tau?" tanya Revan.
"Bukan. Dua hari yang lalu gue ada urusan di SMA Tunas Bangsa, panjang ceritanya tapi gue denger sendiri ada yang ngomong kayak gitu," balas David.
"Apa lagi yang mereka mau? Ngajak balapan atau berantem?"
David menggeleng. "Intinya masih menyangkut kematian Olivia dana Rangga."
"Mereka masih curiga kalo Rangga yang ngebunuh Olivia, terus buat nebus kesalahannya, Rangga jadi bunuh diri."
"Bodoh!" maki Revan setelah mendengar informasi dari David.
"Otak mereka terlalu dangkal. Pelakunya sudah jelas dari Kristal sendiri."
"Tapi banyak bukti yang menunjukkan kalo Rangga yang ngebunuh Olivia. Dan lagi, Olivia meninggal sambil megang foto Rangga. Terus senjata yang dipake juga ada sidik jarinya Rangga," ujar David mengingat kejadi satu tahun yang lalu.
"Ada yang sengaja ngejebak Rangga. Gue tau betul jadwal Rangga malam itu apa aja," kata Revan.
"Dia sama sekali nggak ketemu Olivia sejak pagi. Ada acara galang dana di sekolah. Rangga sama Bayu berdua dari pagi sampai jam sepuluh malem."
"Habis pulang dari markas, Rangga balik ke rumah terus paginya ditemukan tewas, Bang?" tanya David.
Revan menganggukkan kepalanya. Rangga meninggal di rumahnya sendiri. Dikatakan bunuh dirim tapi Revan yakin kalau Rangga telah dibunuh oleh seseorang. Kemungkinan besar orang yang membunuh Rangga sama dengan yang membunuh Olivia.
"Kasih tau gue kalo dapat informasi baru. Gue cabut ke markas," ucap Revan beralih berdiri dari duduknya.
"SIAPP BANG!" balas David dengan suara lantang.
David kembali mengambil ponselnya kemudian mengirim pesan pada seorang kenalannya. Membagi informasi yang baru saja ia dapatkan.
David Abraham: gue dapat informasi baru.
***